Revisi UU Kejaksaan dan Penguatan Penegakan Hukum

Loading...

Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin, Praktisi hukum.

SETELAH melalui tarik ulur yang cukup alot, Badan Legislasi DPR RI akhirnya sepakat dan menyetujui untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Sebelumnya rencana pembahasan Revisi UU kejaksaan oleh DPR dan Pemerintah tersebut  menuai  polemik dari banyak kalangan. Namun terlepas dari pro kontra mengenai perlunya revisi UU Kejaksaan itu,  Komisi III DPR setelah mendengar masukan dari beberapa pakar akhirnya sepakat untuk segera mengusulkan revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan.

Bahwa pada pokoknya ada beberapa poin krusial dalam revisi UU Kejaksaan yang akan dibahas oleh DPR yang terkait dengan tugas, fungsi dan wewenang kejaksaan baik dalam bidang pidana, perdata dan tata usaha Negara, maupun tugas dan kewenangan lain yang diatur oleh Undang-undang, yaitu;

Pertama, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan lanjutan atas hasil penyidikan oleh penyidik lain.

Kedua, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana kehutanan, pelanggaran HAM berat, dan tindak pidana lainnya yang diatur dalam UU.

Ketiga, pengaturan mengenai intelijen penegakan hukum atau intelijen yustisial yang akan disesuaikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Keempat, pengaturan fungsi Kejaksaan sebagai Advocaat Generaal atau Jaksa pengacara Negara untuk bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Kelima kewenangan kejaksaan dalam melakukan mediasi penal untuk tindak pidana dengan kriteria tertentu.

Keenam, kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang akan diatur dan disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010. Perlu diketahui bahwa putusan MK tersebut membuat kewenangan Jaksa untuk menarik barang cetakan dalam rangka pengawasan harus melalui pengujian di sidang pengadilan.

Ketujuh mengenai Posisi Jaksa Agung.

Bahwa terkait beberapa poin krusial dalam revisi UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan  tersebut, mendapat tanggapan dari beberapa pihak yang mengkritisi adanya perluasan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan lanjutan dan pengangkatan Jaksa Agung yang harus dari Jaksa Karir.

Pengamat kepolisian Irjen Pol. (Purn). Drs. Sisno Adiwinoto menganggap bahwa revisi UU Kejaksaan khususnya terkait tugas dan wewenang Jaksa dalam melakukan penyidikan lanjutan sebagai ancaman bagi tugas pokok dan fungsi serta kewenangan Polri. 

Menurutnya, revisi UU Kejaksaan yang baru ini dapat membawa hukum acara pidana melangkah mundur ke belakang seperti HIR jaman kolonial belanda dimana penyidik dibawa supervisi Jaksa.

Beliau sepertinya khawatir bahwa dengan adanya penyidikan lanjutan oleh Jaksa akan berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan penyidikan yang dilakukan kepolisian.

Kekhawatiran itu sebenarnya tidak perlu ada apabila dipahami fungsi dari penyidikan lanjutan ini. Di dalam Pasal 14 butir b KUHAP diatur bahwa Jaksa selaku penuntut umum mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

Jadi di dalam KUHAP Istilah penyidikan lanjutan sebenarnya sudah ada hanya disamarkan dengan istilah prapenuntutan yang biasa dikenal dalam HIR.

Prof Dr. Andi Hamzah  berpendapat bahwa petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan dan penuntutan tidak dapat dipisahkan. Sehingga dengan demikian sebenarnya Kejaksaan (JPU) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun.

Penyidikan lanjutan bukan mengambil alih kewenangan penyidik Polisi atau PPNS yang memang sudah diatur dalam KUHAP tapi justru membantu penyidik dalam melakukan penyidikan sehingga perkara yang disidik itu layak diajukan  penuntutannya ke Pengadilan.

Jadi karena Jaksa yang paling bertanggung jawab untuk membuktikan suatu perkara di pengadilan maka sebagai wujud mekanisme kontrol agar penyidikan dapat berjalan dengan baik  atau untuk memperkuat hasil penyidikan yang dilakukan penyidik maka Jaksa dapat melakukan supervisi kepada penyidik.

Ini adalah bagian dari system pengawasan kewenangan sebagai perwujudan sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System).

Bahwa perlu diketahui dalam penegakan hukum pidana, penuntutan menjadi poros, sentral dan bagian terpenting dalam system peradilan pidana dan adanya kewenangan supervisi Jaksa dalam penyidikan adalah guna kepentingan penegakan hukum untuk memastikan agar proses penyidikan taat aturan dan tepat.

Jadi prinsipnya sebenarnya lebih kepada koordinasi dan kooperasi antara dua pilar penegak hukum, Polisi dan Jaksa dalam proses penyidikan.

Bahwa selama ini dalam praktek dilapangan mekanisme kontrol penyidikan oleh Jaksa kepada penyidik dalam KUHAP kadang kurang berjalan dengan mulus sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) sempat mengeluarkan Putusan Nomor: 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 dimana Penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan.

