Saras Dewi: Menulis adalah Kebutuhan

Loading...

Menulis bukan sekadar aktivitas kerja atau pengisi waktu luang. Lebih dari itu, menulis adalah kebutuhan.

Demikian ujar Luh Gede Saraswati Putri atau yang umum dikenal sebagai Saras Dewi pada gelar wicara Kinara (Kicauan Narabahasa) via Twitter Space Narabahasa, Ahad (6/2/2022).

Bagi Saras, menulis bukanlah hal yang asing. Ia sudah menulis sejak usia remaja. Hal itu membuat dirinya yakin bahwa menulis adalah bagian dari hidupnya.

Saras bahkan menjadikan menulis sebagai sebuah kebutuhan. Ia enggan memandang kegiatan menulis hanya sebagai bentuk rutinitas kerja atau pengisi waktu luang.

“Menulis itu sudah jadi bagian keseharian saya. Setiap saya terpikir sesuatu, selalu saya catat. Saya selalu bawa buku catatan untuk menulis kalau ada ide apa pun. Menulis itu bukan hanya aktivitas bekerja saja atau untuk waktu senggang, tetapi sudah untuk kebutuhan. Saya bangun pagi itu inginnya menulis,” sebutnya.

Penulis, penyanyi, dan dosen filsafat di FIB UI itu mengatakan, menulis tidak perlu dijadikan sebagai tuntutan.
Menurutnya, menulis adalah sebuah proses terapi untuk
meningkatkan kesentosaan. Hal itu karena proses menulis bersifat menenteramkan pikiran dan hati.

Terlebih, pada masa pandemi Covid-19, Saras mengaku terbantu dengan menulis. Ia menjadikan kegiatan menulis sebagai medium meditasi.

“Kalau di masa pandemi ini, saya selalu bilang bahwa menulis itu kebutuhan untuk kesehatan mental, untuk
proses saya memahami. Menulis itu jadi kesempatan meditatif,” ungkapnya melalui keterangan resmi melalui narabahasa.

Hingga kini, Saras sudah menulis banyak hal. Tidak hanya laras sastra, pekerjaannya sebagai dosen juga menuntut Saras untuk membuat tulisan laras ilmiah.

Menurut Saras, perbedaan jenis tulisan itu tidak menjadi penghalang. Hal tersebut justru merupakan kesempatan penulis untuk memperlihatkan dan mempertahankan ciri khasnya.

“Kalau saya di rumah, di Bali maksudnya, memang kebiasaannya memasuki dunia dari cerita dan fakta. Jadi, itu dua sisi yang nggak bertolak belakang. Sebenarnya
menulis ilmiah itu, walaupun ada kaidah menulisnya, tidak berarti ciri tulisan kita hilang,” jelas Saras.

Dalam proses menulis, tidak jarang Saras mengalami kebuntuan. “Nggak selalu ada mood nulis. Itu nggak gampang untuk didapatkan,” ungkapnya.

Untuk mengatasinya, Saras berusaha memberikan stimulan dengan mendengar lagu, mencari inspirasi lain, atau mengganti metode menulis dari mengetik menjadi tulis tangan.

Kendala lain yang kerap Saras rasakan adalah ide yang liar. Penting bagi penulis untuk mampu mengendalikan pikiran yang liar tersebut dengan membuat struktur tulisan.

“Kadang, pikiran yang liar itu tidak selalu dimaknai dengan sesuatu hal yang buruk. Itu anugerah menurut saya. Tapi memang betul, kalau kita ingin menuangkannya ke dalam tulisan, kita butuh struktur,” katanya.

Dalam pandangan Saras, swasunting dan kritik ketika menulis juga tidak kalah penting. Namun, keduanya perlu diperhatikan.

Kadang kala, swasunting yang berlebihan dapat menjauhkan penulis dari kebebasan. Penulis terpaku dengan ekspektasi dan standar-standar tertentu sehingga membatasi imajinasinya.

Permasalahan tersebut, kata Saras, dapat diatasi dengan cara berdiskusi. Saras mengatakan, menulis sejatinya merupakan proses dialektika. Penulis bisa melibatkan orang-orang di sekitarnya untuk membantu proses menulis.
Dalam hal swasunting, diskusi dapat berupa saling koreksi dan memberi masukan untuk menciptakan tulisan yang lebih akurat.

“Sebenarnya proses menulis itu, menurut saya, suatu proses dialektis. Kita selalu melibatkan orang lain. Bahkan, [itu merupakan] suatu proses intersubjektif, selalu
menghadirkan orang lain di sana. Penyuntingan itu saya rasa penting buat kita [agar] ada rasa ingin menyempurnakan tulisan, tapi juga gimana caranya nggak membatasi apa yang ingin kita tulis,” terang Saras.

Hal yang sama juga ditekankan Saras ketika menyoal kritik terhadap tulisan.

Penulis harus memilah kritik yang benar dan yang tidak. Saras cukup menyayangkan ada banyak kritik yang kurang konstruktif, padahal kritik seharusnya menghadirkan
dialog untuk membangun pemahaman bersama.

“Menurut saya, kritik itu suatu hal yang bagus. Tentunya disampaikan dengan cara yang baik. Untuk menulis, justru kritik itu mengingatkan hal yang kita lompati atau lalaikan. Tentu tidak semuanya kita pikirkan, tetapi pada suatu titik banyak hal yang bisa kita dapatkan,” ucap Saras. ***

Tulisan kiriman Narabahasa

Loading...