Menunggangi Gelombang di Bawah Jembatan Batam – Bintan

Loading...

DERU suara angin yang bertiup kencang menimbulkan beragam bunyi yang menyerbu labirin telinga saat sinar surya perlahan menghilang.

Terjangan sang bayu dari arah Selat Singapura itu, sekaligus membuat laut yang berada di antara Pelabuhan Telaga Punggur, Batam dan Pulau Kasem bergolak.

Buih putih yang naik turun dan terempas samar terlihat ke arah utara di keremangan senja.

Tanjunguban, kota yang awalnya dibangun Belanda untuk instalasi pangkalan minyak milik Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM), untuk menampung minyak dari Sungai Gerong, Sumsel, adalah tempat yang akan dituju.

Kota kecil di utara Pulau Bintan itu menjadi satu-satunya solusi, jika ingin ke Tanjungpinang, Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau.

Dan jadwal kapal feri yang melayari Tanjungpinang – Batam sudah berakhir di pukul 17.30 serta enggan bermalam di Batam.

Atau ingin berangkat lebih pagi dari Tanjungpinang ke Batam. Misalnya, untuk memburu jadwal pesawat tanpa harus menginap di Batam.

Tanjunguban – Tanjungpinang hanya berjarak sekitar 61 Km via Jalan Lintas Barat. Jarak ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam dengan kecepatan standar.

Tapi bisa juga ditempuh sekitar 40 – 45 menit dengan kecepatan di atas 100 Km per jam, yang tentunya dengan risiko lakalantas lebih tinggi.

Jarak 61 Km itu berubah menjadi 90 Km, jika melalui Jalan Lintas Tengah, Bintan.

Sebab, jalan antara Tanjunguban – Gesek, yang dibangun Jepang dengan tenaga Romusha itu penuh kelokan tajam. Naik turun mengikuti kontur tanah.

Telaga Punggur – Tanjunguban yang berjarak sekitar 15 mil laut dilayari armada speedboat.

Kapal kecil terbuat dari fibreglass dengan beberapa mesin tempel di buritannya, melayani lebih pagi dan lebih lama dari kapal feri Telaga Punggur – Tanjungpinang.

Ada yang berkapasitas di bawah 10 tempat duduk. Ada juga yang di atas 10 orang. Umumnya dilengkapi dengan life jacket. Tapi ada juga yang tanpa jaket oren itu.

Harga tiketnya relatif murah atau sekitar Rp55 ribu per orang, untuk jarak tempuh sekitar belasan menit antara Telaga Punggur – Tanjunguban dalam kondisi cuaca normal.

Vorteks Borneo

Debur ombak yang pecah di dermaga apung, Pelabuhan Telaga Punggur menjadi alarm, mengingatkan kembali.

Agar segera mengambil keputusan untuk menyeberang dari Telaga Punggur, Batam ke Tanjunguban atau tidak?

Perlu waktu beberapa jenak untuk memutuskan. Ada keraguan karena Kepri tengah dalam pengaruh Vorteks Borneo (pusaran angin yang memiliki radius putaran pada skala meso, yaitu antara puluhan hingga ratusan kilometer).

Fenomena cuaca yang ditemukan peneliti Jepang itu menimbulkan hujan intens sekitar seminggu di seluruh Kepri. Selain angin kencang yang mengiris tulang.

Juga mengakibatkan bencana tanah longsor yang menimbulkan puluhan jiwa melayang di Kecamatan Serasan, Kabupaten Natuna.

Dengan tetap mengingat efek Vorteks Borneo dan cahaya yang semakin susut, diputuskan tetap menyeberang ke Tanjunguban.

Cahaya sang surya telah hilang sepenuhnya, langit tak lagi terlihat biru. Namun, sejumlah titik cahaya tetap terlihat di kejauhan.

Titik cahaya terlihat di Pulau Kasem di seberang Telaga Punggur. Juga di Pulau Tanjungsauh, yang akan menjadi tapak jembatan Batam – Bintan.

Yang menguatkan putusan menyeberang, adalah adanya sejumlah pulau kecil di antara Telaga Punggur dan Tanjunguban.

Pertimbangan lain yang membuat keputusan tetap menyeberang di tengah badai, adalah keberadaan instansi kesyahbandaran di Pelabuhan Telaga Punggur, Batam dan Tanjunguban, Bintan.

Tentunya mereka tidak akan menyiakan seragam, profesi dan jabatannya dengan membiarkan speedboat berlayar dan sandar di dalam badai.

Namun, yang menjadi dasar pertimbangan terkuat untuk terus menyeberang dengan speedboat, adalah ketangguhan para pelautnya (nakhoda speedboat dan 1 orang awaknya).

Kemampuan, kompetensi, kapasitas, pengalaman dan jam terbang mereka melayari jalur Tanjunguban – Telaga Punggur patut dipuji.

Lahir dan besar di laut membuat mereka menjadi pelaut andal nan tangguh. Gemuruh angin, ombak dan gelombang sebagai efek Vorteks Borneo, bukan hal baru bagi mereka.

Keberadaan sejumlah pulau kecil di antara Telaga Punggur dan Tanjunguban, Bintan juga menjadi solusi bagi para pelaut andal itu.

Untuk menempuh badai atau terjangan angin kencang di musim utara.

Gerun

Beragam pertimbangan yang diputuskan dalam waktu beberapa jenak itu, akhirnya mengantarkan kami di Tanjunguban dari Telaga Punggur malam itu.

Meski waktu tempuhnya menjadi lebih lama dan speedboat harus bermanuver di sela gelombang dan ombak di atas semeter.

Sebagai insan biasa ada rasa gentar, ada gerun, ada cemas di dada. Tapi keyakinan pada Alquran, bahwa seorang insan tidak akan mati kecuali dengan seizin Allah SWT (surat Ali Imran ayat 145), menepikan semua debar di dada.

Rasa sukur menyeruak saat tapak kaki menapak dermaga ponton di pelabuhan speed, Tanjunguban.

Juga terima kasih kepada para pelaut tangguh di Tanjunguban, yang telah membawa kami merasakan pengalaman menunggangi gelombang di tengah badai.

Pengalaman yang melatih mental menjadi lebih baik. Juga menebalkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Saat menyetir melanjutkan perjalanan ke Tanjungpinang dari Tanjunguban, minda teringat kembali ke para pelaut tangguh itu.

Akan ke mana mereka jika Jembatan Batam – Bintan yang panjangnya sekitar 7 Km itu sudah selesai dibangun?

Akankah mereka terus mengasah kompetensi menunggangi ombak dan gelombang? Atau akan tercipta jalur pelayaran baru bagi armada speedboat?

Jika tidak ada, apa yang akan dikerjakan mereka agar asap dapur keluarganya tetap mengebul?

Ah… biarlah itu menjadi pekerjaan rumah bagi wakil rakyat dan pemerintah. Yang memang sudah digaji serta tunjangan untuk memikirkan nasib rakyatnya.

Ups, hujan deras sebagai dampak Vorteks Borneo membuat aspal tergenang air. Aku harus hati-hati menyetir agar tiba di Tanjungpinang dengan selamat. (rachmat)

Editor Nurali Mahmudi

Loading...