Labilitas Menjadi Hambatan dalam Implementasi Kebijakan

Loading...

Dikutip dari salah satu jurnal, Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 195) menjelaskan bahwa Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Esensi utama dari implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan. Pemahaman tersebut mencakup usaha untuk mengadministrasikannya dan menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Dalam rangka menyikapi permasalahan di masyarakat, pemerintah sebagai pelayan publik diamanahkan tugas untuk menyelesaikannya melalui kebijakan.

Ekspektasi yang mengalir di benak publik tentunya realisasi dari kerja pemerintah dapat menghasilkan kinerja yang solutif dan progresif atas permasalahan yang terjadi.

Namun terkadang, tidak bisa dipungkiri ada ketidaksesuian antara permintaan, penawaran
dan pemberian dari suatu mekanisme penyelenggaraan negara. Maka dari itu, dibutuhkan sikap aktif dan partisipatif dari seluruh komponen dalam melaksanakan kebijakan sesuai dengan fungsi dan porsinya masing-masing baik secara individu maupun lembaga.

Siapapun pemerannya harus mengacu pada ketentuan yang berlaku, agar potensi penyimpangan dapat diminimalisir dan tujuan sebuah kebijakan dapat dicapai secara optimal.

Peran masyarakat sebagai spionase kebijakan Pemerintah sangat penting, karena tanpa masyarakat dalam mengontrol kebijakan maka penguasa dapat bertindak sekenanya.

Namun labilitas kekuasaan dalam memutuskan sebuah kebijakan turut membingungkan masyarakat.

Memang miris ketika menunggu berhari-hari kebijakan dari penguasa, namun kebijakan yang keluar tidak mampu memberikan solusi bahkan terkesan apadanya, ditambah pula kejutan dimana keesokan harinya kebijakan tersebut dicabut.

Ketika dikritik dikira tidak mematuhi, ketika mematuhi dinilai kurang maksimal. Padahal bangsa yang baik adalah bangsa yang terbuka dengan kritik dan saran dari masyarakatnya.

Tapi pemerintah yang baik adalah Pemerintah yang memberikan kepastian kebijakan kepada masyarakatnya. Tentu, harapan yang ingin dicapai bersama ialah terbentuknya tatanan
masyarakat yang baik dan kebijakan Pemerintah yang baik pula.

Semua problematika itu bisa diatasi dengan secarik kertas kepastian, bukan sebatas ikhlas yang tidak pantas.

Proses implementasi kebijakan terkadang, akan berhadapan dengan situasi yang tidak terkonsepsi.

Untuk itu, para pelaksana atau kebijakan tersebut dipaksa untuk bersikap fleksibel dengan perilaku masyarakat yang dinamis. Misalnya, beberapa waktu ke belakang Indonesia dilanda wabah global berupa pandemi virus corona.

Hal ini direspon masyarakat dengan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang solutif. Pada akhirnya pemerintah melalui perangkat terkait, membuat dan melaksanakan kebijakan berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kebijakan ini memaksa masyarakat untuk membatasi aktivitas sosialnya dan bersabar menahan diri untuk tidak keluar rumah jika tidak ada hal penting. Contohnya, pembatasan aktivitas perbelanjaan di pasar dan penutupan beberapa pusat perbelanjaan lain.

Namun dalam proses implementasi kebijakan, masih terdapat masyarakat yang tidak mematuhi aturan PSBB dan Protokoler kesehatan yang dianjurkan.

Beberapa dari mereka justru kembali mengeluhkan masalah ekonomi. Padahal awalnya, mereka mengeluhkan masalah kesehatan untuk ditangani. Hal ini tentunya membuat bingung para pembuat kebijakan dalam menangani pandemi yang terjadi.

Akan tetapi, memang di satu sisi ini juga merupakan kekurangan dan catatan penting bagi pemerintah agar mampu membuat kebijakan yang solutif dan adaptif.

Maksudnya adalah bagaimana kebijakan pengananan kesehatan diiringi dengan kebijakan antisipasi krisis ekonomi yang menjadi efek samping dari pandemi dan pemberlakukan PSBB.

Kondisi demikian merupakan bentuk labilitas masyarakat. Maksudnya adalah kondisi masyarakat yang memiliki aspirasi dan perilaku yang berubah-ubah.

Kondisi tersebut terjadi karena situasi sosial yang mengalami perubahan akibat faktor lingkungan, kebijakan pemerintah dan kebijakan Tuhan.

Hari ini menginginkan kebijakan kesehatan, besok menginginkan kebijakan ekonomi. Dari sudut pandang politik, hal ini merupakan dinamisasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Namun dari perspektif kebijakan publik, ini merupakan hambatan dalam rangka optimalisasi implementasi kebijakan. Untuk itu masalah tersebut tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang dinamis dan
dilaksanakan secara fleksibel.

Jika tidak, kebijakan akan dibuat berulang kali, berubah -ubah bahkan hingga bertumpuk tumpuk. Pastinya akan menghabiskan energi dan anggaran yang besar pula. Dalam proses bernegara, ini bukanlah hal yang efektif dan efisien karena tidak mampu memberikan jaminan
perubahan dari kondisi abnormal pra kebijakan ke kondisi normal pasca kebijakan.

Oleh karena itu, dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan seharusnya diiringi dengan membangun kerjasama dan sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat. Karena tidak mungkin implementasi kebijakan dapat berjalan optimal jika tanpa kerjasama dari masyarakat selaku subyek atau pelaku di dalam kebijakan.

Kebijakan yang hadir dari aspirasi masyarakat, lalu diwadahi dan diproses oleh pemerintah lalu melahirkan kebijakan dan di peruntukkan kembali kepada masyarakat. Sirkulasi kebijakan berupa input, proses, output dan outcome harus dilaksanakan secara inklusif agar bisa
menghasilkan kebijakan yang solutif. Baik itu bagi pemerintah maupun bagi masyarakat, mulai dari bagian tengah hingga bagian paling tepi. ***

Penulis Muslim Hamdi

Loading...