Antara Perdata, Pidana dan Perdamaian Dalam Tindak Pidana Penipuan

Loading...

Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin (*)

Praktisi Hukum

SALAH satu perkara yang banyak diajukan ke pengadilan, adalah tindak pidana penipuan. Dan, kalau kita mempelajari kasus-kasus yang terkait dengan penipuan, sering persoalannya berawal dari hubungan perjanjian/kontrak.

Perjanjian yang dibuat kedua belah pihak, kadangkala kewajibannya tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak. Maka, pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh pihak yang mengalami kerugian, baik dalam bentuk tuntutan ganti rugi maupun melaporkan secara pidana.

Dalam praktek peradilan, penegak hukum kadang berbeda pendapat dalam menilai apakah pihak yang tidak melaksanakan perjanjian dianggap sebagai wanprestasi atau penipuan.

Penyidik dan Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan karena menganggap bahwa perbuatan tersebut penipuan. Namun, hakim justru menyatakan perbuatan tersebut wanprestasi.

Dan, atau hakim sendiri berbeda pendapat dimana hakim tingkat pertama menyatakan bahwa perbuatan tersebut penipuan. Sementara hakim tingkat banding dan kasasi menyatakan perbuatan itu wanprestasi dan atau sebaliknya.

Lalu, bagaimana kita bisa menentukan kapan kasus tersebut merupakan wanprestasi yang merupakan domain perdata dan atau penipuan yang merupakan domain pidana?

WANPRESTASI YANG MERUPAKAN DOMAIN PERDATA

Bahwa dari penelusuran beberapa Putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan tindak pidana penipuan, hakim yang menyatakan bahwa hubungan perjanjian yang terjadi merupakan wanprestasi yang merupakan domain perdata, biasanya melihat dari sisi adanya hubungan keperdataan dari awal.

Misalnya adanya perjanjian seperti utang piutang, pinjam meminjam atau sewa menyewa, adanya jaminan yang jadi agunan, dan transaksi atau perjanjian itu dibuat di hadapan notaris.

Sehingga ketika terdakwa karena ketidakmampuannya melaksanakan prestasi misalnya karena bangkrut, gagal bisnis atau sebab lain yang diluar kendali bisnis. Maka, tentunya ini adalah masalah perdata. Adanya kerugian yang dialami korban biasanya dianggap sebagai risiko yang tidak dapat dihindari.

Di sini tidak ada niat awal terdakwa untuk mencurangi orang lain. Tapi, untuk membuktikan bahwa terdakwa memang benar-benar tidak bisa memenuhi prestasi misalnya karena bangkrut tentunya harus dibuktikan dengan melakukan penelusuran bahwa hartanya sudah tidak ada lagi atau tidak memiliki kemampuan lagi.

Jangan sampai terdakwa hanya berpura-pura bangkrut untuk menghindari pemenuhan prestasi padahal hartanya disembunyikan. Di sini terdakwa tidak berlaku jujur dan tidak ada niat untuk mengembalikan kerugian yang dialami korban.

PENIPUAN YANG MERUPAKAN DOMAIN PIDANA

Sebaliknya hakim yang menyatakan, bahwa hubungan perjanjian yang terjadi merupakan penipuan yang merupakan domain pidana, biasanya melihat pada adanya maksud atau niat tidak baik dari awal yang dilakukan oleh terdakwa.

Sejak awal terdakwa sudah memiliki niat atau itikad tidak baik. Artinya, sejak awal memang sudah merencanakan rekayasa ataupun penipuan dalam berbisnis.

Modusnya bisa beraneka ragam, dan tidak sedikit yang nampak sangat meyakinkan sekali caranya, bahkan profesional dan bonafit.

Sekalipun seluruh transaksi dibuat dalam kerangka perdata, namun segala perjanjian, komitmen dan jaminan hanyalah rangkaian dari tipu daya untuk meyakinkan dan memperdaya korbannya.

Perikatan atau perjanjian dipergunakan sebagai modus untuk membungkus niat melakukan penipuan, ini adalah kejahatan.

Seorang ulama pernah mengatakan, “Orang yang berutang dengan niat tidak mau membayar maka dia adalah pencuri.”

