Money Politic dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

Loading...

Tahun 2018 merupakan tahun politik bagi Indonesia, hal ini ditandai dengan diadakannya Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak di beberapa wilayah di Indonesia.

Sampai hari ini, terdaftar 171 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak pada bulan juni mendatang, yang terdiri dari 17 Provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Dari 39 kota yang akan melaksanakan Pilkada serentak, termaksud pula wilayah kota Tanjungpinang yang akan ikut memeriahkan pesta demokrasi mendatang dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang.

Pemillihan Kepala Daerah atau disebut juga dengan Pemilukada merupakan sarana bagi masyarakat untuk dapat memilih kepala daerah yang sesuai dengan kehendak nya. Pemilihan umum kepala daerah merupakan amanat dari konstitusi yakni dalam pasal 18 ayat (4) Undang-undang Dasar 1945, yakni Gubernur, Bupati, dan Walikota, sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih rakyat secara demokratis. Nilai-nilai dasar demokrasi merupakan nilai-nilai yang mutlak diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis.

Nilai-nilai dasar (core values) tersebut, menurut Muladi salah atunya adalah Sistem Pemilihan yang jujur dan adil untuk jabatan-jabatan politik. Penyelenggaraan
Pemilihan Umum kepala daerah didasari atas asas-asas fundamental yakni Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Tentunya pelaksanaan Pemilihan yang demikian juga diperlukannya dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait.

Secara khusus pelaksanaan Pemilukada tahun 2018 ini juga didasari atas aturan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang. Peraturan ini tentunya dilandasi norma-norma yang mengikat agar pemilukada berjalan sesuai dengan asas-asas umum dalam Pemilihan.

Namun pada praktiknya justru sering kali pesta demokrasi ini menjadi sarana bagi para pasangan calon untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran baik pada saat masa kampanye maupun pada saat setelah masa kampanye. Hal ini dilakukan untuk dapat mengumpulkan suara sebanyak banyaknya dan duduk di kursi kepala daerah.

Money Politic merupakan isu yang tak asing lagi dalam setiap penyelenggaraan pemilukada. Masyarakat tentu lebih identik dengan istilah serangan fajar.

Ada yang mengartikan money politic merupakan suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).

Money poltik merupakan perbuatan yang melanggar hukum, karena akibat yang ditimbulkan dapat merugikan berbagai pihak yakni pasangan calon kepala daerah maupun masyarakat itu sendiri. Money politic juga mencederai asas-asas dalam pemilu dan mencoreng nilai-nilai demokrasi. Sehingga patutlah perbuatan money politic ini dikriminalisasikan guna mempertahankan nilai-nilai demokrasi.

Money Politic, politic uang, atau suap politik hanya merupakan istilah, namun secara yuridis Money Politic dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan aturan umum (lex generalis) dalam hukum pidana dikonstruksikan sebagai suatu perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara yang tertentu pada waktu pemilihan (pasal 149 KUHP).

Rumusan delik Money politic tersebut diancam pidana secara alternative dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan atau denda tiga ratus rupiah (Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, sehingga denda menjadi Rp. 300.000,00) yang dapat dikenakan pada pemberi maupun penerima.

Money Politic juga diatur lebih terperinci dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2016 yang subjek nya tidak hanya setiap orang dalam arti peserta pemilukada atau pemberi. Namun juga Calon atau pasangan calon , Angggota partai politik, Tim kampanye, Relawan dan pihak lain.

Tak tanggung-tanggung, Undang-undang ini juga mengancam setiap orang yang terbukti melakukan money politic dengan pola ancaman pidana kumulatif yakni penjara dan denda. Untuk delik dalam pasal 73 ayat (1) UU No.10 Tahun 2016 ditegaskan bahwa : “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih” Pasal 73 ayat (4) ditegaskan pula bahwa : “Selain calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye dan relawan atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:”

a. Mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih
b. Menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah
c. Mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.

