Persawahan di Kaki Gunung Bintan Destinasi Wisata yang Tertidur Lelap

Loading...

BINTAN (suarasiber) – Selain bauksit yang saat ini membuat 12 orang terpenjara, Pulau Bintan juga menyimpan potensi perikanan, pertanian dan persawahan. Yang semuanya terkesan nyaris terabaikan.

Jangankan dikelola, adanya persawahan di kaki Gunung Bintan pun tak banyak diketahui orang.

Padahal, jika dikelola dengan baik potensi sawah itu tak hanya akan menghasilkan beras. Tapi juga mendatangkan wisatawan.

Sehingga, Bintan tidak hanya bergantung PAD ke Lagoi, yang mati suri karena pandemi Covid-19.

Mungkin, sektor pertanian dan perikanan cuma dianggap beban karena tidak akan menghasilkan fulus ke PAD Bintan.

Anggaran APBD untuk mengelola sektor itu pun hanya sebatas membiayai operasional kantor dan biaya perjalanan dinas pegawainya.

Tidak ada anggaran untuk melakukan modernisasi atau untuk melindungi jiwa petani dan nelayan.

Ketiadaan anggaran untuk modernisasi membuat ketiga sektor itu masih digarap secara manual hingga di era revolusi industri 4.0 ini.

Masih pakai tenaga manusia dan teknologi usang yang sudah digunakan sejak abad 19. Seperti cangkul, sabit, parang, jaring, pancing juga dayung.

Tidak tampak mesin perikanan, pertanian, persawahan yang hebat untuk menggarap sektor ini di Bintan.

Tidak tampak kapal ikan dan peralatan modern atau pabrik pengolahan hasil perikanan serta pertanian di Pulau Bintan. Apalagi, penggilangan padi modern.

Padahal, persawahan di Pulau Bintan sudah ada sejak sekitar tahun 1980-an di sekitar kaki Gunung Bintan atau di sekitar belakang lokasi wisata Poyotomo.

Hingga memasuki abad ke-21 ini, luas lahan yang digarap menjadi sawah hanya belasan hektare. Meski potensinya bisa di atas 100 hektare.

Terlihat jelas bahwa potensi persawahan ini dianggap angin lalu. Mungkin karena hasilnya lama dan tak seberapa dibanding bauksit.

Saluran irigasinya memang ada tapi hanya beberapa ratus meter. Dan, ajaib karena hanya dibuat untuk memasukkan air ke sawah.

Sedangkan untuk pembuangannya tidak ada. Sehingga, saat musim hujan sawah-sawah berubah menjadi danau dan membuat padi mati membusuk.

Keinginan para petani untuk membuang air dengan pompa juga terkendala. Karena, aliran listrik tidak sampai ke tempat itu.

Para pertani sawah di Bintan yang masih mengandalkan cangkul dan otot itu, hanya bisa menatap kosong saat musim hujan.

Kini, potensi persawahan yang dianggap remeh di Pulau Bintan tengah menggeliat. Ada harapan untuk mengubah potensi di atas kertas menjadi nyata.

Menyusul majunya Alias Wello sebagai cabup Bintan di Pilkada 2020. Anak petani yang sukses mencetak ribuan hektare sawah di Lingga dalam masa cuma 4 tahun, bertekad memakmurkan petani dan nelayan.

Alias Wello yang biasa disapa AWe tercenung saat berkunjung ke Parit Bugis, Bintan, Senin (11/10/2020) pagi.

Matanya nanar menatap semak belukar yang luasnya sejauh mata memandang di kaki Gunung Bintan.

“Aduh! Kenapa dibiarkan seperti ini?” ucap AWe ke petani setempat.

“Kenapa saluran irigasinya seperti ini? Kok levelnya dengan persawahan tak sinkron?” tanya AWe, yang hanya bisa dijawab senyum oleh seorang petani.

Sejurus kemudian AWe meloncati saluran air yang lebarnya sekitar semeter. Dia duduk di tunggul kering di pematang.

Menunduk menciduk air di saluran dengan telapak tangan dan memasukkan air itu ke mulutnya. Air itu dikumur di mulutnya dan disemburkan lagi.

“PH-nya terlalu asam. Harus dikurangi lagi,” sebut AWe.

“Benar, Bapak. Agak asam,” jawab petani yang berdiri di pematang.

Kedatangan AWe ke sawah disambut hangat para petani di sana. Mereka berharap AWe bisa mengubah sawah di Bintan seperti di Lingga.

AWe pun meyakinkan mereka, jika dia terpilih bukan hanya akan mengubah persawahan. Tapi juga memodernisasi dan memberikan perlindungan jiwa.

Perlindungan dalam bentuk asuransi itu tak hanya ke petani tapi juga ke nelayan. Modernisasi pun akan dilakukannya ke nelayan.

“Kasihan para petani dan nelayan di sini. Mereka masih bergantung pada kondisi alam untuk bekerja. Harus diubah. Harus dimodernisasi. Dan, mereka harus dilindungi saat bekerja,” tegas AWe.

Selama para pengambil kebijakan masih memandang pertanian dan perikanan hanya menghasilkan buah, padi, ikan atau hasil produksinya.

Maka, selama itulah nasib petani dan nelayan tergantung pada kondisi alam.

Pandangan yang harus diubah, tukas AWe. Karena, pertanian, perikanan dan berbagai sektor lainnya bisa dipadukan dengan wisata.

Di kaki Gunung Bintan itu, AWe bertekad untuk mengembalikan kejayaan Bentan. Menegakkan marwah Bintan dan semua warganya. (mat) 

Loading...