Demi Lebaran Keluarga, Alias Wello Pertaruhkan Nyawa di Ganas Gelombang

Loading...

Sore itu, angin barat menderu-deru ketika Alias Wello yang akrab disapa AWe bersama dua orang adiknya Usman Wello dan Misto Wello sedang muat kayu olahan jenis kapur di atas sebuah kapal kayu KM. Rika di pelabuhan Kuala Raya, Singkep Barat.

Bagi penduduk setempat yang mayoritas bermata pencarian sebagai nelayan, deru angin seperti itu merupakan kode alam. Pertanda gelombang di laut sedang tak bersahabat dan pengingat bagi orang yang akan bepergian menggunakan alat transportasi laut untuk menunda perjalanan.

Namun, AWe tak bergeming. Tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga menjelang lebaran hari raya Idul Fitri di tahun 1995 itu, membuyarkan semua rasa cemasnya. Ia ingin semua keluarga dan para pekerjanya menikmati suasana lebaran dengan penuh kegembiraan.

Tentu saja setelah mereka menerima uang dan upah kerja dari hasil penjualan kayu olahannya. Di Raya, kampung AWe dilahirkan dan dibesarkan, tradisi berbaju baru, makan-makan dan memberi uang kepada anak-anak yang datang berlebaran ke rumah, masih sangat kental.

Setelah muatan kapal penuh, AWe meminta nakhoda kapal yang bernama Masse dan seorang Anak Buah Kapal (ABK) bernama Arfah lepas tali menuju Pulau Batam, tempat penjualan kayu olahan yang sudah menunggunya. Jarum jam pada saat itu menunjukkan pukul 17.30 WIB.

Dihantam Gelombang

Baru sekitar satu jam perjalanan meninggalkan pelabuhan Kuala Raya, gelombang laut sudah mulai mengayun dan menghantam lambung kapal. AWe melirik adik bungsunya Misto mulai cemas. Tak terasa, perjalanan laut sudah dilalui selama enam jam.

Di tengah kegelapan malam yang semakin larut, diperkitar pukul 01.00 WIB, hembusan angin barat semakin kencang. Gelombang laut semakin tinggi dan membuat laju kapal yang memuat kayu olahan sekitar 80 ton itu, semakin lambat. Ditambah lagi arus air laut cukup kuat dan membuat kapal tak bisa bermanuver sama sekali.

AWe melihat bahaya sudah di depan mata. Gelombang laut sudah tak memberi pilihan lain, kecuali menyelamatkan diri atau tenggelam. Tanpa berpikir panjang lagi, AWe memutuskan untuk menyelamatkan diri.

Ia menginstruksikan adik-adiknya bersama ABK dan nakhoda kapal membuang semua muatan kapal. Keputusan cepat itu harus diambil dalam situasi sulit sehingga kapal bisa bermanuver melawan gelombang.

Kapal Tenggelam

Bagai orang kesetanan, AWe berhasil membuang seluruh muatan kapal. Samar-samar Ia melihat air laut sudah masuk ke ruang mesin. Tiba-tiba mesin kapal dan pompa air mati mendadak. Misto mulai panik dan berupaya terjun ke laut.

AWe meraih tangan adiknya dan berusaha membujuknya untuk tetap tenang. Ia memberi komando agar semuanya bersatu dan berkumpul di anjungan kapal sembari menunggu adanya kapal yang lewat untuk menolong mereka.

Posisi kapal sudah seperti orang berdiri. Bagian belakang, buritan kapal menghujam ke dasar laut. Tinggallah anjungan kapal yang masih timbul dan menjadi tempat perlindungan mereka berlima.

Semburan gelombang air laut yang membasahi sekujur tubuhnya ditambah hembusan angin malam, membuat AWe menggigil kedinginan. Namun, Ia terus menguatkan yang lain agar tetap bertahan di atas kapal sembari berdoa kepada yang maha kuasa agar diberi pertolongan.

Sesekali AWe memanggil nama adiknya, Misto di tengah kegelapan malam itu. Ia meminta adik bungsunya itu berpegangan yang kuat agar tak terlempar ke laut karena hempasan gelombang.

Terombang-ambing di Laut

Hampir lima jam lamanya terombang-ambing di atas kapal yang lebih dari separuh badannya sudah tenggelam. Sekitar pukul 05.30 WIB, pancaran sinar matahari mulai menerangi laut sekitarnya.

AWe mulai memandangi pulau-pulau terdekat yang lebih mudah dijangkau sekiranya mereka betul-betul ditakdirkan tenggelam. Dengan berpedoman pada sebuah pulau yang sering dilewatinya ketika berlayar dari Pulau Singkep menuju Pulau Batam, AWe mengetahui posisi tempatnya tenggelam adalah Selat Pintu.

AWe tiba-tiba gugup setelah mengetahui posisinya berada di Selat Pintu yang terkenal cukup angker itu. Di kalangan pelaut Kabupaten Kepulauan Riau (Kepri) – waktu itu Kabupaten Lingga belum terbentuk – nama Selat Pintu merupakan momok yang menakutkan.

Konon, sejak zaman Kesultanan Riau – Lingga – Johor – Pahang berkuasa, sudah tak terhitung jumlah musibah kapal tenggelam terjadi di Selat Pintu yang terkenal dengan arus lautnya yang cukup kuat.

