Kisah Pilu Mba Sri di Batam (1) : Mak, Tolong Jemput Aku!

Loading...

Tujuh tahun lebih tinggal bersama sebuah keluarga yang menyayanginya bukan berarti Mba Sri tak ingin pulang. Saat kesadarannya pulih, ia akan mengungkapkan kerinduannya akan rumah.

Rumah di mana ia berada di antara orang-orang yang dicintainya. Mamak, bapak dan saudara, bahkan mungkin suami dan anak. Sejak dideportasi dari Malaysia, Mba Sri yang tiba di Batam hanya ingat naik kapal lalu turun di Batam.

Selebihnya ia lupa, tak ingat apa-apa, hingga akhirnya ditampung sebuah keluarga berjiwa sosial di Perumahan Buana Garden di Kota Batam. Hanya dengan orang-orang tertentu ia curhat soal pilu hatinya.

Wartawan suarasiber.com yang merupakan mantan ketua umum sejumlah organisasi, salah satunya Ketua Umum BKMT Sungai Beduk periode pertama, berkesempatan untuk mendekati Mba Sri dari hati ke hati. Penuturan perempuan yang kira-kira berusia 40-an tahun ini dirangkup dalam tulisan dengan gaya bertutur.

Mak, tolong jemput aku di Batam. Aku ingin pulang dan hidup bersamamu lagi.

Meski aku tinggal di rumah dengan orang-orang yang baik hati, beberapa warga yang juga peduli, namun aku tetap sedih, gelisah, resah, bingung dan tak tahu lagi entah rasa apa yang menyelimuti hati dan pikiranku.

Ingin rasanya aku pulang ke rumah. Tapi ke rumah siapa, aku pun tak tahu. Ke rumah orang tua, ke rumah suami dan anak – anakku, ke rumah saudaraku, ke rumah paman dan bibiku, ke rumah kampung halamanku, aku pun tak tahu, karena sudah tidak bisa ingat lagi di mana alamatku dulu.

Selama tujuh tahun, tak ada satu pun anggota keluarga yang menenongokku, apalagi menjemput.

Sebegitu bencikah mereka padaku, sebegitu besarkah kesalahanku pada mereka, sebegitu tidak bergunakah aku bagi mereka? Aku pun tak tahu. Yang jelas, tidak ada satu pun di antara mereka yang memikirkan aku hingga aku terdampar di rumah orang yang sekarang aku tinggal ini hingga tujuh tahun lamanya.

Kebutuhanku dipenuhi. Makan, pakaian, dan sebagainya. Beruntungnya aku bertemu orang-orang baik. Juga orang-orang di sekitar rumah tempat tinggalku sekarang.

Namun aku yakin, aku punya keluarga. Sebenarnya ada beberapa orang, yang dengan setia bertanya kepadaku di mana sebenarnya rumahku. Namun sampai tujuh tahun aku tak ingat di mana aku dilahirkan.

Sesekali teringat di Semarang, dekat Bandung atau bahkan Kalimantan. Maaf, saya benar-benar tak ingat lagi. Jadi, bagaumana orang-orang baik itu akan memulangkanku?

Dalam kerinduanku dengan keluarga, kadang aku berperilaku sesukaku. Menuangkan seliter deterjen bubuk ke mesin cuci, lalu menjejalkan pakaian-pakaianku ke dalamnya. Entah kotor atau tidak.

Kurebus juga satu kilogram gula pasir bersama air padahal tidak ada banyak tamu. Dan aku juga sering sehari berganti hingga tujuh kali pakaian berbeda lalu keliling perumahan.

Tak ada orang di rumah yang aku tinggali protes. Kalau aku tersesat jalan-jalan, selalu ada warga yang mengantarkanku pulang. Semua orang sungguh baik padaku.

Tapi keluargaku sendiri, kenapa tidak mau menjemputku. Ada apa dengan mereka sebenarnya hingga tidak mau menjemputku ke rumah ini. Kalaulah saya anak mereka, apa tidak berusaha mencari?

Andaikata ada kesalahanku sebesar apapun terhadap mereka, apakah mereka sangat tidak memaafkan aku? Setega itukah mereka padaku?

Oh betapa malangnya nasibku. Betapa malangnya hidupku. Sungguh tidak berharganya lagi aku bagi mereka. Andai saja bisa aku mengingat di mana alamatku, keluargaku, kampung halamanku berada, pasti aku telah pulang meninggalkan rumah orang yang baik ini.

Aku selalu senang setiap kali disapa, Mba Sri? Lagi apa Mba Sri? Mba Sri Sehat?

Panggilan dan sapaan hangat yang jarang saya terima sewaktu masih menjadi TKW di negara tetangga.

Mak, tolang jemput aku di Batam. Aku ingin pulang dan hidup bersamamu lagiā€¦ (asih/bersambung)

Loading...