Hapuskan Pemilihan Langsung, Kembali ke Demokrasi Pancasila

Loading...

Oleh:  Muhammad Ahsan Thamrin (*)
(*) Praktisi Hukum

PADA zaman orde baru presiden, gubernur, walikota dan bupati dipilih oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di MPR, DPR, dan DPRD. Tapi, setelah era reformasi datang, rakyat tidak percaya lagi dengan wakil-wakilnya untuk memilih presiden, gubernur, bupati dan walikota. Mereka ingin memilih langsung pemimpinnya.

Rakyat dan pemerintah kemudian sepakat mengadakan pemilihan langsung untuk memilih presiden dan kepala daerah. Sudah empat kali sejak era reformasi kita mengadakan pemilihan langsung Presiden dan kepala daerah. Namun ternyata pemilihan langsung tidak seindah yang dibayangkan.

Sistem pemilihan langsung ternyata jauh lebih banyak membawa dampak negatif.

Pertama, pemilihan langsung berdampak buruk bagi moral masyarakat kecil yang masih rendah pendidikan dan ekonominya. Dengan adanya politik uang, masyarakat digoda dengan suap untuk mencoblos suara.

Politik identitas yang membawa isu-isu agama menguat. Rakyat terbelah dan terpolarisasi mengikuti pilihan politik masing-masing dan rawan terjadinya konflik sosial.

Dalam sistem pemilihan langsung ternyata uanglah yang paling banyak berperan untuk mengantar seseorang menjadi pemimpin. Tanpa uang banyak, integritas dan kecerdasan tidak cukup.

Untuk menjadi pemimpin seorang calon membutuhkan uang yang banyak untuk membayar partai politik,  membeli suara konstituen, membayar tim sukses, membayar konsultan dan biaya-biaya untuk media ruang publik.

Seperti baliho, iklan, dam spanduk. Untuk mendongkrak elektabiltas, seorang calon harus membuat berbagai macam program pencitraan agar menarik di mata masyarakat.

Selanjutnya, mungkin calon ini ingin menjatuhkan kompetitornya, maka mereka harus mengeluarkan dana. Untuk melakukan kampanye hitam, agar citra kompetitor buruk di mata masyarakat.

Dengan biaya yang sangat besar ini maka sangat sulit seorang calon pemimpin akan membiayai kampanyenya sendiri.

Lalu dari mana dana kampanye presiden, gubernur dan walikota/bupati yang bernilai triliunan, ratusan hingga puluhan miliar itu?

Kemungkinan paling besar adalah mereka mendapatkan gelontoran dana dari pengusaha.

Tentunya tidak ada makan siang gratis.

Pengusaha tentu ingin investasinya dapat kembali dalam bentuk keuntungan.

Lalu apa keuntungan yang diinginkan pengusaha dari presiden dan kepala daerah?

Mereka tentunya menginginkan penguasaan atas proyek-proyek pemerintah yang besar, ijin penguasaan atas sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan dan sebagainya.

Dan, yang berbahaya adalah apabila pengusaha bisa mengintervensi kebijakan pemerintah. Untuk mengutamakan kepentingan bisnis mereka daripada kepentingan rakyat banyak.

Kedua, sistem pemilihan langsung juga membuat pengeluaran pemerintah untuk membiayai pemilu  sangat besar.

Biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk membiayai pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif tahun 2019 adalah sekitar Rp25 triliun.

Bagaimana dengan pengeluaran pemerintah daerah untuk membiayai pilkada gubernur, walikota dan bupati yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.

Jadi sudah berapa puluh triliun uang yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menyelenggaran pesta demokrasi pasca reformasi ini.  

Hanya untuk memilih pemimpin lima tahunan harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Bayangkan apabila uang puluhan triliun itu digunakan untuk pembangunan. Berapa jalan, jembatan, dan sekolah yang bisa dibangun dan diperbaiki.

Lalu apakah pemimpin yang dihasilkan dari pemilihan langsung ini menjamin bahwa pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik. Pemimpin yang bisa membawa rakyat semakin sejahtera?

Yang kita saksikan adalah justru manajemen pengelolaan negara semakin lemah dan tidak efektif, ini ditandai dengan seringnya penggantian kabinet. Banyak menteri dan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, konflik horizontal lebih sering terjadi dimana-mana akibat pemilihan langsung.

Sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan makin tak terjangkau oleh rakyat, banyak Aparatur slSipil Negara terpaksa korupsi, demi kebutuhan karena gaji mereka tidak cukup, jumlah rakyat miskin juga semakin bertambah.

Aset-aset strategis bangsa semakin banyak beralih ke asing, Untuk membiayai pembangunan pemerintah mengandalkan hutang. Akibatnya hutang semakin bertambah banyak dan membuat Negara semakin tersandera oleh kepentingan asing.

Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki semua persyaratan untuk menjadi bangsa yang besar. Dari kekayaan alam yang luar biasa besar hingga sumber daya manusia handal tersedia di negara ini.