Tapi bagaimana menentukan niat awal seseorang itu akan menipu? Memang hal ini tidak mudah dijawab karena niat ada di dalam hati.

Tapi Itu dapat dilihat dari hal-hal objektif yang diperoleh yang menunjukkan ada masalah atau tidak. Misalnya perjanjian pembayaran dengan menggunakan cek.

Bahwa cek adalah merupakan alat pembayaran yang sah. Pemegang cek dijamin tersedianya dana yang cukup oleh pemilik rekening, dan pemilik rekening ini berkewajiban untuk menyediakan dana yang cukup atas cek yang diterbitkan.

Ketika terdakwa menyerahkan cek yang ternyata pada saat dicairkan isinya kosong, di sini terjadi tindak pidana penipuan karena terdakwa sejak awal sudah menyadari atau mengetahui cek yang diberikan kepada korban memang tidak ada dananya.

Hanya saja untuk memperoleh uang kontan (unsur delik menguntungkan diri sendiri) terdakwa sengaja “membujuk” dengan cara menggunakan kata-kata bohong dan keadaan yang tidak benar (palsu). Agar korban menyerahkan uang kontan sesuai dengan nilai nominal cek.

Jadi perjanjian yang dibuat oleh terdakwa hanya sebagai kedok atau kamuflase atau sebagai modus operandi dalam melakukan tindak pidana penipuan.

(Putusan Mahkamah Agung Nomor 933k/pid/1994 tanggal 28 Agustus 1997 pada pokoknya, menyatakan bahwa pemberian cek kosong dalam perjanjian pinjam meminjam sudah cukup dinyatakan terbukti sebagai tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP).

Bagaimana sikap Penyidik dan Penuntut Umum, apabila pihak pelaku dan korban berdamai dalam tahap proses penyidikan dan atau persidangan?

Karena begitu dekatnya antara wanprestasi yang tunduk pada domain perdata dan penipuan dalam domain pidana. Maka, seyogianya penyelesaiannya lebih mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah pihak.

Apabila dalam tahap penyidikan ternyata pihak pelaku dan korban telah berdamai, yaitu pihak pelaku telah mengganti kerugian yang diderita oleh pihak korban (pelapor) dan pihak pelapor membuat pernyataan kasusnya tidak akan diteruskan.

Maka, penyidik hendaknya mempertimbangkan hal tersebut untuk tidak melanjutkan perkara.

Memang menurut KUHP tindak pidana penipuan bukanlah delik aduan. Sehingga, adanya perdamaian antara pelapor dan terlapor bukanlah alasan untuk menghentikan penyidikan (SP3).

Namun penyidik juga bukan corong Undang-undang, penyidik harus memahami bahwa tujuan hukum sebenarnya, adalah menciptakan ketertiban dalam masyarakat.

Dan, salah satu yang membuat masyarakat menjadi tertib dan harmoni yaitu ketika konflik dapat diselesaikan dengan cara-cara damai. Kalau para pihak telah sepakat berdamai dan pelaku telah mengganti kerugian misalnya, maka perkara tidak perlu dilanjutkan lagi.

Di sini yang dikedepankan, adalah keadilan, dan kemanfaatannya.

Memang dalam praktek banyak Penyidik dan juga Penuntut Umum, yang tetap melanjutkan perkara penipuan ini walaupun para pihak telah berdamai dengan alasan bukan delik aduan.

Namun, yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 1600 k/pid/2009 tanggal 24 Nopember 2009 dalam perkara hubungan kontrak kerjasama usaha bisnis/dagang barang-barang elektronik antara Ismayawati dengan Ny. Ermiwati, yang menimbulkan kerugian korban Ny. Emiwati sebesar Rp. 3,9 milyar, dapat menjadi rujukan. Dalam mengambil kebijakan untuk tidak melanjutkan perkara apabila telah ada perdamaian tersebut.

Kasus posisi perkara:
Terdakwa Ismayawati didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah melakukan tindak pidana penipuan ex. Pasal 378 KUHP.

Korban selaku pengadu tidak menghendaki perkaranya untuk diteruskan dan menghendaki diselesaikan secara kekeluargaan. Nengingat kerugian yang dialami korban telah dipenuhi.

