Pedagang Martabak Ini Sukses Antarkan Ketiga Anaknya

Loading...

Yakinlah dengan kuasa Allah. Yang kedua, jangan tinggalkan salat, kalau bisa tepat waktu

Nurali Mahmudi – Sigit Rachmat

Kalimat itu biasa saja. Banyak yang mengatakannya. Namun bagi Azwar, dua hal itulah yang membalut perjalanannya sebagai pedagang martabak kakilima. Dari susah hingga sekarang ia memetik buahnya.

Sore tadi, Sabtu (10/2/2018), sehabis maghrib, lelaki asal Bukitinggi, Sumatra Barat itu baru melayani pembeli. Usianya 60 tahun pada April mendatang, namun kerutan usia di wajahnya kalah oleh semangat dan sifat ramahnya.

Tahun 1973, suami dari Yesfrelis ini merantau ke Tanjungpinang. Kehidupan berat dimulainya sebagai pengojek. Hanya itu yang bisa dilakukannya.

“Ada lima belasan tahun mengojek,” tuturnya. Sementara kedua tangannya dengan cekatan membalik adonan martabak. Seorang pembeli menunggu, duduk di kursi di sudut gerobak.

Keyakinan bahwa Tuhan mengatur segalamnya sudah tertanam di dada lelaki ini. Sejak dahulu. Itulah sebabnya, ia pantang mengeluh. Sebagai manusia, yang dengan sadar dilakukannya ialah berusaha dan berdoa. Hasilnya itu urusan Tuhan.

Tentu saja semakin hari penghasilannya sebagai pengojek kurang memadai untuk menopang hidup keluarganya. Dari saudaranya, ia belajar membuat martabak.

Tahun 1993, mulailah Azwar dengan gerobak martabaknya mangkal di dekat lampu merah Pamedan. Saat itu, tentu warga Tanjungpinang tak sepadat sekarang. Persimpangan Pamedan tak riuh oleh klakson dan deru kendaraan.

Sebuah perjuangan yang tak bisa dikatakan mudah. Tak ada pedagang yang menginginkan barang dagangannya tersisa. Namun itulah kenyataan yang harus diterima Azwar.

“Kadang laku satu, kadang lebih,” akunya.

Azwar lalu terdiam sejenak. Dihelanya nafas. Perlahan. “Kalau dipikir ya sedih. Mendorong gerobaknya di belakang Kantor Samsat, titip sama orang. Lakunya tak banyak,” lanjutnya, hampir hampir tak terdengar karena suara bising mesin kendaraan.

Namun jiwa perantau tak membuatnya patah semangat. Menjadi pengojek belasan tahun saja mampu dilaluinya. Ia tak bergeming, untuk pindah profesi misalnya. Satu tekat ditanamkan di hatinya, tekun dan tetap berdoa.

Ia tahu benar cara melayani pembeli. Ia juga terus memperbaiki citarasa martabaknya. Hingga satu persatu pelanggan terjaring di kelezatan martabaknya.

Ketika kendaraan semakin ramai, Tanjungpinang menggeliat, Azwar pun memilih pindah dari Simpang Pamedan. Sekitar tiga tahun lewat, ia mangkal di depan Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Artinya, ia harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendorong gerobaknya. Pulang pergi. Beruntung anak-anaknya memiliki semangat seperti ayahnya.

Kini, Azwar sudah memiliki banyak pelanggan. dari martabak juga ia membiayai sekolah anak-anaknya. Sisanya untuk kebutuhan sehari-hari.

Anak pertamanya, Rahmat yang lahir tahun 1985 kini bekerja sebagai honor di Pemko Tanjungpinang. Adik Rahmat, Nurhasanah yang lebih muda dua tahun dari abangnya, kini bekerja sebagai pegawai sebuah bank syariah di Batam. Si bungsu, Irwandi Syahputra yang usianya 24 tahun saat ini menyelesaikan S2-nya di Universitas Andalas.

“Yang bungsu lulus S1 di Universitas Riau, jurusan hukum,” cerita Azwar. Tentu saja ada kebanggaan sebagai ayah melihat prestasi anak-anaknya.

Irwandi masuk UNRI lewat jalur undangan dari SMA Negeri 2 Tanjungpinang. Lama kuliah hanya ditempuhnya dalam rentang waktu 3,5 tahun dengan IPK 3,91. Cumlaude.

Sudah seminggu anak bungsu Azwar ini berada di Tanjungpinang untuk urusan penelitian.

“Kalau Mas mau menunggu, sebentar lagi ia ke sini. Meski sudah kuliah, ia tak malu membantu saya mendorong gerobak,” tutur Azwar.

Dengan harga per porsi martabak Rp15.000, Azwar selalu bersyukur. Rasa syukur itu salah satunya dengan niat ingin berangkat haji ke tanah suci. “Insyaallah,” kata dia, “tahun ini berangkat.”

Suara azan bagi Azwar adalah panggilan yang menggetarkan kalbunya. Dan ia tak segan meninggalkan gerobaknya di tepi jalan untuk bergegas menuju masjid atau musala terdekat, di komplek Pengadilan Negeri.

Azwar sadar apa yang diterimanya saat ini pasti campur tangan Allah yang Maha Paham kebutuhan umat-Nya. Asalkan umat tadi berdoa dan berusaha dengan niat baik serta pekerjaan yang halal.

Berangkat dari rumahnya, di Jalan Basuki Rahmat, di belakang Surau Muhtadun, pukul 17.00 WIB setiap hari, pulangnya tak bisa dipastikan. Jika sedang sepi, roda gerobaknya baru berputar menyusuri jalan pulang pada pukul 01.00 WIB.

Itulah hidup. Itulah jalan Allah yang ditunjukkan kepada Azwar. Hujan, panas, dingin dan segala cuaca diturunkan Allah tentu ada maksudnya. Dan Azwar tetap bersyukur.

Filosofinya sederhana. “Cicak yang merayap di plafon rumah saja diberi makan, apalagi manusia. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Dan satu yang saya katakan tadi, jangan lupa tunaikan salat,” pesan Azwar.

Sebentar lagi azan isya berkumandang. Sebentar lagi Azwar akan menghadap Zat tertinggi yang telah memberinya kehidupan, jalan hidup, anak-anak yang berbakti dan kesehatan.

Jalanan sibuk oleh suara mesin kendaraan. Bising. Riuh. Ramai. Namun Azwar merasakan ketenangan. Karena semua dipasrahkan kepada-Nya. ***

Loading...