Sejarah Flyover di Dunia dan di Indonesia

Loading...

Suarasiber.com – Flyover adalah jembatan layang yang dibangun di atas jalan raya untuk menghindari hambatan atau kemacetan pada jalan dasar.

Sejarah flyover di dunia berawal pada tahun 1811, ketika The Westgate Viaduct di Wakefield, Inggris dibuka. Ini adalah jembatan layang pertama yang dibangun di dunia, yang digunakan untuk menghindari hambatan alami seperti sungai dan jurang.

Namun, seperti dilansir dari www.sabre-roads.org, William Dargan dianggap sebagai penemu jalan layang. Dargan adalah anak petani di Kota Killeshin, pelosok tenggara Irlandia.

Ketika dia lahir pada 28 Februari 1799, ayahnya sekadar berharap dia bisa membaca dan menulis. Tujuannya, bocah itu bisa bekerja jadi juru ketik di kantor pemerintah.

Selepas lulus sekolah menengah Bahasa Inggris, Dargan akhirnya betul-betul menjadi juru ketik. Dia bekerja di sebuah perusahaan konstruksi di Ibu Kota Dublin, Irlandia.

Dargan ternyata cepat belajar. Dari mula-mula hanya menulis laporan, kepala perusahaan itu melihat bakatnya mendesain konstruksi. Karirnya melonjak. Dargan segera tenar sebagai kontraktor spesialis jalur kereta dan jembatan di seantero negeri.

Pada 1832, Pemerintah Kota Banbridge, di sebelah utara Irlandia, memanggil dia untuk mengakali jalan setapak curam di tengah kota. Meski amat berbahaya, masyarakat terpaksa melewati jalan itu karena letaknya strategis, menghubungkan dua bagian kota di sisi barat dan timur.

Jalan itu terbentuk alamiah di atas bukit yang tergerus erosi bertahun-tahun. Wujud bukit kecil setinggi 3 meter itu pun unik, seperti jembatan, hanya saja tanpa sungai atau jurang. Dewan kota meminta Dargan membangun jembatan yang lebih aman.

Ketika melihat kondisi jalan dan bersiap merancang jembatan, tiba-tiba Dargan mendapat ide brilian. Dia merasa bila bukit itu bolong, bisa dibangun sebuah jalan lain yang tak kalah strategis dari yang sudah biasa dilalui masyarakat. Terutama untuk dilewati pedati dan kereta kuda.

Dia semakin yakin gagasannya lebih moncer dibanding sekadar membangun jembatan. Dia membangun penyangga di sisi-sisinya. badan bukit yang masih menempel di masing-masing tepian menjadi pondasi pembangunan jembatan.

Karena berasal dari bukit yang dilubangi, jembatan yang dibangun di bagian atas terkesan melayang di atas jalan lainnya. Biaya mewujudkan ide itu cukup gila untuk ukuran zamannya. Mencapai 19.000 poundsterling.

Dargan meyakinkan Dewan Kota Banbridge idenya bakal berhasil. Terbukti, saat jembatan itu selesai pada 1834, warga kota kecil di Irlandia itu memiliki jalan layang pertama di dunia. Perekonomian kota pun meningkat pesat karena warga punya banyak pilihan jalur melintas.

Selepas kerja hebat di Banbridge, Dargan terus membangun ratusan kilometer jaringan rel di pelbagai tempat di negerinya. Pria yang kini disebut bapak rel kereta Irlandia itu wafat pada 1867.

Jasa Dargan di bidang konstruksi tidak banyak diketahui. Hanya Pihak Balai Kota Banbrigde yang masih setia mendokumentasikan kisah jalan layang pertama di dunia ini di kantor mereka.

Jutaan insinyur di penjuru bumi agaknya sudah menerima konsep jalan layang terima jadi. Orang-orang sekadar tahu konsep jembatan yang melayang karena ide dadakan itu disebut flyover. Di Amerika Serikat, jalan macam ini dinamai overpass.

Di Jakarta, orang sepertinya tidak ambil pusing dengan muasal nama dan sejarahnya. Pemerintah provinsi terus membangun jalan-jalan semacam itu dengan asa macet bakal berakhir. Seperti berlaku siang-malam di ruas Casablanca.

