Keadilan dalam Perkara Pidana

Loading...

Muhammad Ahsan Thamrin (*)
Praktisi Hukum

TUJUAN dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan karena Tuhan Yang Maha Kuasa memerintahkan manusia untuk menegakkan keadilan (QS. An Nisa ayat 28).

Keadilan menuntut untuk menghukum kejahatan yang setimpal dengan perbuatannya. Dan, melindungi mereka yang tidak bersalah atau melindungi mereka yang tertindas yang hak-hak mereka dilanggar.

Institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan advokat, adalah tempat sebuah harapan yang bernama keadilan digantungkan.

Pelayanan yang dituntut dan dibutuhkan oleh masyarakat dari penegak hukum adalah keadilan. keadilan ini, adalah memberikan tempat kepada kebenaran dimana yang benar itulah yang dimenangkan.

Sila ke-5 pancasila mengamanatkan untuk menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tanpa keadilan yang ada hanya kezaliman. Ketika rakyat melaporkan adanya kejahatan kepada penegak hukum dan kemudian diproses dan pelakunya ditangkap. Maka, rakyat mendapatkan keadilan.

Namun ketika pelaku utamanya dibiarkan dan justru pihak yang tidak bersalah yang dihukum. Maka, yang terjadi adalah kezaliman. Kezaliman adalah lawan dari keadilan.

Kezaliman adalah merampas hak orang akan keadilan. Kezaliman juga berarti tidak menggunakan hukum pidana dengan cara emosional, yaitu memaksa menghukum atau memidana perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya.

Keadilan akan dipertanyakan oleh masyarakat, ketika penegak hukum menghukum kejahatan yang sama dengan disparitas yang mencolok.

Memang dalam perkara yang sama ada banyak faktor yang menyebabkan penjatuhan pidana kepada seseorang bisa berbeda satu sama lain. Karena pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan seseorang.

Namun persoalannya menjadi lain ketika kejahatan ringan dihukum lebih berat dari pada kejahatan berat. Kecenderungan masyarakat kita akan menilai negatif  penegak hukum yang menuntut atau menghukum kejahatan ringan dengan pidana penjara 2 tahun.

Sementara pelaku penganiayaan berat justru hanya dituntut atau dihukum 1 tahun penjara. Masalah penjatuhan pidana inilah yang sering menjadi sorotan masyarakat dalam penegakan hukum kita.

Karena mengenai berapa hukuman yang diberikan sangat ditentukan oleh faktor subjektivitas dari penegak hukum itu sendiri.

Mewujudkan keadilan, adalah pergulatan hati nurani seorang penegak hukum. Keadilan hanya bisa diwujudkan oleh seorang penegak hukum yang memiliki hikmah dan kebijaksanaan, dalam menyelesaikan kasus atau perselisihan yang dihadapkan kepadanya.

Ini tidak akan diperoleh oleh seorang penegak hukum, kecuali dia memiliki dua kemampuan pengetahuan.

Pertama, pengetahuan eksternal melalui penguasaan atas sumber-sumber hukum. Seperti undang-undang, doktrin, yurisprudensi dan pengetahuan hukum lainnya yang dipelajari melalui perangkat panca indera berupa penglihatan dan pendengaran.

Kedua pengetahuan internal berupa intuisi atau ilham yang berpusat pada hati nurani untuk menilai dan memutuskan suatu kebenaran. Hati nurani bisa melihat kebenaran  yang tidak bisa dilihat oleh mata kepala (QS. Al Hajj ayat 46).

Seorang penegak hukum sulit menjadi penegak hukum yang baik, kalau tidak memiliki dua kemampuan tersebut, yaitu pemahaman dan pengetahuan hukum yang luas.

Sehingga dapat menerapkan peraturan hukum yang tepat terhadap perkara yang sedang dihadapinya dan hati nurani yang bekerja dengan baik.

Dalam pembuktian suatu perkara, untuk mencari kebenaran seorang penegak hukum harus memeriksa dan memperhatikan alat-alat bukti yang ada.

Kemudian, menilai apakah masing-masing konsisten dan tidak ada kontradiksi di dalamnya atau dalam versi KUHAP, apakah alat-alat bukti tersebut saling bersesuaian satu sama lain untuk menilai suatu kebenaran atau kebohongan?

