Kapan Kebijakan Dapat Dipidana?

Loading...

Oleh: Muhammad Ahsan Thamrin (Praktisi Hukum)

BELUM lama ini pemerintah melalui Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pendemi covid 19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Perppu tersebut sempat menuai banyak kritik terutama terkait adanya perlindungan hukum bagi pejabat pengambil kebijakan atau keputusan.

Dalam salah satu pasal di dalam Perppu tersebut menyebutkan bahwa Komite stabilitas sistem keuangan (KSSK), pejabat atau pegawai kementerian keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta lembaga penjamin simpanan dan pejabat lainnya, tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik.

Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh terkait perppu Nomor 1 tahun 2002 itu namun mencoba menjawab pertanyaan apakah kebijakan atau keputusan itu tidak dapat dipidana?

Apakah kebijakan dapat dipidana atau tidak sejak lama menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum, akademisi maupun praktisi hukum.

Banyak pendapat dikalangan pakar hukum khususnya ahli hukum administrasi negara bahwa kebijakan tidak bisa dipidana dan peradilan pidana tidak memiliki wewenang untuk menilai kebijakan yang dilakukan pejabat negara karena masuk dalam ranah hukum administrasi negara.

Pada dasarnya kebijakan memang tidak bisa dipidana. Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan “barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan tidak boleh dihukum.

R Soesilo menjelaskan bahwa menjalankan undang-undang tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi juga meliputi perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang.

Jadi apabila kebijakan yang diambil merupakan tindakan menjalankan undang-undang dan sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangannya, maka suatu kebijakan tidak dapat dipidana.

Lalu bagaimana dengan kebijakan yang menimbulkan kerugian keuangan negara ?

Ada pakar hukum yang mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan bukanlah kebijakannya yang salah dan merugikan, tetapi niat jahat dari pengambil kebijakan ketika membuat kebijakan. 

Niat Jahat

Harus dibuktikan dulu mens rea-nya (niat jahat). Ada motif memperkaya diri sendiri atau orang lain ngak. Bahwa Kebijakan salah termasuk merugikan negara tidak sepatutnya diberi sanksi pidana kalau tidak ada mens rea atau niat jahat di dalamnya.

Kalau setiap kebijakan itu bisa ditarik ke ranah pidana maka para pengambil kebijakan tidak akan ada yang berani mengambil keputusan.

Penulis sependapat  bahwa kebijakan memang harus dilindungi apabila kebijakan itu dijalankan dengan itikad baik. Kebijakan yang baik tentunya menguntungkan negara, tidak merugikan negara dan merugikan rakyat.  

Namun, apabila kebijakan itu ternyata dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau  merugikan rakyat maka tentunya dapat dipidana karena disitulah letak mens reanya. 

Mens rea dapat dinilai berdasarkan fakta-fakta objektif dan tentunya melalui kajian-kajian ilmiah dari keterangan ahli misalnya terdakwa menyadari kemungkinan resiko bahwa kebijakan yang diambil membawa dampak merugikan negara atau merugikan rakyat.

Namun tidak mencegah atau mengambil langkah-langkah untuk menghindari resiko tersebut.

Banyak Korupsi yang berlindung dibalik kebijakan. Korupsi kebijakan ini justru lebih berbahaya karena dampaknya bisa jangka panjang. Betapa banyak kebijakan yang dikeluarkan justru merugian negara dan bahkan menyengsarakan rakyat.

Akibat kebijakan yang salah misalnya dalam pengelolaan tambang, kekayaan alam kita yang luar biasa itu justru lari ke luar negeri atau hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha dan tidak bisa digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat dalam konstitusi.

Kebijakan Dapat Dipidana, Jika…

Sudah banyak yurisprudensi MA yang menyatakan bahwa kebijakan dapat dipidana selama kebijakan itu melanggar peraturan, ada pihak yang diperkaya/diuntungkan dan merugikan negara.

Ada beberapa putusan MA yang menghukum pejabat terkait kebijakan yang diambilnya seperti kasus Bank Indonesia dengan terdakwa SS, pemberian kredit pada bank mandiri dengan terdakwa EN, Perjanjian sewa menyewa oleh BUMN PT MNA dengan terdakwa HN dll.