Flyover di Amerika dan Dunia

Mengutip Google dan Yahoo, pada tahun 1845, jembatan layang pertama di Amerika Serikat dibuka di Baltimore, Maryland. Ini dikenal sebagai Union Bridge dan digunakan untuk menghindari hambatan alami seperti sungai Susquehanna.

Pada awal abad ke-20, flyover mulai dibangun di kota-kota besar di seluruh dunia untuk mengatasi masalah kemacetan. Pada tahun 1936, flyover pertama di New York City, The Queensboro Bridge, dibuka untuk menghubungkan Manhattan dengan Queens. Kemudian pada tahun 1948, flyover pertama di Jepang dibuka di Tokyo, yang dikenal sebagai Tokyo Bay Aqua-Line.

Selanjutnya, flyover dibangun di seluruh dunia untuk mengatasi masalah kemacetan dan mempermudah akses transportasi. Pada tahun 1960-an, flyover dibangun di beberapa kota besar di India, seperti Mumbai dan Kolkata, untuk mengatasi masalah kemacetan yang semakin parah. Pada tahun 1970-an, flyover dibangun di beberapa kota besar di China, seperti Beijing dan Shanghai.

Flyover Beijing menggunakan sistem pengumpan daya listrik melalui panel surya untuk mengurangi emisi karbon.

Sampai saat ini, flyover di dunia telah dibangun dalam berbagai bentuk, ukuran dan desain. Beberapa flyover dibangun dengan desain yang unik dan artistik, seperti flyover yang dibangun di Paris, Perancis yang dikenal sebagai Millau Viaduct.

Flyover juga dibangun dengan teknologi yang canggih, seperti flyover yang dibangun di Korea Selatan yang dikenal sebagai Incheon Bridge. Flyover ini menggunakan sistem kontrol jembatan yang canggih untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi operasional.

Secara umum, flyover dibangun untuk mengatasi masalah kemacetan dan mempermudah akses transportasi. Namun, flyover juga dapat digunakan untuk menghindari hambatan alami seperti sungai, jurang, atau laut. Juga sarana rekreasi dan wisata, seperti flyover yang dibangun di Sydney, Australia yang dikenal sebagai Sydney Harbour Bridge.

Namun demikian, flyover juga memiliki beberapa masalah seperti biaya yang tinggi, pengaruh negatif pada lingkungan dan pengaruh negatif pada estetika kota. Oleh karena itu, perencanaan dan perancangan flyover harus dilakukan dengan cermat dan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan estetika.

Flyover di Indonesia

Pada tahun 1980-an, Jakarta yang memang sudah mengalami kendala kemacetan lalu lintas, banyak membangun jalan layang sebagai salah satu solusi meningkatkan infrastruktur lalu-lintas. Sebagai kontraktor saat itu, PT. Hutama Karya mendapatkan order membangun jalan raya di atas jalan by pass A. Yani di mana pembangunannya harus memastikan bahwa jalan itu harus tetap berfungsi.

Dengan permasalahan tersebut, para direksi Hutama Karya berdiskusi setelah mendapatkan order membangun jalan layang antara Cawang sampai Tanjung Priok sekitar tahun 1987. Persoalan rumit diurai, yang diperlukan untuk menyangga badan jalan itu adalah deretan tiang beton, satu-sama lain berjarak 30 meter, di atasnya membentang tiang beton selebar 22 meter. Batang vertikalnya (pier shaft) berbentuk segi enam bergaris tengah 4 meter, berdiri di jalur hijau. Hal ini tidak sulit, yang merepotkon adalah mengecor lengannya (pier head).

Jika dengan cara konvensional, yang dilakukan adalah memasang besi penyangga (bekesting) di bawah bentangan lengan itu, tetapi bekesting itu akan menyumbat jalan raya di bawahnya. Cara lain adalah dengan bekesting gantung tetapi membutuhkan biaya lebih mahal.

Di tengah masalah itu, Ir. Tjokorda Raka Sukawati mengajukan gagasan dengan membangun tiangnya dulu dan kemudian mengecor lengannya dalam posisi sejajar dengan jalur hijau, setelah itu diputar membentuk bahu. Hanya saja kendalanya adalah bagaimana cara memutarnya karena lengan itu nantinya seberat 480 ton.

