Aset Kripto Berpotensi Digunakan dalam Tindak Pidana Skala Besar di Indonesia

Loading...

JAKARTA (suarasiber.com) – Meningkatnya pengguna aset kripto di Indonesia berpotensi penggunaannya dalam timdak pidana di Indonesia. Bahkan bisa terjadi dalam skala besar.

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti) mencatat, jumlah pengguna aset kripto yang terdaftar naik dari 11,2 juta pada 2021 menjadi 16,55 juta pada 2022. Adapun nilai transaksi aset kripto mencapai Rp 296,66 triliun pada November 2022.

Melihat data di atas, Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Pertimbangan dan Pengembangan Hukum, Asri Agung Putra mengatakan, “Data tersebut memberikan gambaran faktual bahwa potensi penggunaan aset kripto dalam tindak pidana di indonesia dapat terjadi dalam skala besar.”

“Kejahatan tindak pidana itu dilakukan melalui beberapa skema. Salah satu pembobolan email bisnis,” ungkap mantan Kajati Kepri ini, Kamis (5/10/2023) melalui keterangan resminya.

Skema lainnya, phishing, pemerasan, ransomware, pembajakan kripto, skema ponzi, penipuan percintaan atau pekerjaan, bisnis layanan keuangan tidak berlisensi, dark web activity, pornografi anak, penjualan narkotika, perdagangan senjata, terorisme, hingga pencucian uang.

Asri mengingatkan, penggunaan kripto harus cepat dan tepat, terutama dalam pembuktian perkara pidana. Hal ini karena aset kripto adalah barang bukti yang bersifat sangat rentan, nilainya fluktuatif, serta mudah berubah dan dipindahtangankan.

“Tanggung jawab pembuktian ada di pundak aparat penegak hukum, terutama dalam menjaga integritasnya saat penanganan aset kripto, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, maupun pelaksanaan putusan pengadilan,” tuturnya.

Menangani aset kripto sebagai barang bukti sebut Asri memiliki berbagai kendala. Yaitu tahapan penanganan aset kripto masih menggunakan metode konvensional dengan cara mengkonversi aset kripto menjadi mata uang fiat (tunai).

Bukan itu satu-satunya, kendala lain ialah metode penentuan nilai aset kripto yang belum pasti, kedudukan aset kripto sebagai barang atau alat bukti, dan cara mengidentifikasi terhadap aset kripto pada setiap tahapan penanganan perkara.

Karena itu menurut Asri, diperlukan koordinasi antarpenyidik, jaksa, hakim, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bappebti, dan pedagang aset kripto untuk menyamakan persepsi tentang perkembangan kripto.

Kejaksaan melalui Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri pun tengah menyusun pedoman tentang penanganan aset kripto dalam perkara pidana. Isinya panduan bagi jaksa saat menangani aset kripto pada penyidikan, penuntunan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan,” tukasnya, dilansir dari pmjnews.com. (***/eko)

Editor Yusfreyendi

Loading...