Pengadilan bukan mengadili kebijakan tapi perbuatan berupa kebijakan yang menyimpang itu yang dinilai yaitu apakah kebijakan atau keputusan itu melanggar peraturan, ada pihak yang diperkaya/diuntungkan dan merugikan Negara.

Jadi pendapat bahwa kebijakan walaupun merugikan negara tidak bisa dipidana hanya akan membuat pejabat korup berlindung di balik kebijakan.

Dalam proses pengambilan keputusan, baik lewat Undang-undang maupun kebijakan kerap diselubungi nuansa korupsi. Ada deal-deal yang dilakukan sebelum keputusan itu diambil.

Nah hanya hukum pidana yang bisa menilai apakah itu korupsi atau bukan dan hanya dengan penegakan hukum pidana yang bisa menghentikan perbuatan pejabat korup yang berlindung dibalik kebijakan.

Jadi kebijakan hukum pidana untuk mempidana kebijakan tentunya agar pejabat lebih professional, taat peraturan dan menghindari korupsi. Peluang terjadinya korupsi justru dimiliki oleh pejabat yang memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan. 

Ketidaktahuan Tak Bisa Jadi Alasan Pembenar

Wewenang yang luas membuka peluang untuk disalahgunakan, oleh karena itu ada rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh pejabat ketika mengambil kebijakan atau keputusan, yaitu tidak melanggar hukum, tidak ada pihak yang diperkaya atau diuntungkan dan tidak merugikan Negara.

Tapi bukankah banyak kasus korupsi dibawa ke pengadilan karena ketidakpahaman pejabat terhadap hukum (peraturan perundang-undangan).

Mereka-mereka sebenarnya tidak punya niat untuk melakukan korupsi, tapi hanya salah dalam mengemban tugas, yaitu pengambilan keputusan sehingga menyebabkan kerugian negara.

Ketidaktahuan mengenai hukum tidak dapat digunakan sebagai alasan peniadaan kesalahan (alasan pemaaf), yang meniadakan pertanggungjawaban pidana, karena negara menganut asas (fiksi) hukum yaitu setiap orang dianggap mengetahui hukum.

Dalam arti setelah hukum itu dibentuk dan diberlakukan pada penduduknya, maka sejak itu penduduk harus dianggap mengetahuinya dan wajib mentaatinya. 

Penegak Hukum Harus Berwawasan Luas

Bahwa tentunya tidak setiap perbuatan kebijakan atau keputusan yang merugikan negara adalah korupsi. Kerugian negara bisa timbul karena masalah perdata, seperti wanprestasi, atau kebijakan administrasi negara.

Oleh karena itu penegak hukum juga harus bijaksana dalam penerapan tugas dan wewenangnya serta memiliki wawasan yang luas terkait disiplin ilmu di luar ilmu hukum sehingga tidak menerapkan hukum pidana secara membabi buta.

Bahwa pada dasarnya setiap kebijakan yang diambil pejabat memiliki nuansa batin yang berbeda. Penegak hukum harus menyelami nuansa batin terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat itu terutama terkait pengambilan keputusan dalam bisnis.

Dalam pengambilan keputusan bisnis sering kali melibatkan pilihan antara dua atau lebih opsi buruk yang kadang tidak bisa dihindari. Itulah yang disebut resiko bisnis.

Ketika diperhadapkan pada kasus seperti itu, penegak hukum harus menyelami betul-betul, yaitu apakah pejabat pengambil keputusan itu sudah terlebih dahulu melakukan analisa dan kajian mendalam sebelum mengambil kebijakan atau keputusan?

Apakah sudah mengambil langkah-langkah untuk menghindari resiko dan apakah ada alternatif lain yang sebenarnya bisa dilakukan untuk menghindari resiko timbulnya kerugian Negara.

Penegak hukum tidak hanya membutuhkan mata kepala untuk menilai fakta-fakta hukum tapi juga mata hati untuk dapat menilai sesuatu itu benar atau salah. Wallahu’alam. (*)

Loading...