Terinspirasi Dongkrak Hidrolik

Ketika Tjokorda memperbaiki kendaraannya, hidung mobil Mercedes buatan 1974-nya diangkat dengan dongkrak sehingga dua roda belakang bertumpu di lantai yang licin karena ceceran tumpahan oli secara tidak sengaja. Begitu mobil itu tersentuh, badan mobil berputar dengan sumbu batang dongkrak.

Satu hal yang ia catat, dalam ilmu fisika dengan meniadakan gaya geseknya, benda seberat apa pun akan mudah digeser. Kejadian tadi memberikan inspirasi bahwa pompa hidrolik bisa dipakai untuk mengangkat benda berat dan bila bertumpu pada permukaan yang licin, benda tersebut mudah digeser. Bayangan Tjokorda adalah menggeser lengan beton seberat 480 ton itu.

Kemudian Tjokorda membuat percobaan dengan membuat silinder bergaris tengah 20 cm yang dibuat sebagai dongkrak hidrolik dan ditindih beban beton seberat 80 ton. Hasilnya bisa diangkat dan dapat berputar sedikit tetapi tidak bisa turun ketika dilepas. Ternyata dongkrak tersebut miring posisinya. Tjokorda kemudian menyempurnakannya. Posisinya ditentukan persis di titik berat lengan beton di atasnya.

Untuk membuat rancangan yang pas, dasar utama Hukum Pascal yang menyatakan: “Bila zat cair pada ruang tertutup diberikan tekanan, maka tekanan akan diteruskan segala arah”. Zat cair yang digunakan adalah minyak oli (minyak pelumas).

Bila tekanan P dimasukkan dalam ruang seluas A, maka akan menimbulkan gaya (F) sebesar P dikalikan A. Rumus itu digabungkan dengan beberapa parameter dan memberikan nama Rumus Sukawati, sesuai namanya. Rumus ini orisinil idenya karena sampai saat itu belum ada buku yang membahasnya sebab memang tidak ada kebutuhannya.

Masalah lain yang muncul ada variabelnya yang mempengaruhinya, di antaranya adalah jenis minyak yang digunakan yang tidak boleh rusak kekentalannya (viskositas). Urusan minyak menjadi hal yang krusial karena minyak inilah yang meneruskan tekanan untuk mengangkat beton yang berat itu.

  1. Bangun tiang jalan.
  2. Lengan beton jalan dibangun di antara dua jalur jalan, sejajar dengan jalanan yang padat di bawahnya.
  3. Lengan beton jalan diputar 90 derajat. Jalan layang pun kemudian dibangun di atas lengan ini.

Setelah semua selesai, Tjokorda mengerjakan rancangan finalnya yakni sebuah landasan putar untuk lengan beton yang dinamai Landasan Putar Bebas Hambatan (LBPH). Bentuknya dua piringan (cakram) besi bergaris tengah 80 cm yang saling menangkup. Meski tebalnya 5 cm, piring dari besi cor FCD-50 itu mampu menahan beban 625 ton.

Ke dalam ruang di antara kedua piringan itu dipompakan minyak oli. Sebuah seal (penutup) karet menyekat rongga di antara tepian piring besi itu untuk menjaga minyak tak terdorong keluar, meski dalam tekanan tinggi. Lewat pipa kecil, minyak dalam tangkupan piring itu dihubungkan dengan sebuah pompoa hidrolik. Sistem hidrolik itu mampu mengangkat beban beban ketika diberikan tekanan 78 kg/cm2. Angka ini sebenarnya angka misteri bagi Tjokorda saat itu.

Secara teknik penemuan itu belum diuji coba karena waktu yang terbatas, namun ia yakin temuannya itu bisa bekerja. Tjokorda bahkan berani bertanggungjawab bila lengan beton jalan layang itu tidak bisa berputar.

Pada tanggal 27 Juli 1988 pukul 10 malam waktu setempat (Jakarta), pompa hidrolik dioperasikan hingga titik tekan 78 kg/cm2. Lengan pier head itu, meskipun bekesting-nya telah dilepas, mengambang di atas atap pier shaft lalu dengan dorongan ringan sedikit saja, lengan beton raksasa itu berputar 90 derajat.