Keputusan MK ini mencerminkan penegasan asas dominus litis (pengendali perkara) yang hanya dimiliki oleh Jaksa.

MENGENAI JAKSA AGUNG, KARIR ATAU NONKARIR

Bahwa kemudian yang menjadi  sorotan dalam  revisi UU Kejaksaan adalah mengenai posisi Jaksa Agung. Dulu jabatan Jaksa Agung selalu diambil dari Jaksa karir seperti halnya Kapolri dari Polisi Karir.

Namun setelah era reformasi sampai sekarang dikotomi Jaksa Agung dari internal dan eksternal Kejaksaan selalu dimunculkan pada saat pembentukan kabinet oleh Presiden, hal ini karena sebagian partai Politik menginginkan kadernya atau figur tertentu menjadi Jaksa Agung. Hal ini kembali menjadi isu hangat yang dibahas dalam revisi UU Kejaksaan.

Mereka yang berpendapat bahwa Jaksa Agung sebaiknya dari figur luar Kejaksaan karena beranggapan bahwa  Kejaksaan akan lebih independen kalau Jaksa Agung diisi atau dijabat bukan dari internal Kejaksaan.

Namun sejarah juga mengajarkan bahwa figur-figur luar yang pernah mengisi posisi Jaksa Agung tidak banyak memberikan perubahan yang signifikan dalam perbaikan kelembagaan Kejaksaan, bahkan tanpa bermaksud menonjolkan prestasi, justru bisa dikatakan figur Jaksa Agung Karir lebih berhasil dalam melakukan penataan kelembagaan.

Bahwa salah satu keunggulan jaksa Agung dari Jaksa karir adalah  dia yang paling mengetahui dan memahami serta mampu menjalankan fungsi-fungsi pokok kejaksaan, terutama penuntutan.

Kalau dikatakan bahwa  Jaksa Agung harus figur yang berintegritas dan independen, dan itu hanya bisa dari luar Kejaksaan, ini juga persepsi yang keliru,  karena di internal Kejaksaan masih banyak figur yang memiliki  kapabilitas dan berintegritas, nama-nama seperti R. Soeprapto, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, M. Yamin,  adalah contoh sederet tokoh-tokoh besar pendekar hukum yang pernah dilahirkan Kejaksaan.

Jadi saya berpendapat seyogianya Jaksa Agung diangkat dari pejabat karier untuk mengokohkan profesionalisme Kejaksaan . Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan politik oleh karena tugas Jaksa adalah terkait dengan penuntutan perkara pengadilan dan kewenangan lain yang diatur dalam perundang-undangan.

Namun demikian tetap saja ada kekhawatiran apabila Jaksa agung diisi dari kader partai politik maka Politik akan mempengaruhi Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang dan Hukum dapat digunakan menjadi alat permainan politik.

PENUTUP

Bahwa langkah badan legislasi DPR yang akan membahas revisi UU Kejaksaan ini harus di dukung sebagai upaya untuk mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi Kejaksaan dalam memperkuat penegakan hukum. Karena bagaimanapun juga revisi UU Kejaksaan harus dilakukan dengan alasan yaitu :

Pertama tuntutan perkembangan zaman. Saat ini UU No. 16 tahun 2014 tentang Kejaksaan sudah berusia 16 tahun sementara perkembangan dinamika hukum, politik, perkembangan masyarakat dan modus kejahatan telah banyak berubah dan berkembang dengan sangat cepat sehingga revisi UU Kejaksaan adalah keharusan khususnya dalam menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.

Kedua, perlu adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang diantaranya termasuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas dan kewenangan kejaksaan dengan peraturan perundang-undangan yang lain seperti KUHAP, UU Kekuasaan kehakiman, UU ASN, UU KPK, UU Tipikor, UU Peradilan militer, UU Intelijen Negara, dan UU Pengadilan HAM.

Ketiga, saat ini masyarakat semakin kritis dalam menuntut hak dan keadilan dalam penegakan hukum. Sistem pidana di berbagai Negara termasuk Indonesia juga telah mengalami pergeseran paradigma dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif.

Hal ini tergambar dengan munculnya Peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma tersebut seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Pencucian Uang yang terakhir diubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang mana Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan Keadilan Restoratif.

Jadi salah satu yang akan diakomodir dalam revisi UU Kejaksaan tersebut adalah bahwa dalam penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif-represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti penyelesaian sengketa alternatif sebagaimana halnya mediasi penal yang dilakukan oleh Jaksa. Hal ini tentunya sesuai dengan harapan masyarakat dan bertujuan untuk lebih melayani para pencari keadilan, melindungi dan menjaga demokrasi.

Bahwa akhirnya kita tentu berharap agar revisi UU Kejaksaan ini disamping untuk memperkuat penegakan hukum ke depan juga membuat Kejaksaan lebih Independen, Profesional dan berhati nurani. (*) 

Loading...