Politik Dinasti Adalah Musuh Republik

Loading...

INDONESIA adalah negara kesatuan berbentuk republik. Jelas dan tegas dinyatakan di Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945.

Negara republik! Bukan negara monarki atau kerajaan, yang romantismenya kini digaungkan sejumlah orang di Indonesia.

Republik dalam pengertian dasarnya, adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan (wikipedia.org).

Juga bukan karena diwariskan kepada istri, adik, paman, ponakan, menantu atau yang punya hubungan darah. Konsep negara republik sudah digunakan di Republik Roma (Romawi) sejak sekitar 500 tahun Sebelum Masehi (SM).

Republik ini berusia hingga sekitar 500 tahun sebelum hancur. Kehancurannya diawali dengan berubahnya konsep negara, dari negara republik menjadi kekaisaran yang sifatnya otokrasi (kekuasaan pada satu orang).

Kekuasaan yang melahirkan dinasti. Kekuasaan yang diwariskan. Sangat berbeda konsep republik yang membagi pemisahan kekuasaan dan juga pengawasan, Edward J. Watts (matamatapolitik.com).

Sejarah Republik Roma (Romawi) menjadi pelajaran penting dan membuktikan, bahwa dinasti adalah musuh republik. Dinasti yang melenyapkan republik tertua di muka bumi ini.

Founding Father Memilih Republik

Para pendiri bangsa ini tentunya sangat memahami hal itu. Meski saat itu, umumnya masih berusia muda. Namun, mereka adalah politikus yang berakar dari kaum intelektual, terpelajar, cendekia yang banyak sekali melahap bacaan berkualitas.

Mereka bukan politikus instan yang lahir dari popularitas dan penguasaan modal. Juga bukan politisi yang dilahirkan karena diwariskan.

Tak heran jika para politikus muda yang menjadi founding father bangsa ini, memutuskan republik sebagai konsep negara. Bukan berbentuk monarki.

Walaupun, sebelum menjadi sebuah negara merdeka, Indonesia merupakan sekumpulan sejumlah kerajaan di nusantara. Dan, nyaris seluruhnya tunduk atau dipaksa tunduk dan taat pada pemerintahan kolonial Belanda.

Mengingat situasi tersebut, dengan logika sederhana semestinya konsep negara kerajaan yang dipilih oleh pada pendiri bangsa ini.

Tunjuk saja sebuah kerajaan yang terbesar, terluas dan terkuat di masa menjelang kemerdekaan sebagai pimpinan negara. Untuk pimpinan berikutnya tinggal ditunjuk dari pewarisnya. Anak, cucu, cicit, ponakan atau yang sedarah.

Namun, para Bapak Bangsa tidak memilih negara berbentuk monarki untuk masa depan bangsa Indonesia. Karena, monarki akan melahirkan dinasti dan dinasti tidak sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia.

Sebuah republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat. Bukan dari prinsip keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang presiden (wikipedia).

Monarki Melahirkan Dinasti

Ide negara berbentuk republik muncul pertama kali dalam tulisan Tan Malaka. Tan Malaka menuliskan di buku yang berjudul Naar de Republiek Indonesia tahun 1925.

Buku ini menjadi inspirasi bagi Soekarno, Hatta, Sjahrir, M Yamin dan Bapak Bangsa lainnya. Menjelang kemerdekaan Indonesia, konsep negara republik menguat di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Penyebutannya untuk pertama kali disampaikan dalam Masa Sidang Pertama Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan tanggal 28 Mei-1 Juni 1945.

Pada tanggal 29 Mei 1945, untuk pertama kalinya, M Yamin menyampaikan gagasan republik. Yamin mengatakan, setelah munculnya kemerdekaan, monarki sudah pasti akan mengalami masalah dalam legitimasi.

Pemerintahan yang berbasis pada kedaulatan rakyatlah yang memiliki legitimasi yang kuat. Yang kedua, monarki melahirkan dinasti, dinasti bertentangan dengan sifat-sifat kemerdekaan rakyat.

