Tambah 92, Kasus Konfirmasi Omicron di RI Capai 506 Orang

Loading...

Suarasiber.com – Pemerintah RI melalui Kementerian Kesehatan RI mengumumkan terjadinya penambahan kasus Omicron di Indonesia.

Data hingga Senin (10/1/2022) terjadi penambahan sebanyak 92 kasus konfirmasi.

Dengan penambahan tersebut, total kasus konfirmasi mencapai 506.

Mulai mendominasinya Omicron ini disampaikan Juru Bicara Vaksinasi Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi.

Melihat perkembangannya, konfirmasi Omicron cenderung meningkat. Hasil pemeriksaan SGTF, kasus probable omicron pada Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) cenderung meningkat.

“Demikian juga hasil WGS menunjukkan proporsi varian Omicron yang mulai mendominasi,” ungkap Siti Nadia dalam keterangan resminya.

Penambahan kasus Omicron masih didominasi oleh PPLN. Hanya 84 kasus transmisi lokal dari 506 kasus konfirmasi Omicron. Artinya sebanyak 415 merupakan PPLN.

Dengan kondisi tersebut, ia mengingatkan masyarakat harus bersiap menghadapi gelombang Omicron. Peringatan dan imbauan perlu mengingat karakteristik Omicron yang memiliki tingkat penyebaran yang sangat cepat.

Langkah yang diambil Kemenkas untuk menghadapi Omicron ialah fokus memaksimalkan pelayanan telemedicine bagi pasien yang melakukan isolasi di rumah.

“Kemenkes juga akan menyertakan penggunaan obat monulpiravir dan Paxlovid untuk terapi pasien COVID-19 gejala ringan,” imbuhnya.

Tentang SGTF dan WBS

Melansir cnnindonesia, metode SGTF bisa dilakukan ketika Gen S pada hasil test laboratorium menggunakan Polymerase chain reaction (PCR) tak mampu mendeteksi gen S pada sampel.

Ini disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran dari Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama, awal Desember lalu.

SGTF merupakan kependekan dari S Gene Target Failure untuk mendeteksi virus corona varian Omicron atau varian B.1.1.529.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu menjelaskan apabila individu melakukan tes PCR, biasanya akan ada hasil angka yang menunjukkan informasi CT Value, terdiri dari keterangan gen pada sampel yang diambil.

Apabila hasil dari PCR itu tidak mendeteksi adanya gen S, maka individu tersebut dianjurkan untuk melakukan proses pengecekan Whole Genome Sequencing (WGS).

“Jadi Gen s itu tidak terdeteksi dites PCR di laboratorium. Kalau Anda pernah test PCR maka hasil pemeriksaanya keluar beberapa angka, Misalnya rata-rata CT value itu 25, itu terdiri dari gen ini sekian gen ini sekian,” pungkasnya.

Sementara Whole Genome Sequencing (WGS) adalah metode pelacakan genetik suatu organisme (bakteri, virus, hingga manusia) dengan cepat dan terjangkau.

Tujuan tes dengan metode Whole Genome Sequencing (WGS) adalah mendapatkan informasi tingkat tinggi tentang varian bakteri atau organisme tertentu dengan satu kali tes.

Dalam keterangan tertulisnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), menjelaskan Whole Genome Sequencing (WGS) adalah istilah kuncinya ada pada “genom” yang artinya materi genetik.

Melansir liputan6.com, pemeriksaan dengan Whole Genome Sequencing (WGS) yang mengandalkan materi genetiklah, yang menjadikan berbagai varian virus Corona COVID-19 bisa dengan mudah terlacak. Tentu saja Whole Genome Sequencing (WGS) berbeda dengan tes Polymerase Chain Reaction atau PCR.

Metode dengan tes Whole Genome Sequencing (WGS) bisa digunakan untuk mengenali varian virus atau organisme. Sementara tes PCR hanya bisa digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus di dalam tubuh manusia. Itulah penjelasan singkat mengenai proses Whole Genome Sequencing (WGS) untuk melacak varian virus dan bedanya dengan tes PCR. (eko)

Editor Yusfreyendi

Loading...