Pilkada Langsung, Partai Politik dan KKN

Loading...

Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin
Praktisi Hukum

TIDAK lama lagi kita akan melaksanakan Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Ada 270 kabupaten dan kota yang tersebar di sembilan provinsi wilayah Indonesia, yang akan menyelenggarakan Pikada serentak, 9 Desember 2020 ini.

Namun, seperti Pilkada sebelumnya, memasuki tahapan Pilkada serentak 2020 ini, kita menyaksikan kembali politik dinasti marak. Kebanyakan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, kembali didominasi keluarga dan sanak saudara.

Kepala daerah yang sementara menjabat atau telah menjabat dua periode akan memunculkan istri, anak, menantu, keponakan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Baik, untuk pemilihan gubernur maupun bupati atau walikota.

Banyak kejadian dalam Pilkada, dimana setelah sang ayah menyelesaikan tugasnya sebagai walikota atau bupati dan kembali maju sebagai calon gubernur. Maka, sang anak mengisi jabatan yang ditinggalkan anaknya. Kejadian seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

Apakah politik dinasti salah? Tentu tidak! Karena konstitusi menjamin hak setiap orang untuk berpolitik. Baik untuk memilih maupun dipilih. Termasuk untuk mencalonkan diri menjadi kepala dan wakil kepala daerah.

Namun, ini adalah sebuah ironi. Ketika kita berusaha untuk menghilangkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sekarang justru kolusi dan nepotisme kita legalkan dalam Undang-Undang.

Dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada istri, anak, keponakan untuk menggantikan suami, bapak dan paman sebagai kepala daerah.

Demokrasi dengan Pilkada langsung yang kita harapkan memberikan kesempatan kepada semua orang, untuk berkompetisi menjadi kepala daerah. Ternyata, justru memberikan ruang untuk memonopoli kekuasaan hanya dari kalangan keluarga tertentu.

Politik dinasti rentan untuk terjadinya korupsi. Lihat saja misalnya semua daerah yang mengidap politik dinasti, tidak bebas korupsi. Seperti terjadi di Banten, kakak adik kena kasus korupsi.

Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari tersandung kasus korupsi mengikuti jejak sang ayah, mantan Bupati Kutai Kertanegara – Syaukani Hassan Rais.

Di Klaten, Jawa Tengah, Bupati Sri Hartini yang memimpin Klaten berkat dinasti politik yang dibangun suaminya, mantan bupati Haryanto Wibowo. Tahu-tahu terkena operasi tangkap tangan KPK karena diduga melakukan jual beli jabatan.

Ini akhirnya akan terus menyuburkan terjadinya Korupsi, Kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan sistem seperti ini, sulit bagi kita mengharapkan pemimpin yang bisa memajukan daerahnya. Karena kekuasaan cenderung hanya akan diarahkan untuk menguntungkan kroni dan keluarga pemilik dinasti politik.

Tidak Ada Makan Siang Gratis

Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi, juga menunjukkan kegagalan kepala daerah dalam menjalankan amanahnya dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih.

Kegagalan tersebut juga menunjukkan bahwa sistem Pilkada langsung yang menghasilkan kepala daerah tersebut perlu dikoreksi kembali. Penyebab kepala daerah tersandung korupsi sebenarnya, adalah imbas dari pilkada langsung yang menghabiskan biaya yang sangat besar.

Sehingga memaksa kepala daerah untuk mengganti pengeluaran untuk biaya pilkada tersebut. Pilkada, adalah perjudian besar-besaran. Untuk kalah dalam pilkada Anda harus mengeluarkan biaya yang besar, apalagi untuk menang.

Biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah umumnya, adalah kepada partai pendukung sebagai syarat untuk mendapat dukungan maju dalam pemilihan. Tentu tidak semua partai politik memungut mahar, tetapi tidak ada makan siang gratis.

Undang-Undang sebenarnya melarang pemberian mahar ini. Di dalam Pasal 187 B UU Pilkada menyebutkan, bahwa anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik, yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum.

Menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan. Dan, paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit tiga ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.

Namun dalam kenyataannya tidak pernah ada kasus seperti ini terungkap, karena pembuktiannya sangat sulit dilakukan.

Perbuatan korupsi sebenarnya tidak hanya terkait dengan hukum dan administrasi. Tapi banyak terhubung dengan aspek politik, yang salah satunya adalah menggunakan anggaran negara untuk pembiayaan politik.

Dalam level daerah misalnya, dana bansos atau hibah banyak digunakan untuk kampanye tim sukses kepala daerah. Dalam level nasional, kasus-kasus seperti buloggate, bank century, dan lain-lain tidak bisa dilepaskan dari tudingan ini.

