Revisi UU KPK, Menguatkan atau Melemahkan?

Loading...

Akhir-akhir ini wacana revisi UU KPK semakin kuat. Mayoritas fraksi yang ada di DPR sudah menyetujui, untuk melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Niat DPR untuk melakukan revisi UU KPK dicurigai terutama oleh aktivis anti korupsi sebagai upaya untuk memperlemah KPK. Namun, pandangan tersebut dibantah oleh DPR bahwa upaya revisi UU KPK justru, adalah upaya untuk memperkuat KPK ke depan.

Ada empat poin sorotan dalam revisi tersebut, antara lain; pembentukan Dewan Pengawas KPK, kewenangan KPK dalam mengeluarkan SP3, kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan umum; dan pengaturan penyadapan yang dilakukan KPK.

Pimpinan KPK yang didukung terutama oleh LSM antikorupsi mencurigai, bahwa mekanisme penyadapan yang diharuskan melapor kepada Dewan Pengawas, akan membuat mandul KPK dalam menangkap koruptor.

Mayoritas perkara korupsi yang melibatkan pejabat penting yang ditangani KPK, adalah operasi tangkap tangan hasil penyadapan. Sementara itu, terkait dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengeluarkan SP3, akan membuka ruang terjadinya transaksi oleh koruptor untuk mendapatkan SP3.

Kita sebenarnya tidak perlu apriori terlebih dahulu, sebelum melihat apa yang melatari munculnya pemikiran untuk melakukan revisi terhadap Undang-undang KPK yaitu :
Pertama , perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan, yaitu terkait dengan adanya pemberian wewenang kepada KPK untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi adalah sudah sesuai dengan KUHAP.

Adanya ketentuan KPK tidak boleh mengeluarkan SP3 justru bertentangan dengan hukum. Bagaimana ketika seseorang sudah ditetapkan tersangka (TSK), lalu sakit atau meninggal dunia, maka tentunya perkaranya harus dihentikan dan mekanismenya adalah SP3, tidak mungkin dia dicap terus sebagai tersangka.

Kemudian, bagaimana nasib sejumlah orang yang menyandang status tersangka selama bertahun-tahun namun tak jelas status hukumnya, karena alat buktinya belum cukup untuk disidangkan.

Kedua, perlu ada Kontrol terhadap KPK, karena ada adagium bahwa kekuasaan yang tidak terkontrol cenderung menyimpang. orang-orang yang didalam KPK bukanlah malaikat, mereka juga manusia biasa yang punya peluang untuk menyimpang, penyidik dan penuntut umumnya juga dari Polisi dan Jaksa. Jadi perlu dikontrol.

Tanpa pengawasan yang efektif, KPK sangat rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). misalnya dengan tidak mengungkap kasus tertentu, tidak menetapkan seseorang menjadi tersangka padahal ada alasan kuat untuk itu, atau mendistorsi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan kasus korupsi tertentu.

Karena itulah, Dewan Pengawas perlu dibentuk dan dirancang untuk mencegah dan mengatasi segala bentuk penyimpangan itu. Hanya saja untuk menjaga independensi KPK, Dewan Pengawas tidak diberi berwenang untuk mengintervensi proses penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh KPK.

Saya tidak sependapat apabila fungsi penyadapan KPK dihapus, karena bagaimanapun juga banyak kasus-kasus besar yang hanya bisa terungkap melalui penyadapan, namun saya juga tidak sependapat dengan anggapan yang menilai jika aturan penyadapan KPK diatur dengan terlebih dahulu harus ada ijin, maka fungsi KPK akan habis.

Pemikiran ini cenderung hanya melihat KPK dalam fungsi penindakan saja. Padahal Kita harus melihat kebelakang apa yang menjadi latar belakang lahirnya KPK.

Pendirian KPK tidak lain karena institusi penegak hukum yang lain, Kepolisian dan Kejaksaan tidak mendapatkan kepercayaan dan legitimasi yang kuat dalam menangani kasus korupsi karena dihadapkan pada problem internal yaitu mewujudkan kelembagaan yang bersih.

Sebagai jalan keluar dibentuklah KPK yang independen dan memiliki mandat yang sangat besar. Prof. Dr. Romli Atmasasmita pernah mengatakan, tidak ada satupun penegak hukum di dunia, yang memiliki kewenangan sebesar KPK, yaitu penyelidik, penyidik maupun penuntut umum sekaligus.

