Cara Menghidupkan Ibu Kota Provinsi Kepri Menurut Edy Rustandi

Loading...

TANJUNGPINANG (suarasiber) – Kemajuan pembangunan di Tanjungpinang sebagai Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), khususnya, dan Pulau Bintan umumnya, dinilai lambat. Begitu juga pertumbuhan ekonominya yang lesu, dan bergantung pada konsumsi masyarakat.

Padahal, di Pulau Bintan ada tiga pemerintah daerah dengan nilai total anggaran sekitar Rp5,5 triliun. Namun, dampak dari nilai itu tak terlalu terasa.

Sinergitas antara ketiga pemerintahan itu yang kurang, menjadi salah satu penyebabnya. Ketiganya berjalan sendiri-sendiri. Saling memertahankan egonya.

Jangankan antara ketiga pemerintahan, di masing-masing pemerintahan pun juga terlihat ketidaksinambungan kebijakan. Baik di Kota Tanjungpinang maupun di Kabupaten Bintan.

Di Bintan, gedung Bintan Expo yang dibangun dengan biaya mahal, kini nyaris tak berguna. Di Tanjungpinang pun begitu.

Tugu Anjing Laut, dan Tugu Gonggong yang dulu tegak di tepi pantai Kota Tanjungpinang, kini hilang entah kemana. Kemudian tegak tugu Raja Haji Fisabilillah, pun tak berbekas.

Roh Gedung Gonggong Sudah Hilang

Terakhir dibangun Gedung Gonggong, yang diharap jadi ikon Kota Tanjungpinang. Dan, berdiri gagah di tepi laut. Kini, ruhnya sudah hilang. Tenggelam oleh proyek Gurindam 12.

Sekaligus menampakkan wajah ketiadaan perencanaan yang matang dari Pemprov Kepri. Dan, kurangnya sinergitas dengan Pemko Tanjungpinang.

Penilaian ini disampaikan Dr Edy Rustandi, ahli hukum tata negara di Provinsi Kepri, dalam perbincangan dengan suarasiber.com, kemarin.

“Sungguh sangat disayangkan (kurang sinergis). Kalau bersinergi tentu pembangunan di Tanjungpinang, dan Bintan akan wah,” kata Edy Rustandi, yang juga praktisi hukum.

Minimnya Sinergi Pemda

Kesan kurangnya sinergitas juga terlihat pada persoalan aset antara Pemkab Bintan dan Pemko Tanjungpinang. Padahal, sebagian warga Bintan juga berdomisili dan beraktivitas di Tanjungpinang.

Termasuk, bupati, wakil bupati dan nyaris semua pejabat serta pegawai Pemkab Bintan, juga berdomisili di Tanjungpinang.

Yang berarti juga menikmati pembangunan yang dilakukan Pemko Tanjungpinang. Bahkan, sejumlah kantor pelayanan masyarakat Pemkab Bintan pun berada di Tanjungpinang.

“Dua kepala daerah itu mesti duduk semeja (Bupati Bintan, dan Wako Tanjungpinang) dijembatani gubernur. Gubernur harus hadir ikut menyelesaikan persoalan itu. Kalau tidak, Ibu Kota Kepri macam inilah terus,” ujar Edy.

Begitu juga dengan DPRD Kota Tanjungpinang, dan Bintan, yang bahkan seharusnya proaktif menjembatani eksekutifnya.

“Duduk bersama, dan sharing pendapat. Karena, pembangunan di Bintan, dan Tanjungpinang serta provinsi saling terintegrasi. Itu tak bisa dielakkan. Seperti jalan, gedung olahraga, dan lainnya,” beber Edy.

Jika kedua Pemda ini bisa mengurangi egonya masing-masing, dan bersinergi, Edy, yakin pembangunan, dan kesejahteraan warga di dua daerah itu akan lebih baik.

Jangan Bangun Tembok Perbatasan

Agar sinergitas itu terjalin, peran gubernur sangat diperlukan. Edy juga menyarankan agar gubernur secara rutin menggelar rapat rutin dengan bupati, dan wako se-Kepri. Rutin, minimal sebulan sekali.

“Sebagai warga Provinsi Kepri, kita tentu ingin ibu kota provinsi (Pulau Bintan) yang hidup, dan pembangunannya bergerak cepat. Dan, terencana dengan matang. Ekonominya juga bergairah, sehingga warga Kepri lainnya ikut merasakannya,” tutur Edy.

Edy berharap, Pemprov Kepri, Pemko Tanjungpinang, dan Pemkab Bintan dapat menekan ego masing-masing. Kemudian, meningkatkan sinergitas dalam pembangunan Ibu Kota Provinsi Kepri.

“Indonesia negara kesatuan, adanya keberagaman justru menjadi perekat. Nah, kenapa Pemda di sini terkesan malah saling membangun tembok perbatasan? Sangat tak elok,” tukas Edy. (mat)

Loading...