Saat AWe dalam kondisi kalut mengenang peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi di Selat Pintu, tiba-tiba ia melihat sebuah kapal nelayan melintas tak jauh dari tempat kapalnya tenggelam.

AWe membuka bajunya yang sudah basah dan melambaikan ke arah kapal nelayan itu sebagai tanda ia butuh pertolongan. Adiknya Usman dan Misto berteriak sejadi-jadinya di tengah gemuruh gelombang dan semburan air laut yang terus menggempurnya.

Dievakuasi ke Pulau Kosong

Akhirnya, kapal nelayan itu mendekat dan berhasil mengevakuasi AWe berlima. Tak ketinggalan kapalnya yang sudah kosong juga ditarik ke sebuah pulau kosong, Tanjung Kebat, Desa Temiang, Kecamatan Senayang untuk berlindung.

Di pulau itu, penduduknya hanya satu orang. Ia adalah seorang pekerja yang menjaga kelong milik seorang pengusaha asal Batam. Di situlah AWe menumpang berteduh dan makan ala kadarnya.

Dalam kondisi persediaan makanan yang sangat terbatas, AWe terkadang hanya mengkonsumsi ikan segar dari hasil memancing di sekitar kelong tempatnya terdampar.

Satu hal yang paling miris dan selalu menjadi ingatan baginya, adalah saat tenggelam itu semua pakaiannya hanyut tersapu gelombang. Pakaian satu-satunya yang tersisa hanya yang melekat di badan.

Diperiksa di Pulau Medang

Selama lima hari di pulau kosong itu, AWe dan adik-adiknya tak pernah berganti pakaian. Suatu hari saat baju dan celananya sudah sangat kotor dan bau, AWe meminjam sarung pejaga kelong di pulau itu sekedar untuk menutupi auratnya.

AWe mencuci pakaiannya dengan sistem : cuci – jemur – pakai. Belum sempat kering, pakaian yang sudah dicuci dipakai lagi. Maklum, mereka harus bergiliran memakai sarung penjaga kelong itu.

Pada hari ke-enam, berita adanya kapal tenggelam di Selat Pintu dan penumpangnya terdampar di Tanjung Kebat sampai ke telinga petugas kepolisian. AWe dan adik-adiknya dievakuasi dari pulau kosong itu dan dimintai keterangan di pos polisi Pulau Medang.

Waktu itu, alat komunikasi satu-satunya adalah radio yang lebih dikenal dengan sebutan ORARI. Melalui komunikasi radio itulah keberadaan AWe dan adik-adiknya disampaikan ke keluarganya di Raya, Kecamatan Singkep Barat.

Disambut Haru Keluarga

Keluarga bersuka cita mendengar kabar AWe dan adik-adiknya selamat. Maklum, sudah lima hari sejak bertolak dari Kuala Raya menuju Batam, mereka tak ada kabar sama sekali. Sementara gelombang laut dan disertai angin kencang lagi ganas-ganasnya di perairan Kepri saat itu.

AWe dan adik-adiknya berhasil dipulangkan ke Kuala Raya menggunakan kapal kayu yang kebetulan melintas di Pulau Medang. Mereka disambut haru oleh keluarga besarnya.

Bagi keluarga, keselamatan AWe dan adik-adiknya adalah kejadian yang luar biasa. Mereka tak menduga AWe bisa lolos dari maut dan ganasnya perairan Selat Pintu yang terkenal banyak menelan korban.

Tak sedikit pun AWe kapok dengan musibah yang dialaminya itu. Padahal, ia sudah merugi ratusan juta rupiah. Selain kehilangan kayu kapur sekitar 80 ton, ia harus bertanggungjawab mengganti kerugian kapal yang disewanya.

Belum lagi tuntutan tanggujawab dari keluarga pekerjanya dan pemilik kayu olahan yang dipinjamnya untuk dibawa ke Batam. Waktu itu, kayu olahan milik AWe hanya tersedia sekitar 50 ton. Sementara kapal yang disewanya bisa muat kayu olahan sekitar 80 ton.

AWe meminjam kayu olahan temannya sekitar 30 ton untuk memenuhi muatan kapal. Hitung-hitung untungnya bisa membantu kebutuhan keluarga dan pekerjanya merayakan lebaran Idul Fitri. Waktu itu, harga kayu olahan jenis kapur di Batam sekitar Rp1,2 juta per ton.

AWe tak patah arang. Ia tetap tegar menghadapi cobaan hidup yang menderanya. Ia kembali memulai usaha pengolahan kayunya dari nol dengan sejumlah beban hutang yang ditanggungnya.

Dibenaknya hanya satu. Ia harus bangkit kembali dan menjaga kepercayaan pekerja dan para pembeli kayu olahan langganannya di Batam. Tak gampang memang. Butuh keberanian dan kesungguhan.

Dengan modal keberanian dan kesungguhan itulah, AWe bisa bangkit kembali. Hutang lama pinjaman kayu dari temannya sudah bisa dilunasi. Tauke yang menampung kayu olahannya di Batam juga semakin percaya kepadanya.

Sejak itulah, nama AWe cukup dikenal di kalangan pengusaha kayu olahan dan aparat keamanan, khususnya di wilayah laut. Saat gelombang besar, Ia nekad melaut bawa kayu olahan. Maklum, saat gelombang besar, patroli keamanan laut jarang yang berani keluar. (ady indra pawennari)

Loading...