Dalam putusan PN Yogyakarta Nomor : 317/pid.B/2008/PN.YK tanggal 3 Desember 2008, yang amar putusannya yaitu : mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh saksi korban Emiwati, menyatakan penuntutan perkara Nomor : 317/pid.B/2008 atas nama terdakwa Ismayawati tidak dapat diterima.

Walaupun putusan PN Yogyakarta dibatalkan oleh PT. Yogyakarta dengan memerintahkan PN. Yogyakarta untuk memeriksa kembali perkara terdakwa Ny. Ismatawati.

Namun putusan PT. Yogyakarta tersebut dibatalkan kembali oleh Mahkamah Agung dengan putusan Nomor : 1600 k/pid/2009 tanggal 24 November 2008 yang amarnya yaitu, membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 01/pid/PLW/2009/PTY tanggal 2 Maret 2008 yang membatalkan putusan PN. Yogyakarta Nomor : 317/pid.B/2008/PN.YK tanggal 2 Desember 2009; mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh Emiwati, menyatakan penuntutan perkara Nomor : 317/pid.B/2008 atas nama terdakwa Ismayawati tidak dapat diterima.

Pertimbangan atau ratio decidendi Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta yang dikuatkan oleh Hakim Mahkamah Agung RI, yang mengabulkan permohonan pencabutan dari pengadu, yaitu bahwa judex facti salah menerapkan hukum dan keadilan.

Karena putusan Pengadilan Tinggi bersifat kaku dan terlalu formalistik; bahwa salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana; walaupun pencabutan pengaduan telah lewat waktu 3 bulan, yang menurut pasal 75 KUHP.

Namun, dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih; bahwa walaupun perkara ini perkara pidana.

Tapi perdamaian yang terjadi antara pelapor dan terlapor/terdakwa mengandung nilai yang tinggi harus diakui. Karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada dilanjutkan.

Bahwa ajaran restoratif mengajarkan bahwa konflik yang terjadi disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum.

Akan tetapi konflik juga mempresentasikan konflik antara dua atau lebih individu dalam hubungan kemasyarakatan. Dan, hakim mampu menfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.

Mencermati pertimbangan putusan PN. Yogyakarta yang dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung tersebut, nampak memperlihatkan bahwa yang dikedepankan dalam penegakan hukum, adalah keadilan dan kemanfaatan daripada normatifnya.

Bagaimana apabila perkara tetap bergulir di pengadilan? Sementara telah ada perdamaian antara kedua belah pihak atau pihak pelaku belum memulihkan kerugian yang diderita korban.

Dalam proses persidangan, apabila berdasarkan fakta-fakta persidangan perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, maka Penuntut Umum atau Hakim, dapat meminta atau mengingatkan terdakwa. u

Untuk mengganti kerugian yang diderita korban dengan kompensasi terdakwa tidak perlu menjalani hukuman atau hukuman disesuaikan dengan tahanan yang telah dijalani apabila terdakwa ditahan.

Misalnya: menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 8 bulan dengan masa percobaan selama 1 tahun. Dengan syarat khusus terdakwa harus mengembalikan uang milik korban sebesar Rp. 100 juta dalam tempo 1 tahun.

Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa suatu perbuatan penipuan yang dilakukan oleh seseorang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Di dalam hukum pidana yang merupakan ultimum remedium sanksi pidana dijatuhkan, adalah dengan tujuan untuk menimbulkan efek jera. Inipun dilakukan setelah upaya-upaya penggantian kerugian melalui upaya persuasi tidak membuahkan hasil.

Upaya persuasi berupa penagihan ini adalah merupakan domain hukum perdata yaitu “tiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya harus mengganti kerugian tersebut (1365 BW).

Menurut Prof. Andi Hamzah (specialite delicten di dalam KUHP, sinar grafika, Jakarta, 2009) dalam delik penipuan dan penggelapan, kepentingan hukum yang hendak dilindungi adalah kekayaan milik orang lain dan kepercayaan, seperti dalam lalu lintas perdagangan.

