Wina Armada: KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Loading...

Suarasiber.com – Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan DPR menjadi UU KUHP. Namun khusus kemerdekaan pers, aturan yang berlaku ialah UU Pers No 40 Tahun 1999.

KUHP tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers. Pendapat ini disampaikan pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik, Wina Armada di Jakarta, Jumat (9/12/2022) menanggapi disahkannya Kitab KUHP) oleh DPR Selasa 6 Desember 2022 lalu.

Menurut penulis banyak buku hukum pers dan kode etik ini, sepanjang terkait dengan pers, UU Pers bersifat undang-undang yang diutamakan, sehingga semua persoalan pers diatur dan diselesaikan sesuai dengan UU Pers.

“Bukan UU dan peraturan lain, termasuk dalam hal ini bukan pula diatur oleh KUHP yang baru disahkan,” tegas Wina Armada, dilansir dari suaramerdeka.com.

Selain itu, tambah lulusan Fakuktas Hukum UI, UU Pers juga bersifat swaregulasi atau memberikan keleluasaan kepada masyarakat pers untuk mengatur diri sendiri.

Artinya, sesuai UU Pers, segala urusan yang terkait dengan pers telah dan akan diatur sendiri berdasar ketentuan yang disepakati masyarakat pers.

“Ketentuan ini sudah diperkuat dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu,” ujar Wina Armada yang waktu perkara ini disidangkan di MK menjadi advokat untuk Dewan Pers.

Mantan Sekjen pengurus PWI Pusat yang memiliki pengalaman kerja sebagai wartawan sekitar 40 tahun itu mengingatkan dalam UU Pers jelas disebut tidak ada satu pihak pun yang dapat mencampuri urusan kemerdekaan pers.

”Tentu dalam hal ini, termasuk KUHP yang baru disahkan tidak dapat mengatur soal kemerdekaan pers,” tandasnya.

Mantan Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat itu menungkapkan, dalam UU Pers, disebut salah satu peran utama pers ialah melakukan kritik terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingan umum.

Untuk mendukung peran itu, UU Pers sudah menegaskan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan.

Dalam pengertian penyensoran ini, jelas Wina, termasuk tidak boleh mengancam pers.

“Bahkan UU Pers telah menegaskan siapapun yang menghalang-halangi tugas pers, diancam pidana dua tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta. Dengan demikian, tambah Wina, hak mengeritik tetap melekat pada pers dan tidak dapat dibungkam, termasuk melalui KUHP,” jelasnya.

Advokat berstandar kompetensi tersumpah ini menegaskan, kritik yang dilontarkan pers tidak dapat ditafsirkan berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP.

Tak lupa Wina mengingatkan kembali, dalam Pasal 8 UU Pers sudah sangat jelas diatur, dalam menjalankan tugasnya wartawan dilindungi hukum.

“Dengan begitu KUHP sama sekali tak dapat dan tak boleh atau dilarang menyentuh kegiatan pers,” tandas Wina Armada.

Baca Juga: Terjadi Penyerangan di SMKN 3 Kota Semarang, Seorang Siswa Terluka Karena Terkena Sajam

Seandainya, kelak ada kegiatan pers yang sampai dikenakan pidana melalui pasal-pasal KUHP, di mata Wina berarti itu berupakan kejahatan terhadap peras.

”Itu termasuk kriminalisasi terhadap pers,” tuturnya.

Wina Armada berpendapat, pers hanya akan tumbuh sehat dalam lingkungan masyarakat dan bangsa yang demokratis, sedangkan sebagian dari pasal KUHP baru jelas bertentangan dengan alam demokrasi.

Selain itu Wina Armada juga mengecam tetap dimasukannya pasal-pasal hazaai artikelen atau pasal-pasal permusuhan dan kebencian dalam KUHP.

Dari sejarahnya, terang Wina, ketentuan ini sengaja diciptakan penjajah Belanda untuk membungkam pergerakan oragnisasi kemerdekaan Indonesia, dan menempatkan Ratu dalam posisi yang sakral yang tidak boleh dikritik.

Kini dalam KUHP malah dipertahankan untuk menegakkan kewibawaan penguasa. Dengan demikian seakan, rakyat dihadap-hadapkan dengan penguasa.
Dalam hal ini ada logika dan filosofi pembuatan KUHP yang sangat keliru.

“Fatal!” tegas Wina.

Mantan penyiar radio dan televisi ini menyatakan keheranannya, kalau berlakunya KUHP ada waktu transisi sampai tiga tahun, kenapa tidak mau mengundurkan sebentar pengesahannya untuk mengadopsi pasal-pasal perlindungan terhadap demokrasi.

“Akhirnya yang terjadi bukan legency di bidang perundang-undangan, melainkan bom sosial,”tegasnya. (***)

Loading...