Kampung Ini Fasumnya Kalah Kelas dengan Lokalisasi

Loading...

TANJUNGPINANG (suarasiber) – Hutan lindung, PLN, Pemprov Kepri harus menerima nasib sebagai kambing hitam, yang menyebabkan warga Kampung Wono Asri, Desa Sebong Pereh, Bintan, hingga kini masih “belum merdeka”.

Kambing hitam yang dianggap paling tepat untuk bertanggungjawab. Pemkab?

Mungkin karena pandemi Covid-19 jadi jatuh miskin. Dan, tak mampu mengasupi warganya dengan genset dan BBM-nya.

Atau mungkin kupon jatah BBM sudah habis disedot mobil-mobil pelat merah. Dan, yang ada di sekitar pelat merah.

Bertahun-tahun warga kampung ini berteriak ke sana kemari. Berulangkali pula dikunjungi, difoto-foto oleh pejabat eksekutif dan legislatif yang berkunjung.

Foto-foto itu bukan sebatas untuk dokumentasi. Tapi sarana pelengkap untuk mencairkan anggaran perjalanan dinas.

Jalan masuk di Kampung Wono Asri, kalah kelas dengan jalan di lokalisasi. F kiriman warga 

Bagi warga kampung itu banyaknya foto yang diambil tidak ada artinya alias nol.

Paling tidak, hingga tulisan ini dituliskan, kampung itu masih berselimutkan lampu sentir. Bukan cahaya lampu listrik, bukan pula dari genset.

Lampu sentir sebutan untuk kaleng susu atau kaleng minuman ringan, yang diisi minyak tanah dan diberi sumbu. Seperti di zaman batu.

Jangan bandingkan fasilitas di kampung ini dengan lokalisasi. Terang benderang. Dan, jalannya diaspal mulus.

Beda dengan di Kampung Wono Asri, yang jalannya cuma tanah biasa.

Redaksi suarasiber.com, Jumat (25/7/2020), menerima dua foto yang bikin rambut tegak-tegak.

Foto pertama yang dikirim Noryanto, Ketua RT Kampung Wono Asri, adalah lampu sentir yang digunakan warga untuk penerangannya.

Foto kedua adalah jalan ke kampung ini. Kelas jalannya kalah jauh dengan jalan di lokalisasi di Bintan.

Bekas aliran air membentuk gerusan di badan jalan, yang sangat cocok dilalui oleh sepeda motor off road keluaran terakhir.

Sepeda motor biasa bisa saja melaluinya. Tapi tarikan gasnya dipastikan membuat mesinnya menggeram. Dan, knalpotnya menyuarakan teriakan nyaring.

Lebih nyaring dari jeritan warga setempat yang sudah bertahun-tahun disuarakan.

Karena kalah nyaring itu maka sampai malam ini, saat tulisan ini ditulis, jeritan mereka masih sayup-sayup terdengar.

Namun, sayup suara itu kini mulai terdengar. Minimal, sudah ada kambing hitam yang dituntut bertanggungjawab.

Dan, dapat segera memasukkan lampu sentir warga ke museum serta mengaspal jalan ke kampung ini.

Mungkin tak perlu aspal yang terlalu mulus. Namun, cukup untuk membuat kampung ini tak kalah kelas fasumnya dengan di lokalisasi. (mat)

Loading...