Yang menjadi Kelemahan dalam Pasal 73 UU No.10 Tahun 2016 adalah masih terkesan multitafsir, elastis dan pasal karet serta memiliki banyak celah hukumnya. Berikut penjelasan dalam Pasal tersebut: “Yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU”.

Yang patut digaris bawahi adalah apakah yang menjadi standart nilai kewajaran yang tidak termaksuk sebagai money politik, karena Undang-undang ini juga tidak mengatur lebih lanjut. Karena bisa saja hal ini justru menjadi celah bagi para pasangan calon untuk melakukan money politic secara terselubung. Dan justru kerap kali praktik money politic terjadi pada saat masa kampanye berlangsung.

Selain sanksi pidana bagi pelaku money politic, diatur pula sanksi administrative bagi para pelaku khususnya ditujukan bagi calon yang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi
penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Sanksi administrative berupa pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/kota (Pasal 73 ayat (2) UU. No. 10 Tahun 2016).

Ketentuan money politic dalam UU ini juga dirumuskan sebagai delik materiil, yang artinya mewajibkan adanya akibat yang dapat ditimbulkan pada perbuatan tersebut (pasal 187A). Padahal untuk menetukan akibat yang
ditimbulkan dari money politic tersebut tidak lah mudah karena :

a) Asas-asas dalam Pemilu ialah Langsung, Umum, Bersih, Rahasia, Jujur dan Adil. Yang patut digaris bawahi adalah Pemilu bersifat rahasia, artinya hanya pemilih sendiri lah yang boleh mengetahui pilihan nya apa. Sehingga akan sulit dibuktikan apakah seseorang telah merubah hak pilihnya karena janji-janji politik atau murni merupakan pilihan dari hari nurani nya.

b) Jika Money Politik dijadikan sebagai delik materiil maka proses penyidikan baru dapat dilakukan setelah keluarnya hasil dari pemilihan untuk mengetahui hasil pemilihan. Sedangkan money politik biasa terjadi pada saat masa kampanye. Dan bagaimana pula jika pasangan calon yang menang terbukti melakukan money politik. Tentu ini akan menjadi masalah baru dalam prakteknya.

Money Politik pada dasarnya merupakan perbuatan suap dibidang politik. Money politik merupakan kejahatan yang memiliki dampak besar bagi masyarakat karena menyangkut jabatan public. Sehingga akan lebih baik jika money politik di rumuskan sebagai delik formiil, karena perbuatan menyuap merupakan perbuatan yang dilarang, tanpa harus adanya timbul akibat.

Terlebih lagi pembuktian yang sulit dalam money politic, akan membuat pelaku tidak mudah terjerat pidana.

Penegakan hukum Money Politic dalam Pemilukada haruslah dikonstruksikan dalam sebuah sistem yang saling bekerja satu sama lain. Meminjam pendapat Lawrencence Friedman, bahwa sejatinya sistem hukum dibagi atas 3
komponen yakni Legal Substance, Legal Structure dan Legal Culture. Yang mana jika dihubungkan dengan penegakan hukum Money Politic dalam Pemilukada Legal.

Substance memiliki posisi yang paling strategis yakni substansi hukum/landasan yuridis pengaturan money politic dalam hukum positif di Indonesia. Legal structure dimaknai adanya lemabaga pemerintah yang saling berintegrasi guna mewujudkan Pemilihan yang bebas dari money politic. Dan Legal Culture, bahwa pentinya budaya hukum dalam masyarakat untuk tetap terus ditegakkan, budaya hukum bisa berupa partisipasi masyarakat dalam melaporkan adanya praktik money politic pada masa kampanye maupun pemilihan, dan sikap arif dan bijaksana masayarkat untuk menggunakan hak pilihnya tidak berdasarkan uang/materi tetapi berdasarkan kualitas dan integritas dari pasangan calon.

Penulis: Hirda Octavia
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Loading...