HIPKI Dukung Upaya Pemerintah Evaluasi Perizinan Pasir Kuarsa di Daerah

Loading...

TANJUNGPINANG (suarasiber.com) – Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) dengan tegas menyatakan mendukung upaya pemerintah pusat untuk mengevaluasi proses perizinan pasir kuarsa yang kewenangannya sudah diberikan ke pemerintah daerah.

Perizinan ini telah ditetapkan sebagai mineral kritis melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor: 296.K/MB.01/MEM.B/2023.

Kebijakan evaluasi perizinan ini selaras dengan agenda penyusunan roadmap hilarisasi pasir kuarsa yang sedang dilakukan oleh Kementerian Investasi/BKPM.

Dengan demikian, proses pengurusan perizinan pasir kuarsa lebih terukur dengan menimbang manfaat jangka panjang.

Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari menyatakan, mendukung kebijakan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian investasi/BKPM melakukan evaluasi.

“Jika tujuannya untuk memperbaiki kondisi dan tata kelola yang carut-marut di daerah saat ini, kami tentu sangat mendukung perizinan pasir kuarsa ini dievaluasi,” tegasnya.

Ady mengungkapkan, sejak pelimpahan kewenangan perizinan pasir kuarsa dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi, tata kelola perizinan pasir kuarsa semakin amburadul.

“Baik dari sistem pengurusan perizinannya maupun dari sistem tata niaganya masih carut marut. Padahal perizinan ini harusnya memberikan kemudahan bagi investor atau pelaku usaha,” ungkapnya.

Ia mencontohkan, dalam proses permohonan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) antara satu provinsi dengan provinsi lainnya penerapan aturannya berbeda-beda.

Ada yang proses permohonannya dilakukan secara online dan ada juga yang masih offline atau manual.

“Begitu juga dengan tata niaganya. Harga patokan mineral masing-masing provinsi penetapannya berbeda-beda. Bahkan, kesannya ugal-ugalan, tanpa kajian dan perhitungan yang cermat,” ujar Ady.

Secara umum, sambung Ady, opsi evaluasi perizinan pasir kuarsa ini ada dua pilihan. Pertama, pemerintah pusat melakukan supervisi kepada pemerintah provinsi agar semua prosedur dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang berlaku di pusat.

Kedua, pemerintah pusat menarik kembali perizinan pasir kuarsa ini ke pusat dalam konteks sebagai mineral kritis yang sulit ditemukan penggantinya yang layak, meskipun pasir kuarsa ini merupakan mineral bukan logam.

“Dengan demikian, semua prosedurnya itu bisa dilakukan dengan norma dan standar yang sama, pun dalam penerbitan perizinannya bisa dipantau kemudian bisa dilakukan sesuai dengan program atau agenda-agenda pemerintah jangka panjang,” kata Ady.

Kemudian, jika pemerintah telah melaksanakan supervisi atau menyeragamkan proses prosedur perizinan pasir kuarsa di seluruh Indonesia ataupun dengan mengambil alih kembali kewenangan ini ke pusat, maka pemerintah juga mempunyai pilihan dalam mengatur proses perizinan.

Dengan begitu, maka pemerintah betul-betul bisa menata jumlah perizinan yang diterbitkan dan berapa luasnya. Namun konsekuensinya adalah pemerintah sendiri yang harus menanggung risiko eksplorasi.

“Jadi pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk melakukan eksplorasi setidaknya hingga data dianggap cukup untuk dibuat Wilayah Pertambangan yang akan dilelang kepada pihak badan usaha,” paparnya.

Sejauh ini, tambah Ady, baru ada beberapa wilayah di kabupaten/kota di Indonesia yang perizinannya bisa diurus di daerah. “Tapi jumlahnya tidak banyak. Untuk di wilayah Kepri misalnya, baru di Kabupaten Natuna yang IUP bisa diterbitkan. Selebihnya (kab/kota) lain belum ada,” urainya.

Sebelumnya, Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, bahwa saat ini pihaknya akan mengkaji perizinan pasir kuarsa dan zirkon apakah akan dikelola oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

“Ya (kuarsa dan zirkon) itu yang sedang kita lakukan evaluasi,” kata Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Senin (2/10) pekan lalu. (***)

Loading...