Lemdiklat Bangun Peradaban Polisi yang Profesional

Loading...

SEMARANG (suarasiber) – Zaman maju ditandai dengan berbagai kemajuan, tak terkecuali informasi teknologi. Kalemdiklat Polri, Komjen Arief Sulistyanto menyebutnya cyberspace, yang menyebabkan terjadinya revolusi di segala bidang. Dan mengekor di kemajuan ini salah satunya ialah hoaks atau berita bohong.

Arief saat menjadi narasumber Seminar Antisipasi Hoaks dalam Menghadapi Pesta Demokrasi 2019 di Akademi Kepolisian (Akpol), Semarang, Jawa Tengah, Rabu (6/2/2019). f-istimewa

Saat menjadi narasumber Seminar Antisipasi Hoaks dalam Menghadapi Pesta Demokrasi 2019 di Akademi Kepolisian (Akpol), Semarang, Jawa Tengah, Rabu (6/2/2019) Arief menegaskan polisi di era demokrasi menghadapi ekskalasi tantangan dalam setiap zaman.

Polisi pun diharuskan bertindak progresif kontekstual yang hanya bisa dilakukan bila ada upgrading skill, attitude, knowledge, experiental.

“Saat ini kita berada pada era globalisasi, lahirnya dunia baru cyber space atau dunia maya yang menyebabkan terjadinya revolusi dalam berbagai bidang kehidupan ,” ujar Arief.

Kemajuan ini bagai pisau bermata dua, satu sisi memberikan manfaat besar tetapi juga memiliki dampak negatif yang luar biasa. Karena tanpa batas, tidak terikat ruang dan waktu, anonimous, cepat menyebar. Tanpa upaya preemtif, preventif dan penegakan hukum maka karakteristik interaksi di dunia maya ini dapat menimbulkan dampak negatif yang besar.

Baca Juga:

Breaking News! Tabrakan Tanker dan Tugboat di Selat Singapura, 2 Korban Hilang

Kuliah Betul-betul Ya Nak, Jaga Kepercayaan Orang Tua

Coffee Comforta, Hanya Rp10 Ribu Ngopi Sambil Dengarkan Live Music di Hotel Berbintang

Berbagi Bahagia dalam Suasana Imlek, JNE Siapkan Ribuan Hadiah Tanggal 4 – 9 Februari 2019

“Terpenting dalam pengelolaan interaksi dunia maya ialah penyiapan sumber daya manusia yang kapabel untuk menghadapi dan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi,” imbuhnya.

Di mata Arief, modernisasi bukan melulu software dan hardware, melainkan memodernisasi manusianya agar mampu beradaptasi dengan perkembangan sehingga bisa merespon dengan benar setiap fenomena yang terjadi. Dan Arief mengakui itu bukan kerja mudah.

Harus merestorasi dan mereformasi sikap dan perilaku yang telah mengendap dan bercokol lama. “Walaupun salah karena sudah biasa dilakukan telah dianggap benar,” jelas Arief.

Tugas Polri berat, karena akan berhadapan langsung dengan perubahan masyarakat yang jauh lebih terbuka, kritis, pandai dan lebih banyak dibanding polisi itu sendiri. Demokrasi dianggap sebagai momentum untuk bebas merdeka, padahal seharusnya kebebasan yang bertanggung jawab. Sementara kondisi internal Polri dengan kewenangan yang bersifat koersif harus bisa mengatasi dirinya terlebih dahulu untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang berlebihan menghadapi perubahan yang terjadi.

Aref berharap polisi harus mengenal jati diri yang sebenarnya, berdiri di atas semua golongan, karena Polri adalah polisi negara. Jika tidak mengindahkan hal itu, maka akan terombang ambing ke sana kemari dan menjadikan polisi dinilai tidak profesional.

Ia mencontohkan, penanganan hoaks 7 kontainer surat suara serta Ratna Sarumpaet menjadi bukti Polri telah menunjukkan sikap independen dan profesional.

Arief Sulistyanto bersama sejumlah taruna Akpol di Semarang. f-istimewa

“Lantas, siapa harus menyiapkan dan membangun budaya dan peradaban polisi yang profesional untuk menghadapi masa depan yang lebih berat? Kita!” ucap Arief lugas.

Lembaga diklatlah yang bertanggung jawab mewujudkan masa depan polisi dalam menghadapi masyarakat yang demokratis. Democratic policing akan menjadi slogan tanpa makna kalau lembaga diklat yang bertanggung jawab membangun budaya dan peradaban baru polisi tidak bangga dengan perannya sendiri.

“Mari kita bangun Polri dari Lemdiklat ini sebagai cikal bakal lahirnya polisi modern, profesional dan berintegritas,” imbuh Arief. (mat)

Loading...