Pada Suku Laut Dia Tempuh Jalan Pengabdian

Loading...

Sebuah sampan kecil terlihat menyibak laut di sekitar Pulau Air Ingat, Desa Baran yang jernih. Lambaian padang lamun yang hijau seperti menyambut wanita berkacamata yang duduk di atas sampan itu. Sementara angin pantai bertiup lembut menambah suasana pagi yang cerah.

Ditemani seorang anak laki-laki, wanita berkacamata itu terus menyusuri laut di pinggiran Pulau Air Ingat. Dia adalah Lensi Fluzianti. Orang biasanya memanggil dengan sebutan Uci atau Mbak Densi Diaz.

Densi merupakan seorang perempuan yang memilih jalan pengabdian pada perbaikan standar hidup orang Suku Laut.

Hampir setiap hari wanita yang lahir pada 21 Juni 1975 ini ke daerah-daerah pesisir untuk bertemu dengan masyarakat suku laut di Kabupaten Lingga. Hujan dan panas sudah biasa. Ombak dan badai tidak membuatnya jera.

Perahu seperti inilah yang menjadi rumah bagi Suku Laut. Foto – yono

Bagi Densi, nasib suku laut yang masih termarginalkan adalah tantangan yang menggugah andrenalin. Membakar jiwa pengabdian dan memompakan darah perjuangan bagi tekadnya untuk membantu sebisa yang dia lakukan bagi peningkatan kualitas hidup Suku Laut.

Suku Laut atau Suku Sampan, sering juga disebut Orang Laut, merupakan suku yang tinggal di wilayah perairan Kepulauan Riau. Diperkirakan ada 44 kelompok Suku Laut dengan populasi sedikitnya 12.800 jiwa. Sebagian besar, atau 30 kelompok di antaranya, tersebar di pulau-pulau kecil sekitar Kabupaten Lingga, Bintan dan Batam.

Mereka mengandalkan sampan kecil sebagai rumahnya. Bentangan laut yang luas adalah ladang tanpa batas tempat mereka mencari penghidupan.

“Meski begitu seringkali mereka malah terasing dari laut tempat mereka untuk bertahan hidup. Mereka kian tersadai pada ujung-ujung selat dengan kehidupan yang kian tidak menentu,” kata Densi memulai pembicaraan ketika suatu pagi saya menghubunginya via telepon seluler.

Lensi Fluzianti dan dua warga Suku Laut, berjuang untuk kualitas hidup sesama manusia. Foto – yono

Karena itu jiwa Densi terpanggil. Melalui Yayasan Kajang, sebuah organisasi yang menaruh perhatian pada Suku Laut, dia habiskan sebagian besar waktunya untuk nasib orang-orang sampan. Baginya, kehidupan Suku Laut yang dalam posisi marginal memerlukan uluran tangan agar kualitas hidup mereka bisa meningkat.

Hampir setiap hari Densi turun ke beberapa pulau untuk menemui Suku Laut. “Kadang di Pulau Mensemut, kadang juga di Pena’ah. Di Lingga, orang Suku Laut banyak juga tersebar di Tanjung Kelit, Air Ingat dan Pulau Akat. Di Kelumu juga ada. Saya berusaha melakukan banyak hal untuk membantu mereka,” katanya.

Bersama Yayasan Kajang, Densi yang menaruh perhatian terhadap Suk Laut sejak tahun 2012 ini, mengajarkan baca tulis bagi anak-anak dan orang dewasa Suku Laut yang masih buta huruf. Dia juga memberikan berbagai penyuluhan tentang kesehatan, kehidupan beragama, serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

Densi menceritakan kisah tentang pertama kali keterlibatannya dalam program pemberdayaan Suku Laut di Lingga. Tahun 2010 ketika dirinya ditunjuk sebagai tutor guru-guru PAUD untuk wilayah pulau-pulau di Kabupaten Lingga, Densi banyak melihat kehidupan masyarakat Suku Laut yang berada di pulau-pulau yang dia kunjungi begitu sangat memprihatinkan. Standar kesehatan yang rendah, masih banyak yang buta huruf, anak-anak Suku Laut yang tidak punya akte kelahiran, tinggal satu sampan dan punya keluarga tapi belum terikat perkawinan yang sah serta berbagai persoalan lainnya.

Hal itu membuat Densi kian terpanggil. Dirinya memutuskan berhenti sebagai tutor guru PAUD dan memilih untuk memperjuangkan nasib Suku Laut agar menjadi lebih baik. “Pertama memang berat. Karena harus berjuang sendiri. Tetapi kalau tidak ada yang peduli, siapa yang akan bantu mereka (Suku Laut),” jelasnya.

Sebuah keluarga Suku Laut. Foto – yono

Kini apa yang dilakukan Densi menampakkan hasil. Kehidupan Suku Laut di Lingga mulai tertib secara administrasi, kualitas kesehatan dan pendidikan meningkat serta banyak juga yang dibantu untuk pindah hidup di darat melalui bantuan pemerintah dengan dibangunkan rumah yang layak huni.

“Mereka memang menggantungkan hidupnya pada laut. Namun sekarang sebagian besar Orang Laut di Lingga telah tinggal dan menetap di pesisir sebagai nelayan. Namun begitu masih ada sebagian kecil yang hidup secara nomaden dengan berpindah-pindah tempat menggunakan sampan beratap daun nipah,” jelasnya.

Di Kepulauan Riau, kata Densi, Suku Laut juga dikenal sebagai Orang Pesukuan. Orang Laut juga memiliki nama lainnya yang mengacu kepada tempat tinggal mereka, yaitu Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang), Orang Tambus (mendiami Kampung Tambus, Pulau Galang), Orang Mapor (mendiami Pulau Mapor), hingga nama Bajau yang digunakan sebagai sinonim Orang Laut di sekitaran perairan Lingga.

“Perhatian pemerintah yang lebih intens diperlukan agar mereka bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik,” kata Densi, wanita yang juga sering menemani beberapa peneliti dari berbagai Perguruan Tinggi dari dalam negeri serta luar negeri ini dengan nada yang penuh harap. ***

Penulis Suyono Saeran

Loading...