Ketika pier shaft itu sudah dalam posisi sempurna, secara perlahan minyak dipompa keluar dan lengan beton itumerapat ke tiangnya. Sistem LPBH itu dimatikan sehingga perlu alat berat untuk menggesernya. Namun demikian karena khawatir kontruksi itu bergeser, Tjokorda memancang delapan batang besi berdiameter 3,6 cm untuk memaku pier head ke pier shaft lewat lubang yang telah disiapkan. Kemudian satu demi satu alat LBPH itu diterapkan pada kontruksi beton lengan jembatan layang yang lain.

Penamaan Sosrobahu dan Pemberian Paten

Pada pemasangan ke-85, awal November 1989, Presiden Soeharto ikut menyaksikannya dan memberi nama teknologi itu Sosrobahu yang diambil dari nama tokoh cerita sisipan Mahabharata. Sejak itu LBPH tersebut dikenal sebagai Teknologi Sosrobahu.

Temuan Tjokorda digunakan insinyur Amerika Serikat dalam membangun jembatan di Seattle. Mereka bahkan patuh pada tekanan minyak 78 kg/cm2 yang menurut Tjokorda adalah misteri ketika menemukan alat LBPH Sosrobahu itu. Tjokorda kemudian membangun laboratorium sendiri dan melakukan penelitian dan hasilnya berupa perhitungan susulan dengan angka teknis tekanan 78,05 kg/cm2, nyaris persis sama dengan angka wangsit yang diperolehnya sebelum itu.

Hak paten yang diterima adalah dari pemerintah Jepang, Malaysia, Filipina. Dari Indonesia, Dirjen Hak Cipta Paten dan Merek mengeluarkan patennya pada tahun 1995 sedangkan Jepang memberinya pada tahun 1992. Saat ini teknologi Sosrobahu sudah diekspor ke Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura.

Salah satu jalan layang terpanjang di Metro Manila, yakni ruas Vilamore-Bicutan adalah buah karya teknik ciptaan Tjokorda. Di Filipina teknologi Sosrobahu diterapkan untuk 298 tiang jalan. Sedangkan di Kuala Lumpur sebanyak 135. Saat teknologi Sosrobahu diterapkan di Filipina, Presiden Filipina Fidel Ramos berujar, “Inilah temuan Indonesia, sekaligus buah ciptaan putra ASEAN”. Sementara Korea Selatan masih bersikeras ingin membeli hak patennya.

Teknologi Sosrobahu ini dikembangkan menjadi versi ke-2. Bila pada versi pertama memakai angker (jangkar) baja yang disusupkan ke beton, versi keduanya hanya memasang kupingan yang berlubang di tengah. Lebih sederhana dan bahkan hanya memerlukan waktu kurang lebih 45 menit dibandingkan dengan yang pertama membutuhkan waktu dua hari. Dalam hitungan eksak, konstruksi Sosrobahu akan bertahan hingga 100 tahun (1 abad).

Menurut Dr. Drajat Hoedajanto pakar strktur dari Institut Teknologi Bandung, Sosrobahu pada dasarnya hanya metode sangat sederhana untuk pelaksanaannya (memutar bahu lengan beton jalan layang). Sistem ini cocok dipakai pada elevated toll road (jalan tol layang dalam kota) yang biasanya mengalami kendala lalu lintas dibawahnya yang pada. Sosrobahu terbukti bermanfaat dalam proses pembangunan jalan layang, sangat aplikatif, teruji baik teknis dan ekonomis.

Teknik Sosrobahu merupakan teknik konstruksi yang digunakan terutama untuk memutar bahu lengan beton jalan layang dan ditemukan oleh Tjokorda Raka Sukawati. Dengan teknik ini, lengan jalan layang diletakkan sejajar dengan jalan di bawahnya, dan kemudian diputar 90° sehingga pembangunannya tidak mengganggu arus lalu lintas di jalanan di bawahnya.

Teknik ini dianggap sangat membantu dalam membuat jalan layang di kota-kota besar yang jelas memiliki kendala yakni terbatasnya ruang kota yang diberikan, terutama saat pengerjaan konstruksi serta kegiatan pembangunan infrastrukturnya tidak boleh mengganggu kegiatan masyarakat kota khususnya arus lalu-lintas dan kendaraan yang tidak mungkin dihentikan hanya karena alasan pembangunan jalan. (eko)

Editor Ady Indra Pawennari

Loading...