Kiat Pelaku UKM Sepatu dan Tas Handmade Hadapi Persaingan Produk Pabrikan

Loading...

Suarasiber.com – Pelaku Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) tak ingin masuknya barang serupa buatan luar negeri “mengganggu” bisnis mereka. Meski ada pengaruhnya, para pelaku selalu mencari inovasi agar tak kalah bersaing di zaman global.

Kemudahan teknologi membuat barang-barang seperti tak dan sepatu buatan luar negeri banyak ditemukan di pasar di Indonesia. Diantaranya barang dari China dan India. Dengan menawarkan keunggulan berupa harga yang murah, berang impor tersebut mencoba bermain di tengah persaingan yang sebenarnya sudah marak.

“Selain menghadapi sepatu dan tas buatan pabrikan dari luar negeri, sebenarnya antar UMKM lokal juga sudah bersaing. Sebagai pelaku dan orang yang ada di dalamnya, saya tahu persis bagaimana kami harus tetap survive dengan merek kami,” ujar Sofie, Sabtu (20/11/2021).

Wanita yang tinggal di Bekasi ini sudah berkecimpung dengan produk sepatu dan tas handmade sejak belasan tahun silam. Perusahaannya mengusung brand d.a.t Indonesia dan menoname. Sebenarnya kedua brand di atas bentuk produknya sama, yaitu sepatu dan tas serta aksesoris sejenis.

Untuk d.a.t Indonesia memproduksi barang yang harganya lebih mahal, sementara menoname untuk harga di bawahnya. Dengan demikian sepatu dan tas mahal tetap laku, sementara konsumen biasa juga bisa mendapatkan barang sesuai uang yang tersedia.

Sebenarnya produk yang dikelola Sofie memiliki ciri khas, yakni menggunakan bahan kain batik. Motif yang dipakai juga beragam dan dipadupadankan dengan bahan lain misalnya canvas, denim atau kulit sintetis. Namun terkadang pembeli tidak melihat hal tersebut.

Ada golongan konsumen yang hanya ingin barang murah. Soal handmade atau pabrikan mereka tidak begitu peduli. Jika menghadapi konsumen seperti ini, Sofie biasanya lama memberikan penjelasan.

“Ada beberapa yang tertarik dan menyukai produk kami. Ia ingin membeli dalam partai besar, namun minta harganya disamakan dengan sepatu dan tas buatan mesin otomatis atau pabrikan. Ya saya nggak bisa kasih,” ungkap Sofie.

Menghadapi persaingan seperti itu, penjual harus kreatif dan tidak gaptek teknologi. Khususnya yang menyangkut tentang media sosial. Hal inilah yang dilakukan Riena, yang berjualan sepatu dan tas batik di Instagramnya.

“Sekarang nggak bisa lagi ambil foto produk asal-asalan. Harus diambil dari mana sudut terbaiknya. Keterangan juga harus jelas,” ujarnya kepada suarasiber.com melalui messenger.

Foto yang menarik, kata alumnus UNS ini, akan membantu calon pembeli memantapkan pilihannya. Soal foto yang baik, Riena memberi bocoran yang berguna untuk para pedagang online.

“Warnanya harus mendekati warna produk aslinya. Kalau jauh banget dengan hasil fotonya, siap siap saja dikomplian pembeli,” ujarnya.

Dimintai keterangan seputar produk handmade, ia terus terang kerap menghadapi konsumen yang agak “sulit” saat tanya jawab. Handmade, sebut dia, jelas memiliki kualitas yang jauh di atas pabrikan yang memang dibuat untuk pangsa menengah ke bawah.

Dilihat dari prosesnya, sepatu dan tas handmade membutuhkan waktu lebih lama untuk dibuat. Setelah itu masih dicek manual. Sementara sepatu buatan mesin akan tercetak dalam hitungan menit.

“Intinya kuasai teknologi informasi, berikan deskripsi produk kalian sejelas-jelasnya meski kadang nggak dibaca. Dan sabar menghadapi konsumen yang maunya murah tetapi bagus,” urainya.

Lantas bagaimana dengan para pedagang sepatu di pasar? Susi, pedagang sepatu di Kota Lama Tanjungpinang memilih untuk menyediakan alas kaki yang murah meriah. Ia tak menutupi dagangannya dari China. Alasaannya ekonomi semakin sulit, orang akan mencari sepatu atau tas yang murah. (machfut)

Editor Ady Indra Pawennari

Loading...