Sementara menurut Barda Nawawi Arief (masalah penegakaan hukum dan kebijakan penanggulangan kejahatan, Program MH Undip, semarang 2000.hal.20), ganti rugi tersebut bukan sebagai salah satu bentuk/jenis pidana, melainkan justru hanya sebagai syarat bagi terpidana untuk tidak menjalani pidana pokok.

Dengan demikian ide dasar yang melatarbelakangi pemikiran adanya ganti rugi dalam pidana bersyarat menurut KUHP adalah berorientasi pada pelaku tindak pidana (offender).

Di samping itu syarat khusus berupa ganti rugi ini menurut KUHP hanya bersifat fakultatif dan tidak bersifat imperatif.

Akhirnya yang ingin kami sampaikan….
Hukum seharusnya dapat menyelesaikan konflik, menyadarkan pelaku tindak pidana atas kesalahannya dan memperbaiki keadaan seperti semula.

Tujuan hukum adalah menciptakan kedamaian dan ketertiban bagi masyarakat. Sehingga ketika ada warga masyarakat dalam perkara pidana berinisiatif menyelesaikan masalah secara damai.

Maka, hukum tidak lagi dibutuhkan untuk mengintervensi terlalu jauh.

Di sinilah peranan penyidik yang memproses awal suatu kasus dapat lebih berperan sebagai mediasi pihak pelaku dan korban untuk berdamai.

Penyidik harus memastikan bahwa pelaku dan korban betul-betul telah berdamai. Dan, apabila kesepakatan damai telah tercapai maka penyidik dengan diskresinya dapat mengeyampingkan perkara tersebut.

Dalam praktek di lapangan, hal ini memang belum banyak dilakukan, kecuali dalam perkara-perkara delik aduan yang memiliki landasan hukum. Untuk menghentikan perkara, namun demi keadilan dan kemanfaatan.

Seharusnya untuk perkara-perkara tertentu seperti disebutkan diatas pihak penyidik dapat menerapkan hal ini di lapangan karena apabila suatu perkara tetap dipaksakan untuk di proses sampai Pengadilan dengan dalih kepastian hukum.

Sedangkan para pihak telah berdamai maka justru hukum telah menimbulkan konflik baru, pihak pelaku yang telah mengganti kerugian menjadi kecewa dan frustrasi. Sehingga perdamaian yang menjadi tujuan tidak tercapai.

Pernah ada seorang sopir mengeluh kepada penulis, suatu ketika dia menabrak pengendara sepeda motor hingga kakinya patah, sebenarnya dia telah berdamai dengan pihak keluarga korban dan menganggap kecelakaan tersebut sudah merupakan musibah, dan si sopir inipun telah mengganti kerugian dan kompensasi kepada pihak keluarga korban namun ternyata penyidik dan Penuntut Umum tetap memproses kasusnya sampai ke Pengadilan dan dijatuhi pidana penjara.

Apa yang terjadi setelah dia berada dalam penjara ? Istri dan anak-anaknya kebingungan karena tidak ada lagi yang memberikan nafkah. Apa untungnya bagi masyarakat dan negara ketika orang ini dipenjara.

Aspek penghukuman yang selalu melalui pidana penjara semata justru telah mengakibatkan kepadatan penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang melampaui batas daya tampung, dan telah mengakibatkan demoralisasi seksual, sosial dan keamanan dalam lapas.

Dan dampak yang tidak dipikirkan adalah pemborosan biaya Negara untuk penegakan hukum, baik dari aspek kelembagaan maupun aspek pembiayaan perkara pidana.

Penjatuhan pidana penjara tidaklah selalu harus diutamakan. Jangan selalu menempatkan hukum pidana di depan. Tidak ada Negara didunia ini yang menempatkan hukum pidana didepan. Kita sekarang ini menempatkan hukum pidana di depan.

Segala-galanya kita mau pidanakan. Penjara sudah penuh. Ketika Petugas Lapas mengeluhkan karena ruang tahanan tidak lagi mampu memuat begitu banyaknya tahanan, kita tidak pernah berpikir mencari solusi mengurai benang kusut ini. Wallahu’alam. (*) 

Loading...