Anggaran KPK Makin Besar, tapi Korupsi di Indonesia Semakin Gila

Loading...

Suarasiber.com – Prof Mahfud MD, Menko Polhukam membuat pernyataan heboh beberapa hari lalu.

Menurut Mahfud, korupsi di Indonesia saat ini lebih gila dibandingkan di era Orde Baru (orba).

Mahfud menyatakan hal itu dalam dalam dialog dengan Rektor UGM dan pimpinan PTN/PTS seluruh Yogyakarta yang ditayangkan YouTube UGM, Sabtu (5/6/2021).

“Saudara, saya katakan, saya tidak akan meralat. Karena kenyataannya sekarang ini saja, sekarang ni hari ini, korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru. Saya tidak katakan semakin besar apa jumlahnya, semakin meluas,” kata Mahfud, seperti dirilis Detik.com.

Ucapan Mahfud adalah ironis, jika membandingkan kondisi saat ini dengan di era orba.

Ironis

Pada era orba belum lembaga khusus yang menangani korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan saat ini atau sejak awal era reformasi sudah dibentuk KPK.

Pernyataan Mahfud.menjadi semakin ironis, karena anggaran KPK saat ini sudah sekitar Rp1 triliun.

Dan, sudah diusulkan oleh pimpinan KPK ke DPR RI, agar anggarannya ditambah lagi sekitar Rp400 miliar atau naik menjadi sekitar Rp1,4 triliun di tahun 2022.

Dengan kondisi KPK saat ini, tak heran jika usulan kenaikan anggaran itu dipertanyakan oleh Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM).

“Tanpa ada program prioritas kita bertanya-tanya untuk apa permintaan penambahan dana yang signifikan itu,” terang Zaenur, Jumat (4/6/2021) sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Di zaman old, ada anggapan korupsi terjadi karena kecilnya pendapatan (gaji dan tunjangan) pegawai negeri serta aparatur pemerintahan lainnnya.

Pendapatan Kecil Korupsi, Besar Lebih Lagi

Sehingga, jumlah pendapatan mereka pun dinaikkan berkali-kali lipat sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan naiknya pendapatan itu diharapkan korupsi akan semakin berkurang. Apalagi disertai dengan pembentukan KPK.

Faktanya, belasan tahun kemudian yang terjadi justru sebaliknya. Korupsi justru semakin masif, makin menggila, karena semakin meluas.

Naiknya pendapatan ternyata tidak membuat korupsi semakin berkurang. Seakan membenarkan pendapat pesimis, yang menyebut salah satu warisan terbesar Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), adalah mental korupsi.

Selain mental hedonis. Juga mental minta dilayani.

Masifnya korupsi yang akhirnya membuat maskapai dagang hebat itu runtuh dan diambil alih pemerintah Kerajaan Belanda.

ICAC

Akan tetapi mental korupsi sebenarnya ada di mana-mana dan tak hanya di negara bekas jajahan VOC dan Belanda. Tapi juga di bekas koloni Inggris seperti di Hong Kong. Dulu!

Korupsi di Hong Kong sangat masif hingga di awal tahun 1970-an. Korupsi terjadi di semua lini. Pejabat diatur oleh penjahat. Hukum pun juga diatur penjahat. Apalagi perangkatnya.

Itu dulu. Sebelum pemerintah Hong Kong membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong atau Independent Commission Against Corruption (ICAC) tahun 1974.

Lembaga yang sangat independen itu ternyata mampu mengubah mental korupsi pejabat Hong Kong saat itu. Dan, hingga sekarang masih sangat ditakuti.

Apalagi, ICAC tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Termasuk, partai dan para petinggi lainnya.

Selain itu, kewenangannya sangat luas sekali dan berhak menginvestigasi semua kasus pidana yang terkait dengan korupsi.

China Permalukan Koruptor

China yang sebelumnya juga kental dengan korupsi, kini nyaris bersih sama sekali. Hukuman berat, bahkan mati jadi risiko bagi setiap koruptor. Selain dipermalukan seumur hidup.

Beda jauh dengan hukuman untuk koruptor di Indonesia. Bahkan, setelah keluar penjara pun masih dipuja, dengan catatan masih ada duit untuk menyawer ke sana kemari.

Selama masih bisa saweran, eks-koruptor bakal tetap dianggap. Sebaliknya, jika sudah kering jangankan eks-koruptor, orang baik pun akan tetap sulit dipandang.

Sebuah kebiasaan yang kadung jadi tradisi. Sekaligus, mendorong banyak orang bisa nyawer dengan segala cara. Termasuk dengan cara korupsi.

Ada beberapa cara untuk menelan korupsi, ada cara Hong Kong, ada ala China. Terserah pakai yang mana. Soal anggaran, terserah! (sigit rachmat)

Loading...