Ambisi Kepala Daerah Mutasi Jabatan ASN, Tanpa Kajian Hingga Langgar Konstitusi

Loading...

Mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan sebuah dinamika yang selalu menjadi problematika dalam pengaturan manajemen kepegawaian di setiap tingkatan pemerintahan. Walaupun peraturan perundang-undangan telah mengatur secara rinci skema pelaksanaan mutasi, namun masih banyak ditemukan pelaksanaan mutasi yang tidak sesuai prosedur.

Secara definisi, pengertian mutasi menurut Malayu Hasibuan dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia (2017) menjelaskan, bahwa mutasi adalah perubahan posisi, jabatan, tempat, pekerjaan yang dilakukan baik secara horizontal maupun vertikal di dalam satu organisasi. Secara kemanfaatan, pelaksanaan mutasi berguna bagi setiap individu ASN karena akan memiliki pengalaman baru, mendapatkan pandangan yang lebih luas dan tidak terjadi kebosanan dan kejenuhan.

Di sisi lain, bagi internal pemerintahan maka akan ada pemerataan kualitas dan prestasi di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Namun pelaksanaan mutasi tidak semata-mata dapat sesuai dengan keinginan mutlak kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Dalam pelaksanaan mutasi telah diatur secara rinci dalam Pasal 73 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara jo Pasal Pasal 190 sampai dengan Pasal 197 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil jo Peraturan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi.

Sedangkan, secara khusus pelaksanaan mutasi kepala dinas sebagai Pimpinan Pejabat Tinggi Pratama (PPT) telah diatur pelaksanaannya dalam Pasal 130 sampai dengan Pasal 134 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

Namun demikian pelaksanaan mutasi di berbagai daerah di Indonesia oleh kepala daerah masih saja terjadi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut karena berbagai faktor seperti ketidakcocokan gaya kepemimpinan, ketidaksukaan secara personal, terdapat kepentingan politik dan juga karena alasan ketidakloyalitasan terhadap kepala daerah.

Penyalahgunaan Wewenang Dalam Perspektif Hukum Administrasi

Seorang kepala daerah dalam menjalankan kewajibannya sebagai pejabat negara terikat sebuah kewenangan dan juga wewenang jabatan.

Menurut S.F. Marbun dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara I menjelaskan, bahwa kewenangan dan wewenang walaupun memiliki kesamaan namun ada sedikit perbedaan. Kewenangan disebut juga kekuasaan formal yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu dari kewenangan.

Dalam memperoleh kewenangan, ada tiga cara yaitu :

  • Pertama, melalui atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang kepada suatu pemikul kewajiban tanggungjawab (organ pemerintahan), baik guna menambahkan kewenangan atau memberikan kewenangan yang baru.
  • Kedua, melalui delegasi, yaitu pemberian wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain, dalam delegasi kewenangan diserahkan dari orang pertama kepada orang kedua.
  • Ketiga, melalui mandat, yaitu pelimpahan kewenangan kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberikan mandat.

Namun dalam penggunaan kewenangan dan wewenang, kepala daerah memiliki batasan-batasan formil yang diatur dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Batasan-batasan tidak tertulis atas kewenangan disebut dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dijelaskan pada Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Dalam pasal itu berbunyi, bahwa negara hukum adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung jawab.

Di sisi lain, batasan tertulis diatur dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menjelaskan bahwa syarat sahnya sebuah keputusan harus ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, dibuat sesuai prosedur dan sesuai dengan substansi dari objek keputusan. Sehingga dapat dimaknai bahwa tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat negara tidak dapat dibenarkan dalam aspek penggunaan kewenangan dan juga keabsahan sebuah keputusan.

Like And Dislike Sebagai Alat Ukur Melakukan Mutasi

Penggunaan prinsip like and dislike atau suka dan tidak suka dalam menilai kinerja seorang kepala dinas bukan merupakan penilaian yang objektif. Karena sejatinya harus sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimilikinya, hal ini sesuai dengan prinsip “the right man in the right place”.

Dikarenakan, jika kita merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi, bahwa dalam pelaksanaan mutasi harus disusun perencanaan yang memperhatikan aspek Kompetensi, Pola Karir, Pemetaan kepegawaian, talent pool, perpindahan dan pengembangan karir, penilaian prestasi kerja/kinerja, perilaku kerja, kebutuhan organisasi dan sifat pekerjaan teknis atau kebijakan tergantung pada kualifikasi jabatan.

Namun demikian, banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya mutasi kepada kepala dinas sebagai PPT. Diantaranya karena terdapat hubungan nepotisme antara kepala daerah dan ASN yang akan ditempatkan mengisi jabatan kepala dinas. Nepotisme ini biasanya terjadi sebagai bentuk balas budi politik karena telah mendukung saat pemilihan kepala daerah serta ada hubungan persaudaraan atau pertemanan.

Kedua, terdapat dendam politik karena kepala dinas yang dimutasi tidak mendukung kepala daerah terpilih saat pemilihan kepala daerah. Ketiga, kepala dinas tidak loyal dan tidak melakukan perintah kepala daerah dan Keempat: kepala dinas menjadi pihak yang merugikan dalam kasus korupsi atau maladministrasi yang dilakukan oleh kepala daerah.

Dalam hal ini, jika ada kepala daerah, Gubernur, Walikota ataupun Bupati yang melakukan mutasi dinilai sarat kepentingan politik atau ambisi politik yang tinggi. Secara aturan itu melanggar konstitusi sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

Dalam Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:
Ayat 1 , Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Ayat 2 berbunyi, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang
melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai
dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Ayat 3 juga menjelaskan, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum
tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Dalam hal in, sebagai kepala daerah petahana, jika ingin mencalonkan diri kembali pada pilkada, harus perlu mengkaji secara rinci aturan dan konstitusi. Jangan hanya mementingkan ambisi politik semata.

Bagaimana nasib para pejabat yang sudah dilantik dan sudah merayakan dengan keluarga atas promosi jabatannya namun akhirnya batal dan tetap menjabat di posisi (jabatan) yang lama.

Ada yang sudah senang dengan menjabat kepala dinas, kepala UPT dan kepala bidang. Namum itu hanyalah sedikit lelucon (prank) bupati, mereka (pejabat) masih menduduki posisi dan jabatan mereka yang lama. (***)

Ditulis oleh Isep Ilhami
Wakil Ketua Pemuda Padang Kejai Tapan, Pesisir Selatan

Loading...