Bangkrutnya Eks-Sultan Riau Lingga di Singapura 1928

Loading...

Oleh: Dedi Arman, Peneliti Sejarah Puslit Arkenas

SULTAN Abdul Rahman Muazzam Syah II, Sultan Riau Lingga dimakzulkan Belanda tahun 1911. Surat Kabar De Sumatra Post yang terbit 15 Februari 1911, menulis artikel tentang pemakzulkan sultan ini.

Abdul Rahman Muazzam Syah II dimakzulkan karena dianggap melanggar perjanjian yang dibuat pemerintah Belanda dan pihak Kesultanan Riau Lingga. 

Perjanjian yang dimaksud, adalah Kontrak Politik tanggal 18 Mei 1905, yang antara lain mewajibkan Kerajaan Riau Lingga untuk mengibarkan bendera Belanda di wilayah Kerajaan Riau Lingga.

Pengibaran bendera itu sebagai simbol kekuasaan dan kedaulatan Belanda dan larangan, agar Kerajaan Riau Lingga tidak menjalin kerja-sama dengan bangsa atau negara atau kekuatan manapun selain Belanda.

Gubernur Jenderal Belanda di Batavia begitu marah mendengar laporan dari Residen Riau tentang tindak tanduk sultan yang tidak menghormati perjanjian yang telah dibuat. 

Sultan dianggap tidak menghargai kedaulatan Hindia Belanda dengan tidak memasang bendera Belanda dalam berbagai kesempatan. Termasuk di kapal sultan dan  juga kediamannnya di Daik Lingga, sebelum pindah ke Pulau Penyengat. 

Abdul Rahman yang menggunakan kapal kerajaan bernama Sri Daik berlayar tanggal 8 Desember 1910, tanpa memasang bendera Belanda. Perahu motor yang dipakai sultan dalam pelayaran juga tidak dipasang bendera Belanda.

Tindakan ini dianggap tidak bisa dimaafkan dan tidak terampuni. Teguran yang diberikan dianggap terlalu lunak dan upaya pemakzulan dianggap yang paling tepat.

Pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II tahun 1911, menandai berakhirnya kekuasaan sultan yang dinobatkan tahun 1885 itu. Tahun 1913 secara Kerajaan Riau Lingga dihapuskan oleh Belanda.

Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II mengungsi ke Singapura. Kehidupannya di Singapura sejak tahun 1911 hingga meninggal tahun 1930, dalam kondisi hidup yang pas-pasan. Abdul Rahman dinyatakan pailit (bangkrut) oleh pengadilan Singapura tahun 1928.

Kebangkutan Eks-Sultan Riau Lingga

Kisah pilu menimpa Abdul Rahman Muazzam Syah II, eks Sultan Riau Lingga terakhir di Singapura. Saat pertamakali datang ke Singapura dan mengungsi dari Pulau Penyengat, setelah dimakzulkan, pemerintah kolonial Belanda menjanjikan bantuan sebesar 2 ribu Gulden per bulan.

Dalam perjalanannya, gaji atau bantuan per bulan dari pemerintah Belanda itu dibayar tidak lancar.  Inilah yang menjadi awal penyebab Abdul Rahman Muazzam Syah II menjadi bangkrut.

Kebangkrutan Abdul Rahman diberitakan sejumlah surat kabar atau koran yang terbit tahun 1928 dan 1931.

Surat kabar De Koerir berbahasa Belanda yang terbit 14 Juni 1928, mengulas kebangkutan eks Sultan Riau Lingga. Kebangkrutan dinyatakan Pengadilan Singapura, setelah ia tidak lagi memiliki aset di sana.  

Surat Kabar Het Nieuws Van Den Dag tanggal 8 Agustus 1928 menulis berita dengan judul Een Sultan failliet. 

Dalam surat kabar ini diberitakan, Abdul Rahman memiliki kehidupan yang boros dan hidup bermewah-mewah. Setiap bulan ia menerima gaji atau uang saku 2 ribu gulden dari pemerintah Belanda.

Namun, uang saku itu akan dicabut Belanda kalau Abdul Rahman keluar dari Singapura dan berangkat ke Riau Lingga.

Besaran uang saku yang diterima Abdul Rahman semakin lama semakin berkurang. Diturunkan menjadi 800 gulden per bulan, kemudian sekitar 1926 dinaikkan lagi jadi 1500 gulden per bulan.

