Subak, Wujud Harmonisasi Hubungan Manusia, Alam dan Sang Pencipta

Loading...

SUBAK di Pulau Bali, secara umum dikenal sebagai sawah berundak. Sawah yang tersusun seperti undakan anak tangga menjulang hingga ke awan di puncak bukit.

Sawah-sawah di saat musim tanam terlihat hijau seperti hamparan permadani, karena terairi dengan baik. Air mengalir bukan cuma ke pinggang bukit, tapi sampai ke puncaknya.

Menjelang masa panen tiba, hamparan hijau itu berubah menguning. Kuning berkilau seperti emas. Mengayun seperti rentak tari mengikuti irama dari alunan angin.

Saat pertama ke Bali di tahun 1990-an, subak adalah tempat pertama yang ingin saya kunjungi selain pantai Kuta.

Semua berawal dari pengetahuan yang saya dapat dari bangku sekolah. Bahwa, persawahan di Bali tak hanya di lahan datar.

Di lahan yang miring seperti perbukitan pun ada sawahnya. Pertanyaan pun muncul, bagaimana menaikkan air atau mengairi sawah yang ada di perbukitan itu.

Walau banyak referensi dibaca terkait hal itu. Namun, pertanyaan itu terus bermain di kepala saya. Sekaligus membuat penasaran.

Kesempatan itu akhirnya datang dan saya puaskan menjawab pertanyaan yang bertahun-tahun bermain di kepala.

Kesan pertama saat melihat persawahan di Ubud, adalah takjub. Saat melihat landskap yang memesona ada di depan mata.

Saya yakin ada banyak orang dari berbagai belahan dunia yang juga takjub. Sehingga, selalu ingin datang lagi, lagi dan lagi ke Bali.  
Ketakjuban yang berawal dari bijaknya para petani dan para pemimpin di Bali, mengelola alamnya. Air yang terbatas dikelola dengan sangat baik.

Sudah Berusia 1.000 Tahun

Subak ternyata tak cuma upaya untuk menaikkan air ke atas bukit dan membasahi sawah. Dan, itu sudah dilakukan sejak sekitar 1.000 tahun yang lalu.

Subak, meminjam istilah yang dipopulerkan Syahrini, adalah sesuatu. Ada filosofi hidup masyarakat agraris di sistem itu. Tak hanya dengan alam tapi juga dengan Yang Maha Pencipta.

Sesuatu yang sangat bernilai. Sehingga, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan dunia atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), menetapkan subak sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 2012.

Beberapa hari lalu, Google pun mengapresiasi landskap indah di Pulau Bali, yang berawal dari bijaknya petani di Bali mengairi sawahnya.

Wujud apresiasi Google itu ditampilkan dalam bentuk Google doodle. Di doodle itu, digambarkan seorang petani bercaping sedang melihat sawahnya.

Sawah bernuansa kehijauan dengan semburat warga kuning emas dan juga biru, yang membentuk tulisan Google.

Di atas persawahan ada sejumlah burung bangau berwarna putih yang sedang terbang. Sementara di pojok kanan terlihat sebuah pura kecil atau palinggih.

Subak dan Dewi Kesuburan

Pura kecil yang merupakan sebuah altar, untuk tempat pemujaan bagi dewi padi. Dewi Sri kesuburan yang juga diyakini melindungi pertanian.

Sekaligus sebagai wujud rasa syukur, karena telah mendapatkan air dan sawah yang subur.

Subak sesungguhnya merupakan sistem pengairan sawah atau irigasi, untuk mengairi seluruh sawah yang ada.

Sistem ini dijaga ketat oleh masyarakat. Dan, untuk itu ditunjuk seorang pemuka adat di antara mereka sebagai manajernya. Pemuka adat ini juga seorang petani.

Sebuah sistem yang sangat efektif menjaga kesuburan tanah dan menjaga sumber air. Sistem yang sudah berusia sekitar 1.000 tahun. Yang hingga kini subak masih terus terjaga dengan baik dan memesona dunia. (sigit rachmat)

Loading...