Namun mengapa sampai hari ini gagal menjadi bangsa yang besar dan disegani dunia ?

Faktor terbesar yang menyebabkan Kegagalan bangsa ini untuk maju menjadi bangsa yang besar adalah karena gagal dalam memilih pemimpin.

Nabi Muhammad SAW, mengatakan kehancuran negara adalah karena salah dalam memilih pemimpin. Negara Singapura maju karena pernah dipimpin oleh Lee Kwan Yew, Malaysia oleh Dr. Mahatir Muhammad, Kuba oleh Fidel Castro.

Mereka adalah pemimpin yang berkarakter yang punya visi memajukan bangsanya. Pemimpin yang merdeka,  memiliki prinsip dan tidak mudah dikendalikan.

Kembali ke Demokrasi Pancasila

Tujuan negara kita di dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Yang berarti negara harus memberikan jaminan keamanan kepada rakyatnya, minoritas dilindungi, hukum berjalan dengan adil.

Mewujudkan kesejahteraan umum dimana pembangunan harus memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, dan ikut serta mewujudkan ketertibaan dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Amanat ini hanya bisa dilaksanakan oleh pemimpin yang kuat dan berkarakter, punya keberanian mengambil tindakan, punya inisiatif dalam pembangunan serta memiliki visi jauh ke depan karena keluasan ilmu dan wawasannya.

Memilih pemimpin seperti ini membutuhkan kematangan emosi dan kecerdasan dan tidak semua orang memiliki kapasitas itu.

Plato dan Aristoteles pernah melontarkan kritiknya terhadap pemilihan langsung oleh rakyat.

Mereka mengatakan bahwa proses politik yang melibatkan seluruh rakyat tanpa kecuali untuk ikut memilih potensial melahirkan anarki. Dan, oleh karena itu praktek demokrasi langsung harus dibatasi.

Untuk menghindari anarki, hak politik (untuk menjadi pejabat negara) tidak boleh diberikan kepada siapa saja. Melainkan hanya untuk mereka yang terpilih, yakni para philosopher kings (orang-orang yang berpengetahuan).

Hal senada disampaikan oleh Francis fukuyama dalam bukunya the End of History and the Last Man, beliau menulis bahwa sangat sulit dibayangkan sebuah demokrasi bisa berfungsi dengan baik, dalam masyarakat yang mayoritasnya buta aksara (kurang pendidikan dan pengetahuan), dimana rakyatnya tidak dapat memahami dan mencerna informasi yang tersedia untuk dapat melakukan pilihan yang benar.

Oleh karena itu kita harus mengembalikan sistem pemilihan dimana Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dipilih kembali oleh DPR dan DPRD. Pendiri bangsa kita telah memilih demokrasi pancasila yang disesuaikan dengan keadaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam bahasa, ras, suku dan agama.

Demokrasi itu dituangkan dalam sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Memilih pemimpin sebenarnya cukup sederhana. Rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di DPR dan DPRD dan wakil-wakil rakyat inilah yang akan bermusyawarah, berdebat, adu argumentasi untuk menentukan pilihan siapa yang layak menjadi presiden, gubernur, bupati dan walikota.

Mereka adalah representasi wakil-wakil rakyat yang memiliki hikmah dan kebijaksanaan dalam memilih pemimpin.

Inilah demokrasi kita yang sebenarnya diambil dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia selama ratusan tahun, tapi kemudian kita tinggalkan dan mengambil demokrasi liberal ala barat.

Bahwa kita sudah beberapa kali melaksanakan pemilihan langsung dan baik buruknya  sudah kita rasakan.

Bahwa sudah saatnya pemerintah dan partai politik menghapus pemilihan langsung.

Dan, mengembalikan kembali sistem pemilihan dimana Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dipilih kembali oleh DPR dan DPRD.

Menyerahkan pemilihan langsung kepada rakyat hanya akan menimbulkan madharat yang lebih besar dan memakan ongkos biaya yang juga sangat besar.

Pemilihan langsung dengan mengatasnamakan rakyat bahwa rakyatlah yang berdaulat untuk menentukan pemimpinnya adalah ilusi belaka.

Yang menentukan pemimpin sebenarnya adalah partai politik dan rakyat hanya dipaksa untuk menerima pilihan partai politik itu.

Sistem Presidential Treshold 20 persen memaksa rakyat untuk memilih antara Prabowo dan Jokowi saja. Padahal di luar sana banyak sekali pemimpin yang sebenarnya dikehendaki oleh rakyat.

Dan, terakhir karena partai politik yang berhak menentukan siapa calon pemimpin maka partai politik sebaiknya cukup dua saja.

Mengapa kita tidak meniru Amerika serikat yang hanya memiliki 2 partai politik yaitu partai pemerintah dan oposisi, ini yang baik kenapa tidak kita tiru. dan anggaran partai politik sebaiknya dibiayai langsung oleh negara. (*) 

Loading...