Oleh karena itu tugas penegak hukum dalam pembuktian, adalah menghubungan titik-titik kebenaran itu menjadi sebuah rangkaian cerita yang saling terhubung satu sama lain. Sehingga mengarah kepada sebuah kesimpulan.

Ciri dari kebenaran, adalah tidak ada kontradiksi di dalamnya. Dia selalu konsisten. Sedangkan kebohongan, selalu tidak konsisten dan penuh kontradiksi di dalamnya.

Menegakkan Keadilan dalam Perkara Pidana Adalah Mencari Kebenaran Materil

Dalam perkara pidana, orang yang dijadikan terdakwa di pengadilan seharusnya, adalah orang yang 99 persen adalah pelaku kejahatan yang sudah pasti bersalah. Kenapa?

Karena, tidak mungkin orang yang bukan pelaku kejahatan dituntut di muka pengadilan. Namun demikian, penegak hukum tetap memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran materiil.

Dan, bukan semata-mata menuntut berapa hukuman yang pantas untuk diberikan kepada terdakwa. Mencari Kebenaran materil ini salah satunya, adalah mengungkap motif dari pelaku dalam melakukan kejahatan.

Mengapa motif harus diungkap ? karena nilai perbuatan terletak pada motifnya (niat).

Setiap tindakan manusia secara psikologi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu motif, bentuk dan akibat dari perbuatan itu sendiri.

Namun motif bisa dengan mudah berbeda. Misalnya, si “A” mengendarai mobil dan menabrak seseorang yang sedang lewat dan orang itu meninggal.

Si “B” juga sedang mengendarai mobil dan menabrak seseorang, dan orang ini juga meninggal. Bentuk perbuatan dan dampak yang dihasilkan dari kedua tindakan tersebut adalah sama, tapi bagaimana dengan motifnya?

Motif si “A” mungkin bukan untuk membunuh orang itu, dan itu hanyalah kecelakaan yang tidak disengaja.

Sedangkan motif si “B” mungkin sengaja untuk membunuh orang itu sedemikian rupa.

Namun, agar dia tidak ketahuan dan bebas dari hukuman pembunuhan dia menggunakan modus seolah-olah, adalah kecelakaan lalu lintas biasa yang ancaman pidananya jauh lebih ringan dari pembunuhan.

Motifnya berbeda. Manusia diadili berdasarkan motif atau niat itu. Nabi SAW bersabda, “Sesunguhnya setiap perbuatan tergantung pada motif atau niatnya dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan.” (HR. Bukhari-Muslim).

Jadi motif atau niatlah yang dimintai pertanggungjawaban. Motiflah yang akan menentukan berat ringannya hukuman yang akan diberikan.

Penegak hukum tentunya memberikan hukuman yang berbeda kepada pencuri yang terpaksa mencuri. Karena tidak ada lagi beras di rumahnya untuk dimakan anaknya dengan pencuri yang memang menjadi kebiasaan atau pekerjaannya.

Mengapa Penegak Hukum Sering Berbesa dalam Menilai Suatu Perkara

Dalam banyak praktek peradilan khususnya dalam perkara korupsi, sering seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik. Namun, kemudian ketika disidangkan di pengadilan justru di bebaskan oleh hakim.

Mengapa bisa terjadi cara pandang yang berbeda antara penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menilai suatu perkara.

Atau kenapa rasa keadilan mereka bisa berbeda dalam menilai suatu perkara padahal alat bukti yang diperiksa adalah sama ?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan beberapa kemungkinan.

Pertama, selama proses persidangan terungkap, ternyata banyak fakta yang tidak diungkap secara utuh selama proses penyidikan.

Sehingga salah dalam menerapkan hukumnya. Proses persidangan adalah menggali seluruh fakta-fakta untuk mencari kebenaran materil. 

Ketika fakta digali secara utuh, maka akan terungkap perbuatan apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dan siapa saja yang seharusnya bertanggung jawab.

Karena fakta tidak diungkap secara lengkap, maka terjadi kesalahan dalam pengambilan kesimpulan mengenai siapa yang sebenarnya pihak yang paling bertanggung jawab.