Di negara-negara lain seperti Hongkong, Ausralia, singapura, Malaysia, Filphina dan Thailand kewenangan KPKnya hanyalah melakukan penyidikan, sedangkan wewenang Penuntutan tetap berada pada Kejaksaan, sedangkan kewenangan penyadapan di negara tersebut harus seizin Pengadilan Negeri.

KPK didesain untuk melakukan pemberantasan korupsi yang sudah dianggap sebagai extra ordinary crime, kejahatan yang luar biasa karena sifatnya sudah sistemik.

Pendekatan sistemik ini sulit dilakukan oleh institusi penegak hukum konvensional seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Pendekatan sistemik inilah yang lebih efektif dalam pemberantasan korupsi. Pendekatan sistemik lebih mengutamakan fungsi pencegahan dan edukasi, daripada penindakan dalam pemberantasan korupsi.

Kejaksaan dan Kepolisian sulit untuk melakukan fungsi pencegahan, hal ini disebabkan karena sumber daya, energi dan prioritas kedua institusi ini terpecah dan terbagi-bagi tidak hanya mengatasi korupsi, namun juga memberantas kejahatan serius lainnya seperti terorisme, narkotika dan kejahatan konvensional lainnya.

Untuk itu dibutuhkan lembaga yang memiliki sumber daya, strategi, dan keahlian institusi yang khusus focus pada satu jenis kejahatan yaitu korupsi.

Dalam konteks inilah fungsi KPK yang lain yaitu mencegah terjadinya korupsi haruslah diprioritaskan, karena apa ? karena korupsi di Indonesia adalah persoalan sistemik yang berakar sebagai warisan dari perjalanan bangsa ini selama ratusan tahun selama jaman kerajaan, kolonialisme dan otoritarianisme.

Di Hongkong, untuk memerangi korupsi yang sudah sistematis dibentuk komisi independen melawan korupsi yaitu ICAC – independent commission against corruption.

Langkah penting dalam memerangi korupsi sistematis adalah menangkap dan membawa koruptor kakap ke Pengadilan. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat kepada Pemerintah bahwa tidak ada orang yang kebal hukum.

ICAC memiliki kekuasaan yang besar yaitu wewenang menyelidiki, namun focus penekanan tetap pada pencegahan dan partisipasi warga. Departemen pencegahan korupsi bertugas meneliti praktek dan prosedur dalam instansi pemerintah menyangkut pelayanan masyarakat.

Melakukan pemeriksaan yang teliti dan analisis system, metode, pendekatan dengan tujuan untuk menghilangkan sistem yang membuka ruang untuk korupsi.

Jika ada instansi yang tidak bersedia bekerja sama dengan icac atau setelah dilakukan analisis atas fungsi-fungsi masing-masing bidang pemerintahan, namun perubahan yang disarankan tidak dilaksanakan maka ada ancaman sanksi berupa teguran yang keras (dari Gubernur), disiarkan dalam media massa, dan ditindak tegas.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari pencegahan yang dilakukan oleh KPK Hongkong adalah mencegah korupsi dilakukan dengan memperbaiki administrasi pemerintahan dengan menutup ruang sekecil mungkin terjadinya penyimpangan itu, karena sistem yang longgar membuka kesempatan adanya penyimpangan dan dimana ada kesempatan biasanya niat muncul.

Sebenarnya KPK Indonesia bisa meniru cara ini dengan melakukan kajian mendalam terhadap institusi pemerintah yang rawan terjadinya penyimpangan. Hasil kajian ini kemudian dipublikasikan dan harus dilaksanakan, kalau tidak maka ada ancaman sanksi, misalnya dari Presiden. Jadi harus ada dukungan yang kuat dari Pemerintah.

KPK diakui telah menjadi ikon pemberantasan korupsi di mata masyarakat melebihi POLRI dan Kejaksaan. Terlebih lagi di kalangan LSM anti korupsi, sehingga setiap ada upaya untuk menyentuh KPK apakah itu melalui revisi UU ataupun kritik selalu dianggap corruptors fight back atau pelemahan KPK, sehingga terkesan KPK tidak boleh dipersalahkan atau dikritik.

Bahkan, ada kesan orang yang menyetujui revisi atau mengkritik KPK ditempatkan sebagai tokoh antagonis, mereka dihujat oleh LSM, dan ditulis negatif di koran sebagai tidak mendukung pemberantasan korupsi (KPK), tapi saya memilih berprasangka baik bahwa orang yang pro revisi UU KPK atau mengkritik KPK boleh jadi juga mencintai negara ini. (*)

Penulis: Muhammad Ahsan Thamrin (Praktisi Hukum)

Loading...