Gara-Gara Ingin Makan Daging, Anak Kampung ini Raih Sukses

Loading...

Belasan tahun lalu, di sebuah desa di Provinsi Jambi, sebuah keluarga miskin senantiasa terbelit kesusahan. Untuk makan, untuk sekolah dan kebutuhan lainnya. Salah satu anak dalam keluarga ini, Suryadi, merasa bosan karena setiap hari, sejak kecil hingga usia seumuran kelas lima SD lauk makannya selalu ikan panggang. Bukan panggang buatan rumah makan, melainkan ikan hasil tangkapan sendiri di sungai, lalu dipanggang di api. Ikan panggang bau minyak tanah sudah menjadi biasa.

“Saat saya merantau, tekad saya hanya ingin merasakan bagaimana rasanya menikmati daging ayam satu ekor tanpa diganggu orang lain,” begitulah pengakuan Suryadi kepadaku. Kalimat itu sudah beberapa kali aku dengar, paling tidak selama hampir tujuh tahun berteman. Saat tiba-tiba topik pembicaraan menyentuh masa lalunya, tak lupa ia menjadikan kalmat tersebut sebagai pengingat. Kalau benda, mungkin sudah dimonumenkan.

Siapa Suryadi yang sekarang? Ia adalah lelaki yang secara materi berkecukupan. Dalam waktu empat tahun sejak merantau ke Pulau Bintan, Allah memberinya rezeki yang tak semua orang bisa mendapatkannya. Jika rumahnya di kampung menurut pengakuannya akan memancarkan sinar lampu minyak karena dindingnya berlobang, saat ini untuk membeli rumah yang mahal pun tak lagi masalah. Jika dahulu hanya bisa menyaksikan mobil lalulalang di kota, sekarang ia bisa berganti-ganti mobil. Beragam usaha pun dijalani dan dicobanya. Namun, di antara sekian banyak usaha, yang mengantarnya menjadi seperti sekarang adalah pecel lele dan ayam penyet.

Kini ia memiliki dua ruko. Satu di dekat Pamedan, dibuat rumah makan dengan nama Gusti Mantap. satunya di Simpang Dompak, di depan (seberang) Morning Bakery yang dibuatnya Kedai Kopi Setia Kawan. Sejumlah lahan juga menjadi harga tak bergeraknya. Jika zaman dahulu Suryadi mungkin tak pernah ke bank untuk menabung, sekarang hubungan bisnisnya sudah terbiasa melalui jasa bank. Relasi pun semakin bertambah dan beragam kelasnya. Hingga pernah ditawari untuk menjadi anggota dewan entah dari partai apa.

Aku ingat waktu ia mengatakan hal itu, segera aku datangi ia di rumah makannya. Aku minta ia berpikir berkali-kali lipat untuk menerima tawaran orang-orang yang menginginkannya mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Dan saat ia akhirnya membatalkan keinginannya itu, aku bersyukur. Latar belakang pendidikannya yang rendah membuat Suryadi gampang terpesona peluang yang ditawarkan orang lain atau dilihat di sebuah tempat, kurang teliti membaca kontrak perjanjian dan tidak berpikir panjang.

Bukannya tanpa terjatuh dalam membangun kejayaannya. Suryadi beberapa kali ditipu orang. Namun ia ulet, mentalnya kuat, semangatnya selalu dijaga. Harapan dan semangatnya selalu menggelora. Ibarat pejuang pada masa kemerdekaan, begitu mendapatkan bambu runcing ia akan menggila. Maju terus pantang mundur.

“Bukan rakus, memang waktu itu bisa dikatakan makan daging ayam hanya saat lebaran,” Suryadi mengenang masa miskinnya.

Namun keinginannya menikmati lezatnya daging ayam itu butuh perjuangan dan air mata yang tertumpah ruah di perantauan. Setiba di Pulau Bintan, ia hanya diterima bekerja sebagai penjaga kandang di sebuah peternakan ayam di pelosok Kabupaten Bintan. Menghadapi cuaca dan beban kerjanya, saat belum enam bulan bekerja, ia jatuh sakit. Tak ada siapa-siapa, selain teman kerjanya yang kondisi keuangannya juga sama. Tak lagi ada duit, kecuali beras jatah untuk dimasak. Namun Suryadi tak ingin mengorbankan teman-temannya dan menjual beras jatah itu untuk membeli obat.

Ia berjuang, berdoa dan satu wajah yang diingatnya adalah mamaknya. Ia minta doa, menyebut nama mamaknya lalu bergetar lidahnya menyebut sang pencipta. Kesulitan di tempat kerja pertama berhasil dilewatinya. Namun ia tak mampu melanjutkan pekerjaannya di tempat itu. Ia pindah ke kota, Tanjungpinang.

