Bengawan Solo Dilupakan di Negeri Sendiri, Dicintai di Tiongkok

Loading...

Sebuah video pendek berdurasi 3 menit 15 detik masuk ke WhatsApp saya. Isinya diawali dengan suara instrumen musik yang familiar di gendang telinga.

Itu suara musik untuk lagu legendaris yang berjudul Bengawan Solo, karya musisi ternama Gesang Martohartono.

Lagu yang royaltinya dibayar rutin setiap tahun oleh Jepang ke pemerintah Indonesia. Nilai royaltinya sekitar Rp80 juta – Rp100 juta per tahun.

Lagu Bengawan Solo di video pendek di WhatsApp ini, tidak berbahasa Jepang. Pun tidak berbahasa Indonesia. Tapi berbahasa China. Bahasa Mandarin.

Yang menyanyikannya dua orang anak usia sekolah dasar berusia sekitar 10 tahun. Mereka berdua menyanyikannya di dengan riang, dan membuat penontonya ikut berdiri.

Ada kesan aneh yang membuat bulu halus di tubuh saya berdiri menyaksikan video ini. Di Indonesia sendiri, lagu Bengawan Solo sudah nyaris terlupakan.

Jangankan dinyanyikan oleh anak-anak, orang dewasa pun sudah sangat jarang menyanyikannya. Tidak dinyanyikan lagi. Pun tak disuarakan lagi di nyaris semua saluran siaran.

Entahlah.

Atau, mungkin kuping saya yang minim mendengar siaran radio? Atau mata saya yang juga minim menyaksikan acara di televisi lokal. Kecuali, untuk siaran berita, olahraga sepakbola, balap MotoGP, dan film.

Balik ke video lagu Bengawan Solo itu, yang dinyanyikan di sebuah lomba lagu anak-anak di China. Juri mengomentarinya sebagai lagu dengan melodi yang sangat indah.

Meski tidak dinyanyikan dalam bahasa aslinya (Bahasa Indonesia, red), namun lagu Bengawasan Solo tetap indah. Dan, bisa dinikmati di seluruh dunia.

Saya mencoba mencari referensi tentang video tersebut. Saya pun menghubungi, Agus Thamrin, bos Bintan Agro, yang sudah puluhan tahun tahun berinvestasi di bidang pariwisata, dan memajukan wisata di Pulau Bintan.

Agus Thamrin, saya nilai berkredibel. Dan, punya pengetahuan tentang video pendek itu. Benar! Saat berhasil mengontaknya, pria yang selalu humble ini juga mengetahui video lagu Bengawan Solo itu.

Dua anak yang menyanyikan lagu monumental itu, ternyata cicit dari kakek nenek buyut yang pernah berdiam di Indonesia hingga sebelum tahun 1960. Dan, sangat menyintai Indonesia.

Namun, karena dampak sebuah kebijakan pada masa itu, banyak orang keturunan Tionghoa harus balik ke Tiongkok. Termasuk, kakek buyut kedua bocah itu.

Walau sudah kembali ke Tiongkok, namun kecintaan mereka terhadap Indonesia, dan budayanya tak pernah luntur. Mereka tetap mengajarkan Bahasa Indonesia, juga bahasa daerah di Indonesia ke anak cucu cicitnya.

“Banyak di antara mereka di dalam keluarganya masih memakai Bahasa Jawa, Padang, Palembang, dan lain-lain. Meski hidup di Tiongkok,” kata Agus Thamrin.

Terjawab sudah, apa sebab bocah-bocah di Tiongkok masih menyintai lagu Bengawan Solo. Penonton yang ada di acara itu pun begitu mengenal lagu tersebut. Dan, ikut berdiri sambil menepuk tangan mengiring lagu itu dinyanyikan.

Saya tidak kenal dengan dua bocah yang menyanyikan lagu Bengawan Solo dengan bangga. Akan tetapi saya merasa perlu berterimakasih kepada mereka berdua.

Di saat anak-anak kita bangga menyanyikan lagu Amrik, masih ada anak-anak di belahan dunia lain yang bangga menyanyikan Bengawan Solo. Sekaligus mengingatkan arti tentang cinta tanah air.

Tak cukup hanya meneriakkannya saat demo, saat kampanye atau saat adu tegang urat leher di debat. Bahwa, cinta tanah air harus dibudayakan sejak usia dini! (sigit rachmat)

Loading...