Sumpah Pemuda dan Ironman

Loading...

Tagar #SumpahPemuda2019 menjadi trending topic, Senin (28/20/2019). Trending yang kebetulan sesuai dengan kondisi di lapangan.

Di mana-mana, utamanya di lapangan, dan di halaman gedung pemerintah diadakan apel bendera. Untuk mengingat peristiwa yang terjadi 91 tahun lalu di Jakarta.

Tekanan kolonialisme setelah Perang Dunia I, dan tunduknya nyaris semua kerajaan di Tanah Air di kaki kolonialis Belanda, seakan menyadarkan para pemuda.

Sehebat apapun raja, dan para panglimanya memerangi kolonial Belanda, perang tetap sulit dimenangkan. Jika dilakukan terpisah-pisah.

Apalagi, kolonial Belanda menggunakan taktik, dan strategi super, devide et empera. Pecah belah. Awalnya hanya untuk taktik perang. Kemudian berkembang menjadi strategi politik.

Adalah sebuah kesadaran tingkat dewa dari pada pemuda di masa itu. Bahwa, stategi politik kolonial hanya bisa dikalahkan dengan persatuan.

Pemuda dari zaman serba sulit, susah, dan dalam tekanan kolonial itu, mampu menyatukan pikiran.

Mereka bersumpah bukan untuk mendapatkan kekuasaan. Bukan untuk menjaga kekuasaan. Bukan juga untuk memertahankan kekuasaan.

Tapi untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, yang bermuara pada kemakmuran rakyat Indonesia. Visi yang kemudian dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945.

Mereka pun bersumpah di Kongres Pemuda II di sebuah rumah di Jalan sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta, kini jadi Museum Sumpah Pemuda.

Ini bunyi sumpahnya:

Kami poetra dan poetri Indonesia, mangakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean Bahasa Indonesia

Sumpah yang jika diresapi bisa bikin bulu halus di tubuh berdiri. Merinding.

90 tahun pun berlalu sudah. Kini, era Ironman. Era Revolusi Industri 4.0.

Sebutan yang banyak disebut dalam pidato-pidato pejabat lokal atau nasional. Meski maknanya tak mereka pahami. Apalagi dijalani.

Era Revolusi Industri 4.0, memang menuntut kecepatan, dan kemampuan berpikir serta bertindak ala Ironman.

Serba komputer, serba digital, segalanya dilakukan dengan internet. Tidak perlu banyak kunker.

Sesuatu yang sulit dijalani. Karena kunker jadi salah satu sumber pendapatan tidak tetap.

Era Ironman juga berdampak pada hilangnya segala sekat ruang, waktu, dan tempat. Sekaligus membuat potensi pecah belah mencuat.

Tanpa stategi devide et empera pun, era Ironman bisa mengancam persatuan yang jadi visi para pemuda Indonesia di tahun 1928.

Tanpa persatuan, Indonesia hanya kepingan puzzle yang tunduk di kaki kolonialis.

Seperti itulah dahsyatnya frasa persatuan itu.

Begitu dahsyatnya, sehingga tak cukup hanya diingati dengan apel bendera atau Upacara Hari Sumpah Pemuda.

Tak cukup hanya sebatas mengenakan baju daerah saat upacara. Namun, di kantor-kantor masih menggunakan bahasa daerah masing-masing.

Sebuah diskresi besar diperlukan, agar persatuan bangsa Indonesia tak luntur ditelan era Ironman. Dan, tetap kekal.

Sebagaimana divisikan pemuda di zaman old, di tahun 1928. (sigit rachmat)

Loading...