Pekerjaan keduanya adalah tukang antar barang dengan becak di Jalan Pasar Ikan. Untuk tempat tinggalnya, ia menyewa satu kamar di sebuah wilayah di tanjungpinang. Saat mulai menikmati pekerjaannya, kembali Tuhan mengujinya dengan sakit. Dan saat ia sembuh, berniat kembali bekerja, becak yang dipakainya selama ini sudah disewakan kepada orang lain oleh pemiliknya.

Dalam kondisi seperti itu, suatu malam ia memandangi penjual kembang gula di Lapangan Pamedan. Malam itu ada keramaian. ia terpesona melihat jajanan itu disukai anak-anak. cara membuatnya pun tak sulit, pikirnya. Akhirnya ia memberanikan diri bertanya bolehkah belajar. Nasib baik, ia justru disuruh membeli peralatannya oleh si penjual. Suryadi mau saja. Tak lama kemudian resmilah ia menyandang pekerjaan sebagai penjual kembang gula. Gagahnya, punya kotak atau alat sendiri, punya sepeda sendiri. Rupanya keuntuangannya tak seperti yang dibayangkan.

Lalu peluang lain datang. Saat melintasi toko pakaian ia melihat tulian cuci gudang. Artinya dijual murah. Suryadi menemui pemilik toko dan bertanya bolehkah ia menjualkan pakaian-pakaian yang dicucigudangkan tadi ke pulau-pulau sekitar. Boleh, tetapi tidak boleh ngutang. Suryadi menjual sepedanya, menggantinya dengan sepeda motor butut. Uang hasil berjualan kembang gula dan tabungan sewaktu menjadi pengantar barang dibelikan pakaian murah dan kendaraan.

Barangnya habis di pulau-pulau. Suryadi senang bukan kepalang. Ia kembali membawa pakaian-pakaian dari toko yang cuci gudang. Di pulau, ia menjualnya dengan harga yang tak terlalu tinggi. Bahkan boleh dicicil beberapa kali. habis lagi. Uang jutaan mungkin bagi para toke sedikit, namun bagi seorang Suryadi sudah banyak sekali. Saat stok pakaian yang dijualnya habis, Suryadi tak sempat memikirkannya. yang ia tahu hanya menjual dan menjual.

Tuhan memang tak pernah salah menitipkan rezekinya. Masih di kawasan Pamedan, ada yang menawarkan gerobak ayam penyet kepadanya. Tanpa pikir panjang, tabungannya dikuras untuk membayar gerobak jualan tadi.

“Saya hanya bisa membuat es teh. Tetapi teman yang menjual gerobak menyarankan agar saya mengambil bekas karyawannya,” ujar Suryadi.

Benar saja, kemurahan Tuhan melalui lele penyet membuatnya nyaman. Batin nyaman, lahir ya ikut juga. Dompetnya tak lagi gepeng, kerempeng. Ada isinya. Dan diperkenalkanlah nama Gusti Mantap sebagai ikon rumah makannya. Menu andalannya Raja Lele. Sebelum mampu membeli ruko, debutnya sebagai penjual pecel lele adalah warung tenda di depan sebuah ruko dekat MAN Tanjungpinang. Sempat pindah beberapa kali karena beberapa hal. Selama menjalakan usahanya di kakilima inilah ia belajar mengerjakan menu-menunya, belajar dari bekas karyawan orang yang gerobaknya dibeli.

Suryadi menabung sedikit demi sedikit. Dan kesuksesan itu akhirnya dicapainya. Ia membagi kebahagiaan itu dengan saudara-saudaranya. Meski ada yang tak berhasil, paling tidak ia telah mencoba untuk tidak menikmati keberhasilannya sendiri. Mamak tercinta pun tetap menjadi motivatornya untuk terus bekerja.

Di antara sekian banyak peristiwa, yang paling menarik bagi Suryadi adalah kekuatan daging ayam. Ia pun meyakini, setiap hal bisa dijadikan pendorong seseorang untuk berusaha bagaimana meraihnya. “Ya karena saya saat itu tak pernah makan ayam, jadi ingin makan ayam. Mungkin anak-anak muda sekarang punya impian beli kapal pesiar, biar lebih keras bekerjanya,” tutur Suryadi.

Dari balik kemudi Honda Jazz, salah satu dari sekian mobil miliknya, Suryadi bercerita panjang lebar soal membakar semangat anak-anak muda di Tanjungpinang. Lalu ia mengajak mampir ke Kedai Kopi Setia Kawan, setelah sebelumnya menunaikan salat Ashar di Masjid Kampus Stisipol. Kutatap Suryadi yang sekarang, dan ia tersenyum. (bbw)

Loading...