Dalam kasus seperti ini bisa jadi terdakwa bukanlah pihak yang seharusnya dimintai pertanggung jawaban. Atau boleh jadi perbuatannya bukanlah suatu tindak pidana melainkan perbuatan perdata atau kesalahan administrasi. Sehingga atas dasar tersebut terdakwa dibebaskan.

Kedua, alat bukti yang diajukan kurang menyakinkan hakim untuk menyatakan seseorang bersalah. Penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah berpedoman kepada minimal dua alat bukti.

Sedangkan Hakim ditambah dengan keyakinannya (Pasal 183 KUHAP). Apabila Hakim tidak yakin dengan kesalahan seseorang atau terdapat keragu-raguan perihal kesalahan terdakwa.

Maka, hakim akan membebaskannya. adagium yang dipegang adalah “lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Prinsipnya, adalah jangan melakukan kezaliman dalam menghukum seseorang yang tidak pasti kesalahannya. Kesalahan yang dimaksud disini adalah tidak ada unsur kesengajaan (dolus) yang dilakukan oleh terdakwa

Ketiga ada faktor subjektif untuk membebaskan atau menghukum seorang terdakwa. Motifnya bisa macam-macam, ada karena intervensi atau tekanan dari kekuasaan.

Atau, boleh jadi karena penegak hukumnya tergoda dengan uang. Uang dapat mempengaruhi proses penyidikan, proses penuntutan dan putusan yang dijatuhkan. Sehingga, uanglah yang akhirnya membuat keadilan menjadi ketidakadilan.

Sejak lama, hukum sudah sakit di negeri ini. Hukum telah berkongsi dengan uang dan kekuasaan. Sehingga banyak menimbulkan kecurigaan.

Kasus Djoko Tjandra yang mencuat baru-baru ini yang bisa bebas masuk ke Indonesia. Padahal, dalam status buron sungguh sangat memalukan. Karena melibatkan petinggi penegak hukum di dalamnya.

Lemahnya penegakan hukum yang menjadi sorotan publik selama ini, adalah karena sebagian penegak hukum tidak mampu mempertahankan integritasnya.

Sehingga walaupun penegak hukum telah banyak bekerja keras dengan menangkap dan memenjarakan banyak koruptor. Tapi tetap saja belum berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Padahal aset terpenting dari penegak hukum, adalah kepercayaan (publik trust). Kalau ini hilang maka apapun yang dilakukan oleh penegak hukum tidak akan memperoleh simpati.

Rakyat menginginkan penegak hukum bekerja untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Hal itu hanya bisa dijalankan oleh penegak hukum yang profesional dan menggunakan hati nuraninya dalam bekerja.

Pemerintah memang sudah banyak melakukan langkah-langkah, agar aparat penegak hukum kita lebih profesional, berintegritas, dan bermoral.

Diantaranya dengan menaikkan gaji dan tunjangan penegak hukum. Agar lebih sejahtera dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Memperbaiki sistem perekrutan dan promosi aparat penegak hukum, memberikan pendidikan dan pelatihan, serta membentuk lembaga-lembaga pengawasan yang independen.

Seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Kompolnas. Namun meskipun demikian semua akhirnya berpulang kepada manusianya.

Manusia adalah kunci dalam penegakan hukum. Betapapun banyaknya undang-undang yang dibuat, sarana dan prasarana dibenahi dan dibangun. Tapi penegak hukumnya memiliki iman yang lemah dan  tidak takut kepada Tuhan.

Maka, sulit mengharapkan hukum ditegakkan dengan penuh martabat. Ini sejalan dengan ungkapan Taverne, “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik. Niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa Undang-undang (UU)”.

Pernyataan Taverne memperlihatkan, bahwa dalam penegakan hukum bukan UU yang menentukan. Melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya.

Penerapan Fungsi Ajudikasi Jaksa Demi Memberikan Rasa Keadilan kepada Masyarakat

Ketika kasus-kasus seperti pencurian satu buah semangka, kasus pencurian kapuk randu, kasus penebangan dua batang bambu di Magelang, dan kasus pencurian sandal jepit mencuat dan menjadi perhatian masyarakat, banyak tudingan miring yang diarahkan kepada penegak hukum.

