Ealah… Direktur KPK Pernah Dipungli Lurah Saat Urus Surat Kematian Ibunya

Loading...

Suarasiber.com – Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amir Arief memiliki pengalaman kurang mengenakkan saat mengurus kematian ibunya di sebuah kelurahan di Sumatera Utara.

Mengutip merdeka.com, Selasa (28/3/2023), Amir menceritakan pengalamannya dalam acara “Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi & Tindak Pidana Pencucian Uang” yang disiarkan YouTube Kemensetneg, Senin (27/3/2023).

Dikisahkannya, kala itu tahun 2021. Amir mengurus surat kematian di hari ke-3 kematian ibunya. Ia datang pukul 11.00 WIB namun hanya petugas pengetikan dan satpam.

Amir pun menyebutkan maksud tujuannya. Lalu dijawab petugas pengetikan dibuatkan berkasnya. Namun Amir harus menunggu lurah datang untuk mendapatkan tanda tangan.

Lurah datang pukul 15.00 WIB dan menanyakan maksud Amir yang ditemani adiknya. Amir minta tolong adiknya yang masuk ke ruangan lurah untuk minta tanda tangan.

Setelah surat keterangan kematian ditandatangani, adik Amir beranjak. Namun seketika itu juga lurah berteriak, “Bang kok gitu saja, Bang?”

Amir sebenarnya tahu maksud lurah. Namun ia kemudian bertanya kepada petugas pengetikan dan ia disarankan agar langsung menaruh meletakkan uang ke laci meja kerja lurah.

Amir kemudian ke lurah dan meminta informasi berapa yang harus dibayarkan. Lurah menjawab Rp20 ribu.

“Rp 20 ribu dari warganya yang sedang berduka, mengurus surat keterangan kematian bayar Rp20 ribu, tahun 2021, 76 tahun Indonesia merdeka, kita masih mengalami itu, saya sendiri yang mengalami, salah orang kali,” kata Amir.

Menurut Amir gaji pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Medan tiga terbesar di Indonesia.

Mengapa hal itu bisa terjadi, Amir menjelaskan. Pertama, bisa jadi karena anggaran enggak mencukupi, manajemen anggaran buruk.

Dugaan kedua yakni sedang kejar setoran, untuk mengembalikan modal. Amir yang pernah menjadi penyelidik mengaku kerap menemui kasus serupa. Sebagai orang yang pernah kerja sebagai penyelidik, Arief mengatakan itu terbukti di beberapa Pemda.

“Di beberapa kepala daerah ternyata begitu dia dapat jabatan, memanfaatkan kewenangan untuk kepentingan sendiri,” imbuhnya.

Dia pun mencontohkan beberapa kasus yang ditangani KPK. Pungli jabatan di pemerintahan hingga saat ini masih ada.

“Beberapa bupati di Jateng, di Jatim, yang kita tangkap tahun lalu, memulung dari guru-guru yang mau jadi kepala sekolah negeri, guru yang mau jadi kepala sekolah negeri bayar Rp60 juta, dari mana? Akhirnya apa, gratifikasi dari orang tua murid dan dana BOS,” kata dia.

“Kemudian, yang kita tangkap dokter yang mau jadi kepala Puskesmas bayar Rp125 juta, mau jadi Kadis PUPR yang basah bayarnya sampai Rp500 juta, yang bayar kontraktor, akhirnya dari gratifikasi,” pungkas Amir. (***)

Editor Nurali Mahmudi

Loading...