Sejarah membuktikan, kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan rakyat. Bukan dari dinasti-dinasti kerajaan di masa itu.

Meski demikian jelas, namun Bapak-bapak Bangsa tetap mengambil keputusan melalui voting. Untuk memutuskan konsep negara yang akan digunakan Indonesia. Hasil voting itu, adalah:

”Terdapat 64 stem. Sudah dipilih Republik 55 stem, 6 kerajaan, dan lain-lain 2 dan 1 blangko saja”. Setelah laporan Dasaad, Soekarno bertanya: ”Jadi putusan Panitia itu republik?” Menjawab Soekarno, Radjiman menyatakan: ”Ini sudah terang Republik yang dipilih dengan suara terbanyak” (AB Kusuma, halaman 238). Sejak itu, republik resmi menjadi nama negara (Robertus Robet, Sosiolog di Universitas Negeri Jakarta – kompas.com)

Republik Menentang Politik Dinasti

Kini, di usia Republik Indonesia yang sudah 75 tahun, semangat dinasti mulai tumbuh kembali. Benih-benihnya sudah muncul sejak pelaksanaan Pilkada langsung.

Dalam sebuah lembaga politik, mereka yang masih mempunyai hubungan dekat dengan keluarga acap kali mendapatkan keistimewaan. Untuk menempati berbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi (Yossi Nurmansyah, ST, babel.bawaslu.go.id)

Sebuah fakta pahit yang bisa dilihat di banyak daerah di Tanah Air saat ini.

Dalam seperti itu, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Sehingga, yang muncul adalah calon instan atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Akibatnya sangat jelas, politik dinasti membuat orang yang tidak berkompeten menjadi pemilik kekuasaan.

Di era orde baru dulu, orang yang tidak berkompeten didudukkan menjadi penguasa. Dan, yang terjadi adalah datang, duduk, diam, dengar, duit.

Kini, bagaimana caranya menghabiskan uang saku perjalanan dinas, yang dijatah ratusan juta rupiah setahun.

Dan, bagaimana memperjuangkan dana aspirasi, dana alokasi atau dana pokok pikiran (pokir).

Yossi memperingatkan, bahwa nama depan Indonesia adalah republik. Yang dalam pengertian sederhana, republik adalah tanda dari penentangan serius terhadap politik dinasti.

Karena, musuh pertama dari republik adalah absolutisme yang terwujud dalam praktik pemerintahan raja-raja, dari politik dinasti yang diturunkan dari sistem terbelakang.

Tiga Kunci Pemutus Politik Dinasti

Walau menjadi musuh republik, namun politik dinasti tidak bisa dicegah dengan aturan hukum. Karena, terkait dengan hak politik seseorang dan hak asasi manusia.

Instrumen hukum untuk melarang politik dinasti juga sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Walau begitu, politik dinasti yang mencederai demokrasi masih bisa dibatasi.

Ada tiga kuncinya, pemerintah, partai politik dan pemilih. Pemerintah berperan melalui pelaksanaan Pemilu serentak dan mulai dilaksanakan 2020 ini serta 2024. Ini upaya pemerintah untuk memutus rantai politik dinasti.

Partai politik seharusnya jangan lagi memaksakan calon yang tak berkompeten dan tuna-integritas. Kalau pun terpilih tak akan mampu berbuat apapun. Jangankan berbuat, sekedar bisa bersuara di media pun tak akan mampu.

Pemilih sangat menentukan kelangsungan politik dinasti. Pemilih yang bersedia dibayar Rp100 ribu – Rp 250 ribu untuk memilih calon, adalah pemilih yang sangat tidak cerdas. Karena, haknya bicara selama 5 tahun sudah terjual.

Maka, jadilah pemilih yang cerdas! Tak perlu mempelajari sejarah kehancuran Republik Roma (Romawi). Cukup jadi cerdas saja. (*)

(*) Penulis Zainal Takdir, aktivis politik di Kota Tanjungpinang

Editor sigit rachmat

Loading...