Antara Oligarki dan Politik Kentut

Loading...

OLIGARKI sebuah kata pendek tapi punya makna sangat dalam. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani, Oligarkhia.

Maknanya, adalah sekelompok kecil elit pemegang kekuasaan politik yang punya pengaruh sangat besar.

Elit politik ini bisa dalam bentuk keluarga, yang kini dikenal dengan sebutan nepotisme. Di masa lalu disebut AMPI, anak (adik) menantu ponakan istri.

Selain keluarga, elit politik bisa dalam bentuk korporasi antara pemilik modal dengan politikis atau militer.

Kini, oligarki jenis ini tidak kolaborasi pemilik modal dengan politikus. Sebab, pemilik modalnya sudah sekaligus menjadi politikusnya.

Politik oligarki bukan hal baru di Tanah Air dan partai politik yang ada, cenderung mengarah ke oligarki.

Kita juga bisa merasakan, ada ratusan juta penduduk Indonesia. Dan, dikendalikan hanya oleh segelintir elit politik. Ini berlaku juga di banyak daerah provinsi di Tanah Air.

Segelintir elit ini juga yang mengatur pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Juga di provinsi, kabupaten dan kota, menyusul penerapan sistem otonomi daerah.

Hal itu menjadi jawaban, kenapa banyak orang mau mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah. Agar, bisa menjadi kepala daerah.

Sesuatu yang sangat tidak sehat. Itu sebabnya, oligarki politik memang menjadi penyakit dalam sistem demokrasi.

Bahkan, Kuskridho Ambardi dalam disertasinya di The Ohio State University tahun 2008 mengungkap pratik politik kartel di Indonesia.

Disertasi itu diterjemahkan dan dipublikasikan menjadi buku dengan judul Mengungkap Politik Kartel (http://kartel-indonesia.blogspot.com/2013).

Praktik politik kartel di Indonesia itu, dipertegas oleh Professor Ilmu Politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Jeffrey Winters.

Menurut penulis buku Oligarki ini, “Tujuan oligarki dapat bagi-bagi sumber daya alam. Kartel hanyalah budaya bagi-bagi. Kartel tidak punya idealisasi, semua hanya untuk bagi-bagi,” katanya, sebagaimana dikutip dari beritasatu.com, Selasa (9/6/2015).

Kecerdasan Pemilih Adalah Musuh Berat Oligarki

Pertanyaan yang muncul, apakah politik oligarki yang berujung pada politik kartel tidak bisa dilawan? Jawabannya, adalah sangat bisa.

Bahwa jaringan politik yang begitu kuat dan mengendalikan modal, ternyata masih bisa dipatahkan. Bahkan, dikalahkan dan tanpa modal yang besar.

Semua itu tergantung pada para pemilih. Khususnya, oleh para pemilih yang sudah cerdas.

Yang tidak mempan lagi disuap Rp100 ribu atau Rp250 ribu, untuk mencoblos calon yang sudah jadi bagian dari oligarki politik.

Di Indonesia sudah pernah terjadi saat Pilkada Provinsi DKI Jakarta. Saat kubu Jokowi – Ahok mengalahkan kubu Foke – Nara.

Figur calon yang kuat dikombinasikan dengan pemilih yang cerdas, mampu menumbangkan calon yang sudah jadi bagian dari oligarki politik (kompas.com, 20/9/2012).

Pemilih yang cerdas juga menjadi penentu terpilihnya George Walker Bush, sebagai Presiden Amerika Serikat ke-43.

Padahal, dia adalah anak dari George Herbert Walker Bush, presiden Amerika Serikat ke-41. Yang berarti termasuk bagian dari oligarki politik di Amerika.

Meski begitu George Walker Bush, membuktikan memang punya kemampuan. Dan, Bush Jr ini terpilih untuk dua periode presiden.

Bush Jr menjadi antitesis oligarki politik. Namun, Bush Jr tidak tiba-tiba datang ke kancah politik setelah ayahnya jadi presiden.

Dia sudah menyiapkan diri selama bertahun-tahun, sebelum terjun ke gelanggang politik. Itu sebabnya dia mampu memimpin Amerika, untuk dua kali masa jabatan.

Bahwa, hal itu juga bisa terjadi kepada siapapun yang menjadi bagian dari oligarki politik. Anak siapapun yang jadi bagian dari oligarki, bisa saja menjadi penerus.

Dengan catatan, dia sudah dipersiapkan secara matang dan memang punya kemampuan yang mumpuni.

Bukan tiba-tiba masuk ke gelanggang politik dan hanya punya kekuatan modal. Seperti terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Karena terjun ke politik cuma berbekal modal, maka tak banyak yang bisa dibuat setelah duduk jadi pemimpin.  Yang dipikirkan hanya mengembalikan modalnya.

Baik yang bersumber dari APBD, juga dari pengelolaan sumber daya alam di daerah itu. Semua itu dilakukan hanya untuknya, keluarganya, kelompoknya dan pemodalnya.

Masyarakat daerah itu cukup jadi penonton. Cukup jadi pekerja dengan upah minimum. Cukup dikasih semenisasi, pemagaran kuburan, lapangan bola atau air bersih seadanya.

Sedangkan mereka terus menumpuk modal lagi. Untuk pemilihan berikutnya. Jika sudah dua periode, akan diteruskan oleh keluarganya.

Istrinya yang ibu rumah tangga atau anaknya yang baru lahir, tiba-tiba jadi pemimpin (legislatif dan eksekutif).

KPK membuktikan dengan berulangnya operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pemimpin yang berasal dari oligarki politik.

Politik Kentut

Kecerdasan pemilih menjadi jawaban, untuk mengalahkan oligarki politik dan politik kartel. Pemilih dituntut cerdas, agar selama lima tahun berikutnya tidak menjadi penonton.

Menonton para pemimpinnya bermandikan kemewahan. Tiap minggu pelesiran ke berbagai penjuru Nusantara dengan alasan kunker.

Menonton pameran kemewahan dari keluarga pemimpin. Jam tangan mewah, tas merek terkenal, sepatu impor atau parfum impor serta ponsel berharga jauh di atas gaji dan tunjangannya.

Sementara, warga masyarakatnya untuk makan minum lebih harus banting tulang. Untuk sekedar duduk ngopi harus menunggu ajakan teman. Lapangan kerja pun sangat terbatas.

Itu risiko besar yang harus diterima pemilih yang mau disuap Rp150 ribu – Rp250 ribu.
Paling tinggi yang mereka peroleh hanya menjadi pegawai tidak tetap.

Semua calon pemimpin akan membantah keras menyuap pemilihnya. Mereka akan menjawab, dipilih karena visi misinya bagus. Padahal, visi misinya cuma kalimat berbunga yang dibuat indah dan rumit.

Money politic sulit dibantah, wujudnya memang tidak ada. Tapi, aromanya sangat tercium jelas. Mirip sekali seperti kentut. Tidak nyata terlihat tapi tercium. Busuk. (*)

Penulis Zainal Takdir, seniman dan aktivis politik di Kota Tanjungpinang

Editor sigit rachmat 

Loading...