Bintan Sudah Tak “Asri” Kepri Bisa Tak “Aman”

Loading...

Penulis: Buana F Februari (*)

(*) Pemerhati Lingkungan
Jebolan Penilai AMDAL dari SIL UI

SUDAH 10 hari ini langit di atas kepala saya terlihat gelap selalu, entah ini sebuah pertanda akhir zaman yang diawali dengan langit berkabut gelap selama 40 hari 40 malam. Atau, memang hanya sedang musimnya hujan mengguyur bumi. Wallahua’lam bishawab.

Akibat cuaca yang sedemikian, ikut berpengaruh ke aktifitas harian, biasanya saya selalu sempatkan di waktu petang untuk mengayuh sepeda lipat Brompton.

Sepeda yang saya dapatkan dari pemberian seorang teman sesama alumni Lemhannas. Namun, karena cuaca tak mendukung, otomatis Brompton tu pun belipat terus.

Hari Kamis semalam (kemarin, red) saya berkunjung ke Tanah Merah, sebuah kampung nelayan yang berada di Kabupaten Bintan. Oh, ya, saya jelaskan sedikit, bahwa saya berdomisili di Pulau Bintan tepatnya di Kota Tanjungpinang.

Di satu pulau ini, ada 3 Pemerintah Daerah bercokol di dalamnya. Ada Pemko Tanjungpinang, Pemkab Bintan dan Pemprov Kepulauan Riau.

Di Tanah Merah ini, saya biasa bergaul dengan para nelayan dan pengepul hasil laut. Sebagai pecinta kuliner seafood, saya paling “hantu” makan gonggong dan kepiting. Makanya, meski cuaca tak bersahabat tetap saya bela-belain ke sini.

Untuk sampai ke Tanah Merah, saya harus melalui ruas jalan yang terbilang jauh. Begitu melewati pembatas wilayah Tanjungpinang, saya akan disuguhi pemandangan kesibukan proses pembangunan.

Ya, Bintan memang sedang giat membangun infrastrukturnya dan itu sudah dilakukan sejak Bupati Ansar Ahmad yang selama dua periode memimpin Bintan.

Penerusnya sekarang hanya tinggal melanjutkan perencanaan yang sudah ada, boleh dibilang Bang Ansar itu, adalah arsiteknya Bintan.

Tapi sepanjang jalan saya terus bergeliat dengan pemikiran, sebab ada hal yang membuat saya pelik. Apakah hanya perasaan saya saja, yang saya lihat Bintan sekarang sudah tak Asri.

Banyak pepohonan yang ditebang serampangan, pembangunan ruas jalan yang tak dilengkapi drainase yang baik dan tak disertai ruang terbuka hijau yang layak.

Saya jadi teringat kasus-kasus yang saat ini sedang bergulir di Bintan, terutama mengenai persoalan perusakan lingkungan. Akibat, pertambangan atau pembangunan kawasan yang Amdal-nya meragukan sebut saja daerah Galang Batang,

Pemandangan Asri dan memukau yang 5 tahun lalu mudah dijumpai dan hampir merata di Bintan, kini justru sulit dilihat lagi.

Pengaruh Pandemi Covid-19 memang banyak membuat objek wisata terpaksa ditutup termasuk yang berada di kawasan mega wisata Lagoi.

Akibatnya para karyawan pun dirumahkan bahkan informasi terakhir bakal ada yang di-PHK. Semoga tidak terjadi.

Pandemi Covid-19 bukan satu-satunya hal yang menyepikan tempat tujuan wisata, seperti yang terjadi di Lagoi. Terkadang tumpahan minyak dari kapal juga membuat sepanjang pantai belengas dan tak elok dipandang.

Ya, boleh dibilang tak Asri lagi, Membuka lahan dengan alat berat dan dikumpulkan tumpukan biji bauksit sebagai stock pile, tambah tak Asri.

Ada pula aktifitas ilegal pengerukan pasir darat tanpa memperhitungkan dampak kerusakan lingkungaan yang diakibatkan, tambah lagi tak Asri.

Kegiatan penimbunan bakau dengan alasan perluasan wilayah dan dilakukan tanpa perizinan semakin menambah ketidak-Asri-an Bintan.

Saya tak nak membahas persoalan itu dari delik hukum maupun peraturan karena itu sudah ada ahli di bidangnya. Sebagai warga masyarakat, saya hanya mengkhawatirkan dengan kondisi Bintan yang sekarang tak Asri, tentu pengaruhnya ke aspek kehidupan yang lain.

Mata pencaharian para nelayan terganggu dengan adanya aktifitas pengumpulan biji bauksit yang mencemari perairan dan adanya tumpahan minyak.

Karyawan tempat wisata yang terancam di PHK akibat sepinya pengunjung juga bakal menjadi bom waktu permasalahan sosial. Kehidupan masyarakat pesisir juga terganggu dengan aktifitas hilir mudik alat berat menimbun bakau.

Perlu ada upaya perhatian dari pemimpin Bintan. Saya yakin Bupati dan Wakil Bupati Bintan yang sebentar lagi habis masa jabatan, pasti punya beban moral atas semua yang masih menjadi pekerjaan rumah mereka.

Dibutuhkan pemimpin yang mampu membuat terobosan seperti contoh di Kabupaten Lingga.

Bupatinya mampu membuktikan  Lingga sebagai lumbung padi dan kawasan unggulan budidaya hasil laut. Maka, semoga yang bakal memimpin Bintan ke depan, adalah yang bisa mengurus daerah. Bukan yang menguras daerah.

Pengaruh Bintan juga akan terasa buat Kepulauan Riau. Karena, Pemerintah Provinsi Kepri juga berada di pulau Bintan, otomatis apabila Bintan bergejolak maka situasi menjadi tak Aman.

Meningkatnya jumlah pengangguran dapat memicu ikut naiknya angka kriminalitas. Kerusakan lingkungan juga dapat menyebabkan suatu daerah menjadi rawan. Semua hal tersebut terkait dan pada muara nya menyebabkan Kepri bisa tak Aman. Waspadalah. (*) 

Loading...