Namun, korupsi politik ini masih sulit disentuh. Karena penegakan hukum cenderung masih sangat lemah, apabila dihadapkan kepada partai politik.

Mengapa ? Karena saat ini pengisian jabatan untuk pencalonan Kapolri, Jaksa Agung, anggota Komisi Yudisial, KPK, KPU dan sebagainya sangat ditentukan oleh apa maunya partai politik (yang berkuasa).

Hapuskan Pilkada Langsung

Pilkada langsung yang telah beberapa periode kita laksanakan, ternyata lebih banyak membawa mudharat daripada manfaatnya. Hal itu karena beberapa hal:

Pertama, Pilkada langsung memakan ongkos yang sangat mahal. Untuk bisa maju menjadi kepala daerah, seorang calon harus mempersiapkan uang yang banyak.

Di antaranya mahar untuk mendapat dukungan politik dari partai, membeli suara konstituen, membayar tim sukses, membayar konsultan dan biaya-biaya untuk media ruang publik. Seperti baliho, iklan, dab spanduk.

Seseorang yang ingin mencalonkan diri walau memiliki integritas dan kecerdasan, tidak bisa maju dalam Pilkada. Kalau tidak memiliki uang banyak atau pemodal yang membiayai kampanyenya.

Pilkada langsung hanya menguntungkan orang yang punya uang banyak untuk berkuasa. Sehingga jangan heran, apabila banyak pengusaha yang kemudian menjadi kepala daerah. Atau, pengusaha yang memodali calon kepala daerah untuk maju pilkada.

Mengapa banyak pengusaha yang masuk politik? Apa tujuannya? sulit melepaskan mereka dari kepentingan bisnis.

Pengusaha yang terjun ke politik akan sulit untuk memisahakan antara urusan bisnis dan jabatan publik. Mana sektor bisnis privat dan mana sektor publik sebagai pelayan kepentingan masyarakat.

Pengusaha yang tidak bisa membedakan urusan bisnis ini, cenderung akan mengalihkan anggaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan pada kepentingan perusahaan miliknya sendiri.

Kedua, Pilkada langsung yang kita terapkan saat ini hanya melahirkan politik dinasti. Kepala daerah yang sudah berkuasa dapat terus menumpuk sumber daya dari kekayaan.

Sehingga, mesin politiknya guna melanggengkan kekuasaan untuk penerusnya. Kepala daerah yang sudah dua kali menjabat, akan menunjuk lagi dari keluarganya sendiri.

Padahal, pada dasarnya dia ingin mempertahankan kekuasaan. Dengan menjadikan keluarga sendiri sebagai kepanjangantangannya.

Di dalam sistem seperti ini, kita sulit menemukan pemimpin yang memiliki kemampuan leadership yang matang dan betul-betul bekerja untuk kepentingan rakyat.

Nabi Muhammad SAW, mengatakan bahwa apabila kepemimpinan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

Ketiga, demokrasi langsung yang kita jalankan atas nama kedaulatan rakyat, sebenarnya hanya kamuflase. Karena, kedaulatan sesungguhnya bukan ditangan rakyat tapi di tangan pemodal.

Lalu apakah sistem seperti ini akan terus kita pelihara dengan membiarkan demokrasi dibajak oleh pemodal?

Sudah Saatnya Kita Berubah

Jadi saatnya, kita harus mengubah sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini. Sistem pemilihan langsung yang sangat mengandalkan kekuatan uang, membuat sekelompok orang, sekelompok pemodal atau kepentingan asing dengan mudah dan murah membajak negeri ini melalui proses demokrasi.

Saya mengusulkan ke depan, kita harus mengembalikan sistem pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kembali kepada kepada DPR, DPRD.

Sebagaimana yang diamanatkan oleh sila ke-4 Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Bahwa, DPR dan DPRD sebagai representasi wakil rakyat yang akan bermusyawarah. Untuk memilih Presiden atau kepala daerah.

Calon kepala daerah juga sebaiknya hanya dari kalangan birokrat pemerintahan atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Prinsip jabatan harus diserahkan kepada ahlinya maka tentunya pejabat PNS lebih memiliki kompetensi kepemimpinan.

Karena, mereka sudah teruji selama puluhan tahun di pemerintahan. Sehingga tentunya lebih menguasai administrasi dan teknis pemerintahan.

Mereka juga tidak akan tersandera oleh kepentingan politik, karena mereka bukan kader partai sehingga lebih independen dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Persyaratan calon kepala daerah dari kalangan birokrat juga tidak akan menghambur-hamburkan uang, seperti pilkada langsung.

