Kejayaan Negeri Lingga Abad ke-16 Sebelum Era Kesultanan

Loading...

Jauh sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Johor Riau Lingga Pahang ke Daik Lingga tahun 1787, Kepulauan Lingga sudah ramai penduduknya.

Pada abad 16, negeri Lingga mengalami kemakmuran di bawah kepimpinan seorang raja yang sangat kuat dan ditakuti di kawasan Selat Malaka.

Potret negeri Lingga pada abad ke-16 dapat dilihat dalam catatan Tom Pires dalam karya monumentalnya, Suma Oriental.

Tom Pires yang pernah tinggal di Malaka selama dua setengah tahun, menulis karyanya selama tahun 1512-1515. Salah satu daerah yang ditulis dalam Suma Oriental adalah Kepulauan Lingga (Linggua atau Limgua).

Lingga disebutkan terdiri atas empat pulau besar yang terletak di seberang Tungkal, nyaris berseberangan dengan tanah Palembang (Palimbao).

Berikut catatan Tom Pires:

Wilayah ini berpenduduk padat, dipimpin raja. Orang-orangnya merupakan kesatria campuran. Mereka memiliki lebih dari 40 lanchara, mereka memiliki banyak lancarias, tanaman obat lignaloe, beras dan bahan makanan yang melimpah, serta tanahnya subur. (hlm.194).

Dari catatan Pires ini dapat kita ketahui bahwa pada abad 16, Lingga sudah menghasilkan beras dalam jumlah besar. Bahan makanan yang melimpah, diantaranya ikan, buah-buahan dan juga daging.

Lingga juga menghasilkan lignaloe atau gaharu yang harganya sangat mahal. Biasanya gaharu digunakan untuk obat-obatan.

Kepulauan Lingga dengan hasil alamnya juga melakukan perdagangan dengan daerah tetangga, seperti Tungkal, Melaka dan lainnya.

Di Lingga, ada tiga pulau yang dinamakan Calantiga (Alang Tiga) yang terletak di depan Kuala Tungkal. Ketiga pulau berbentuk padang pasir dan tidak berpenghuni. Pulaunya memiliki sumber air yang baik. Di Lingga juga ada pulau di depan Jambi bernama Berhala. Pulaunya pada abad 16 juga tidak berpenghuni.

Orang Suku Laut (Celate) terkadang mampir ke tempat ini karena memiliki sumber air bersih yang baik.

Di sisi yang berlawanan dengan Kepulauan Buaya di Lingga, terdapat terusan yang bisa jadi akses ke Bintan, Pahang, Siam dan tempat lainnya.

Informasi lain yang menarik adalah raja yang berkuasa di Lingga sangat kuat dan ditakuti. Kekuatannya lebih besar dari Raja Kampar. Sosok rajanya menyerupai Orang Celate (Orang Suku Laut).

Lingga sangat sangat dan mampu mempertahankan diri dari musuh-musuhnya. Raja Lingga memiliki jumlah prajurit sebanyak empat atau lima ribu orang.

Raja Lingga memiliki 40 parao (perahu) dan lanchara. Raja Lingga (Limgua) sangat ditakuti dan disegani karena memiliki prajurit yang paling suka berperang dibandingkan penduduk di negeri lain, baik di Malaka, kerajaan maupun wilayah taklukannya.

Hal yang menjadikan Raja Lingga begitu kuat adalah karena dicintai Celate (Orang Suku Laut).

Pires sendiri menyebut celate adalah bajak laut yang pergi berlayar dengan menggunakan parao-parao (perahu) kecil. Mereka melakukan perompakan kapanpun di mana ada kesempatan. Mereka patuh pada Malaka.

Orang Celate menjadikan Bimtam (Bintan) sebagai markas. Orang-orang ini akan menjadi pendayung kapan raja Malaka membutuhkan dan tanpa bayaran. Penguasa Bintan mengirim mereka untuk bekerja pada bulan-bulan tertentu dalam setahun.

Tom Pires dalam karyanya Suma Oriental tidak menyebutkan sosok raja yang berkuasa di Lingga pada abad 16 itu. Usai Kerajaan Malaka dikuasai Portugis tahun 1511, wilayah di bawah Kerajaan Malaka juga lepas satu persatu.

Munculah Kerajaan Johor pertengahan abad ke-16 yang menguasai wilayah eks Kerajaan Malaka, termasuk Lingga.

Baru sekitar akhir abad 18, ada penguasa baru di Lingga bernama Megat Kuning. Tokoh ini konon asalnya dari Pangkalan Lama, Jambi yang hijrah ke Lingga dan mendapat dukungan dari Orang Suku Laut.

Saat Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah ke Daik Lingga, Megat Kuning menjadi pengikut sultan. Ia diberi posisi sebagai temenggung dan berdiam di Pulau Mepar (Lingga). ***

Penulis Dedi Arman
(Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional)

Loading...