Uang saku jelang terakhir ia dimakzulkan diturunkan lagi menjadi  850 gulden per bulan dan terakhir jadi 600 gulden per bulan.

Bangkrutnya putra Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X itu juga diberitakan dalam Surat Kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 3 Oktober 1931.

Diberitakan Abdul Rahman Muazzam Syah yang pindah ke Singapura tahun 1911 bersama keluarga besarnya, hidup dalam kondisi morat marit dan ketergantungan dari bantuan keuangan dari Belanda.

Saat uang saku per bulan yang diberikan Belanda lancar, kehidupan perekonomian keluarga juga berjalan baik. 

Abdul Rahman dalam berita surat kabar ini meninggal tahun 1930 dalam kondisi miskin, setelah dua tahun sebelumnya mengalami kebangkrutan.

Surat kabar Dagblad  tanggal 3 November 1931 memberitakan tentang kondisi Tengku Umar bin Abdul Rahman Muazzam Syah II. Ia disebutkan merupakan putra dari eks-Sultan Riau Lingga yang dimakzulkan Belanda dan kemudian mengalami kebangkrutan.

Saat ayahnya meninggal ia berharap mendapatkan harta, namun yang yang didapatkan adalah ayahnya meninggal dalam kondisi kebangkrutan.

Abdul Rahman meninggal dalam kondisi tidak memiliki harta dan meninggalkan utang.

Menuntut Belanda

Berita menarik ditampilkan di halaman utama koran Berita Harian, 1 Mei 1969 berjudul Putera Sultan Riau Tuntut Chukai dari Belanda. Tokoh yang ada dalam berita ini adalah Tengku Haji Mohammad Zain (63), anak keenam Sultan Riau Lingga terakhir, Sultan Abdur Rahman Muazzam Syah II. Mohammad Zain lahir di Penyengat sekitar tahun 1905 dan memiliki enam saudara.

Mereka, adalah Tengku Salamah, Tengku Osman, Tengku Aishah, Tengku Ismail dan Tengku Abas. Zain yang tinggal di Kampung Melayu saat tahun 1969 itu, tidak lagi bekerja. Keenam saudaranya juga sudah meninggal dunia.

Meski demikian, anak dan cucu dari keluarga besarnya masih cukup ramai yang ada di Kepulauan Riau, Singapura, dan Malaysia. Mohammad Zain meninggal dunia tahun 1985.

Hal menarik dari berita ini, adalah upaya Mohammad Zain menuntut cukai dari Belanda. Ia menyewa pengacara yang namanya masih dirahasiakan.

Pihaknya juga berupaya mengumpulkan data-data tentang rencana besar menuntut hak dari pemerintah Belanda itu.

Dasar menuntut cukai kepada Belanda, adalah Sultan Abdulrahman Muadzam Syah ketika berkuasa di Riau Lingga memberikan pajak-pajak tanah di Kepulauan Riau kepada Belanda.

Ada sejumlah sarikat atau perusahaan asing yang menjalankan usaha di Kepulauan Riau yang membayar pajak atas tanah-tanah yang dipakai.

Haji Zain menyebutkan ada perjanjian antara Belanda dan almarhum ayahnya. Tiap tahun sultan menerima hasil atas pemasukan yang diterima. Belanda setiap tahun membayar hak-hak sultan hingga tahun 1912.

Namun, sejak tahun 1913 hingga kematian sultan tahun 1931, Belanda tak lagi membayarkan ‘gaji’ kepada sultan.

Dalam perjanjian dengan Belanda, sultan dan anak cucunya tidak akan dikenakan cukai, malah sultan menerima gaji. Namun, sultan tak lagi mempunyai kuasa atas Kesultanan Riau Lingga.

Dalam pemberitaan di koran ini, Haji Zain juga menceritakan kisah ayahnya yang harus hijrah ke Singapura tahun 1911.

Sebuah kapal perang Belanda masuk di Selat Riau yang di dalamnya ada 700 personel. Mereka hendak menemui Sultan Abdul Rahman.

Rombongan dipimpin Berkhanob dan pegawai kontroler bernama Penstra. 
Namun, mereka tak bisa berjumpa sultan karena sultan sedang berada di Lingga dalam kegiatan perayaan tradisi mandi safar. Sultan akhirnya lari ke Singapura bersama anak cucunya menggunakan kapal bernama Sri Daik. *** 

Loading...