Yang dianggap tidak menggunakan hati nurani dalam penanganan perkara. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus ringan. Yang seharusnya tidak perlu ditindaklanjuti dengan sanksi pidana. Karena sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.

Namun penegak hukum tidak bisa juga disalahkan. Karena tidak ada alasan yuridis formal dalam undang-undang yang menjadi landasan dalam menghentikan perkara seperti diatas yang unsur-unsur tindak pidananya sudah terpenuhi.

Sehingga, penegak hukum walaupun menjadi sangat dilematis tetap harus melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan demi kepastian hukum .

Memang harus diakui tidak banyak penegak hukum yang berani bertindak melakukan sesuatu dalam kondisi tertentu yang tidak ada landasan hukumnya.

Namun tentunya penegak hukum juga bukan mesin undang-undang tapi manusia yang memiliki Jiwa. Meminjam istilah Prof. Satjipto Rahardjo hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum.

Menurutnya undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat mungkin dapat ditidurkan (statutory dormancy). Atau dikesampingkan (desuetudo) demi kemaslahatan masyarakat dan negara.

Jaksa Selaku Penuntut Umum

Jadi apakah yang harus dilakukan ketika jaksa, misalnya dihadapkan pada kasus-kasus ringan seperti tersebut di atas? Jaksa dapat menggunakan wewenang diskresinya. Apa itu ?

Jaksa selaku Penuntut Umum secara de facto maupun de jure sebenarnya menjalankan fungsi hakim dalam wujud ajudikasi jaksa, yaitu memiliki wewenang untuk menilai apakah suatu perkara layak dituntut atau tidak ke pengadilan.

Jaksa selaku Penuntut umum memiliki peran yang sangat sentral dalam penegakan hukum. Karena jaksa diberikan wewenang pengawasan penyidikan dan wewenang memberikan arah penyidikan.

Pasal 31 dan 39 KUHAP, menyebutkan jaksa meneliti kembali layak atau tidaknya perkara itu dilimpahkan ke pengadilan. Apabila dianggap tidak layak atau perkara kecil, maka perkara dapat ditolak untuk tidak melanjutkan ke pengadilan.

Penyidikan merupakan awal penuntutan, dan akhir persidangan, keberhasilan penyidikan harus dipertanggungjawabkan oleh jaksa baik kepada atasannya maupun kepada masyarakat.

Di sinilah hati nurani dan rasa keadilan jaksa bekerja, untuk menilai apakah perkara tertentu layak diserahkan ke pengadilan atau tidak untuk dilakukan penuntutan?

Ketika jaksa menganggap bahwa kasus kecil itu tidak layak untuk dituntut, maka Jmhaksa seharusnya memberikan petunjuk.

Agar, perkara tersebut tidak perlu dilakukan penuntutan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan sosiologis.

Dalam hal ini, jaksa tidak memberikan petunjuk kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP, yaitu karena tidak terdapat cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau karena perkara ditutup demi hukum.

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 sampai dengan pasal 85 yang mengatur tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana.

Tetapi haksa dalam hal ini berdasarkan penggunaan wewenang diskresinya menganggap kasus tersebut tidak perlu diteruskan ke pengadilan.

Karena berbagai faktor diantaranya mencederai rasa keadilan masyarakat, nilai kerugiannya sangat kecil atau para pihak telah berdamai.

Jadi yang diutamakan adalah asas keadilan dan kemanfaatannya bagi masyarakat dan negara. Penggunaan wewenang diskresi jaksa tersebut tentunya juga sejalan dengan Doktrin Tri Krama Adhyaksa, yang menjadi landasan jiwa setiap warga Adhyaksa yaitu wicaksana (bijaksana) dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.

Jadi, ke depan tidak semua perkara pidana harus diselesaikan melalui pengadilan, dan tidak semua pelaku kejahatan harus dipenjara.

Kalau para pihak bisa berdamai, dan pelaku telah mengembalikan kerugian yang diderita korban, maka perkara tidak perlu dilanjutkan lagi.

Sejak dulu, penegak hukum diajarkan bahwa tujuan penegakan hukum dalam perkara pidana yang diutamakan, adalah keadilan.  Setelah itu, baru kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian. *** 

Loading...