ASN “Haram” Berpolitik Praktis dan Ambigu Sebuah Larangan

Loading...

Oleh Ahmadi

APARATUR Sipil Negara (ASN) yang dulu populer dengan sebutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi salah satu isu paling seksi di setiap gelaran Pemilu.

Dalam berbagai kesempatan para pejabat tinggi di kementerian selalu mengulang-ulang larangan ASN untuk tidak terlibat langsung dalam Pemilu. Baik Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif juga Pemilu Kepala Daerah.

Siapa yang dinilai terlibat harus siap menerima sanksi berat. Seperti yang baru dialami oleh Pj Bupati Kampar Firdaus.

Jabatannya dicopot oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian karena diduga tak netral menjelang Pemilu 2024 (detik.com, 20/12/2023).

Ada banyak pesan dari sikap tegas Mendagri mencopot Pj Bupati Kampar tersebut. Salah satu yang terlihat adalah betapa takutnya pemerintah terhadap ASN yang berpolitik.

Padahal jumlah ASN di seluruh Indonesia hingga semester I tahun 2023 sekitar 4,28 juta orang (databoks.katadata.co.id, 14/92023).

Jumlah itu berarti hanya sekitar 1,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia sekitar 278, 8 juta jiwa (dataindonesia.id, 9/11/2023).

Meski jumlah persentasenya sangat kecil dibanding jumlah penduduk Indonesia keseluruhan. Namun, ASN adalah orang yang mengatur dan melaksanakan jalannya pemerintahan.

Menjadi wajar jika ASN dirantai dalam urusan politik praktis . Karena perannya yang vital mampu mengubah situasi dan kondisi perpolitikan.

Bahkan bagi ASN yang terbukti menjadi anggota dan atau pengurus partai politik diancam dengan sanksi diberhentikan dengan tidak hormat (Pasal 87 ayat (4) huruf c UU ASN).

Begitu juga dengan ASN yang tidak netral pada gelaran semua jenis Pemilu. Seperti disebutkan pada Pasal 5 huruf n angka 5 PP 94/2021.

Ancaman sanksinya tak main-main. Mulai dari penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan. Pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan.

Hingga pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

Ancamannya sangat mengerikan karena bisa membuat periuk nasi terlungkup.

Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa ASN terlibat politik, bahkan sekedar tidak netral pun adalah haram.

Aturan haram itu dilihat dari satu sisi. Namun jika dilihat dari sisi lain, ada kesan ASN justru dituntut berpolitik. Loh, kok bisa?

Mari kita lihat sisi lain itu dilihat dari UU ASN itu sendiri, khususnya di Pasal 53 huruf d dan e.

Dalam pasal tersebut dinyatakan, Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi
pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian
utama kepada:
a. menteri di kementerian;
b. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah
nonkementerian;
c. sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan
lembaga nonstruktural;
d. gubernur di provinsi; dan
e. bupati/walikota di kabupaten/kota.

Pada ayat d dan e, dinyatakan gubernur di provinsi, bupati/walikota di kabupaten/kota.

Baik gubernur, bupati dan walikota dipilih (saat ini dipilih) langsung oleh masyarakat secara demokratis melalui proses politik di Pemilukada.

Hal tersebut dinyatakan di Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (dpr.go.id).

Jelas bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih melalui proses politik (Pemilukada).

Sangat jelas pula bahwa gubernur, bupati dan walikota adalah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai aparatur sipil negara dan pembinaan manajemen aparatur sipil negara di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (bkn.go.id).

Bisa dikatakan PPK adalah penentu nasib karir ASN di provinsi, kabupaten dan kota.

Suka atau tidak, kedekatan dengan kepala daerah sangat mempengaruhi karir seorang ASN (di daerah).

Kedekatan bisa secara langsung, bisa juga tidak langsung. Agar karir cepat menanjak atau bisa mendapat jabatan yang diidamkan.

Atau pangkatnya melesat naik secepat kilat seperti di film Nagabonar.

Pendapat itu sebenarnya bisa terbantahkan dengan adanya proses open bidding untuk jabatan eselon 2 atau Pimpinan Tinggi Pratama.

Sayangnya proses itu terkesan sebatas seremonial. Karena siapa yang akan terpilih menduduki jabatan sudah diketahui. Bahkan sejak proses pendaftaran dimulai.

Kondisi ini membuat sejumlah ASN di daerah (provinsi, kabupaten, kota) dengan segala cara berusaha mendekat ke kepala daerah atau calon kepala daerah.

Kondisi yang jelas sangat tidak sehat. Khususnya bagi ASN yang berdisiplin tinggi, cerdas dan loyal kepada tugas pokok fungsi dan tanggungjawab jabatannya.

Mungkin, jika PPK di provinsi, kabupaten dan kota adalah Sekretaris Daerah (Sekda) situasinya akan berbeda.

Karena Sekda tidak dipilih melalui proses politik. Sehingga ASN tidak perlu ikut-ikutan bergerilya di setiap ajang Pemilu. Khususnya di Pemilukada.

Itu sebuah kemungkinan yang tentunya perlu kajian mendalam oleh para perancang dan pembuat UU ASN.

Kembali ke judul di atas ASN Berpolitik, Haram atau Halal? Jika dipandang dari sudut peraturan dan perundangan jelas haram hukumnya.

Bagaimana jika dipandang dari sudut lain? 

Penulis adalah Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang

Loading...