Untuk menjadi kepala daerah misalnya dipersyaratkan harus menduduki jabatan sekda atau Kepala Dinas pada SKPD. Pemilihannya pun akan sederhana, yaitu cukup dengan pemaparan visi misi maupun debat antar kandidat. Jadi bagi Anda yang ingin menjadi kepala daerah, maka Anda harus meniti karir menjadi PNS.

Bahwa, dengan demikian nantinya partai politik tidak bisa lagi mengusulkan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Kecuali dari PNS.

Partai politik, adalah representasi wakil rakyat. Maka tugas partai politik hanya berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan.

Partai Politik Cukup 2 dan Pendanaannya Dibiayai Penuh oleh Negara

Pada pemilu 1955 jumlah parpol yang memperebutkan kekuasaan mencapai puluhan partai politik. Namun pada era orde baru jumlah parpol kemudian dibatasi hanya 3 partai politik saja yaitu Golkar, PDI dan PPP.

Tapi sejak kita melakukan reformasi, kita justru kembali mundur kebelakang dengan membolehkan kembali banyaknya partai politik berdiri.

Antropolog Amerika, Clifford Geertz pernah memperingatkan, agar Indonesia yang sangat beragam suku dan budayanya serta sangat religius, hendaknya tidak memilih menjalankan demokrasi liberal.

Karena, banyaknya partai politik yang memperebutkan kekuasaan justru akan menghancurkan negara. Sinyalemen ini terbukti benar. Saat ini energi bangsa kita lebih banyak terkuras oleh masalah politik dan kekuasaan.

Kita lihat banyaknya partai politik dengan dengan ideologi berbeda telah menimbulkan konflik-konflik di daerah, antarsesama kader partai.

Karena perebutan jabatan saling menyerang hingga merusak aset partai sendiri, setiap pilkada selalu berujung sengketa di Mahkamah Konstitusi.

Banyak kader partai ditangkap KPK karena korupsi, mereka terpaksa melakukan korupsi karena dituntut pendanaan.

Darimana partai politik membiayai dirinya? Walaupun, secara resmi menurut Undang-undang sumber dana mereka peroleh dari iuran atau sumbangan dari anggota dan perseorangan, badan usaha maupun subsidi dari negara. Namun, itu jauh dari cukup untuk pembiayaan partai. Lalu dari mana tambahan dana yang lain ? Tentunya bantuan dari pemodal.

Partai politik sulit menjadi pilar demokrasi yang baik, selama mereka masih tergantung dengan pembiayaan dari luar. Selama mereka masih belum mandiri dalam keuangan, maka sangat berbahaya Mengapa ?

Mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Ketua MPR yang juga pernah menjadi calon Ketua Umum Golkar, Bambang soesatyo.

Dia membuka rahasia yang sangat besar, yang sebenarnya bukan rahasia. Karena baunya sudah lama dicium, hanya tidak bisa dibuktikan.

Untuk menguasai partai politik, seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 triliun. Artinya dengan jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9.

Maka untuk menguasai parlemen secara penuh hanya butuh modal Rp 9 triliun.
Jumlahnya jauh lebih sedikit, karena untuk menguasai parlemen tak perlu semua partai harus dibeli.

Cukup dua pertiga suara saja. Pilih 3-4 parpol dengan suara tertinggi. Jadi modalnya kira-kira hanya Rp 5 – Rp 6 triliun mereka sudah bisa menguasai Indonesia.

Dengan menguasai parpol, menguasai parlemen, maka para pemodal bisa menentukan siapa yang menjadi Presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota dan berbagai jabatan publik lainnya. Tentu saja termasuk pimpinan MPR, DPR dan DPD.

Hanya dengan uang Rp 6 sampai Rp 9 triliun mereka menguasai Indonesia. Sangat murah. Lalu siapa pemilik modal itu? Ya tidak jauh-jauh, mereka adalah orang-orang terkaya di Indonesia.

Yang kita khawatirkan kalau mereka juga sebenarnya adalah kepanjangan tangan dari elit global yang merupakan pemilik kekayaan terbesar di dunia, maka apa jadinya negara ini.

Bahwa oleh karena itu sudah saatnya kita melebur partai politik hanya menjadi dua yaitu partai pemerintah dan partai oposisi. Anggaran partai politik sepenuhnya dibiayai oleh negara supaya bisa mandiri dan independen.

Saya percaya ketika partai politik hanya dua dan sepenuhnya dibiayai oleh negara.  Maka Indonesia yang makmur, bersih dari KKN, taat hukum dan demokratis akan bisa kita wujudkan.

Daripada menggunakan sistem multipartai seperti saat ini, yang hanya akan memproduksi politisi-politisi karbitan yang haus uang dan kekuasaan.

Selain, hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak memiliki karakter dan visi yang kuat. Karena hanya bermodalkan popularitas. Wallahualam. *** 

Loading...