Suarasiber.com (Jakarta) – Pakar Ekonomi Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, menegaskan bahwa Indonesia telah resmi mencapai swasembada beras. Produksi nasional diproyeksikan menembus 34,77 juta ton gabah kering giling (GKG) pada akhir 2025, jumlah yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan 286 juta penduduk.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto menutup total keran impor beras sejak Januari 2025 disebut bukan kebijakan sementara, melainkan langkah strategis yang kini terbukti mengguncang pasar beras dunia.
Indonesia Stop Impor, Stok Beras Global Melejit
Hilangnya Indonesia—yang selama dua dekade terakhir menjadi importir beras terbesar dunia—dari daftar pembeli internasional membuat stok global melesat ke level tertinggi dalam sejarah.
Laporan terbaru FAO dan USDA per November 2025 menunjukkan stok akhir musim 2025/2026 diperkirakan mencapai 185,1 juta ton, meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya meski terdapat koreksi minor akibat faktor cuaca.
Produksi beras dunia juga naik menjadi 556,4 juta ton (basis milled), ditopang panen besar dari India, Thailand, dan Vietnam.
Dengan pasokan berlimpah dan permintaan Indonesia turun menjadi nol, harga beras ekspor global anjlok tajam dari rata-rata US$620–650 per ton pada 2024 menjadi hanya US$375–400 per ton saat ini, dan bahkan masih terus melemah.
Harga Murah Itu Bukan Karena Efisiensi, Tapi Karena Panik
Menurut Ninasapti, penurunan harga beras di pasar internasional sering disalahartikan sebagai bukti bahwa impor lebih murah.
“Harga beras impor yang disebut murah itu bukan karena petani Vietnam atau Thailand makin efisien, tetapi karena mereka panik kehilangan pasar terbesar di dunia,” tegasnya.
“Mereka terpaksa banting harga agar gudang tidak penuh. Yang menikmati keuntungan itu importir dan spekulan, bukan rakyat Indonesia,” sambungnya, mengutip keterangan resmi dari laman web Kementerian Pertanian, Selasa (2/12/2025).
Swasembada dan Tantangan Distribusi ke Daerah Terpencil
Ninasapti juga menyoroti narasi yang kerap muncul setiap kali Indonesia memperkuat swasembada, yaitu klaim bahwa wilayah terpencil seperti Papua, Maluku, atau Sabang tidak dapat menerima pasokan beras tanpa impor.
Ia menyebut pemerintah telah menyiapkan strategi permanen yang lebih berdampak jangka panjang, antara lain:
- Rp189 miliar anggaran tahun ini untuk pencetakan sawah baru dan pembangunan irigasi di Aceh, yang akan dilipatgandakan pada 2026.
- Penguatan gudang dan armada distribusi Bulog hingga ke daerah pelosok.
- Penyusunan subsidi energi khusus bagi transportasi pangan pokok.
“Masalah logistik memang nyata, tetapi bukan alasan membuka kembali impor yang dapat merusak harga gabah petani di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi,” jelasnya.
“Swasembada tidak harus membuat setiap pulau jadi lumbung padi. Yang penting setiap warga negara berhak memperoleh beras harga wajar dari produksi bangsanya sendiri.”
Pesan Ninasapti: Indonesia Tegak Berdiri Tanpa Impor
Ninasapti menegaskan bahwa peningkatan produksi beras nasional hingga level tertinggi sepanjang sejarah menjadikan Indonesia salah satu kekuatan besar sektor pangan dunia.
“Hari ini, dunia beras berlutut karena Indonesia berkata ‘cukup’. Stok global tertinggi sepanjang sejarah, harga terendah dalam satu dekade, dan kita berdiri tanpa impor,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa upaya menjaga kedaulatan pangan adalah komitmen jangka panjang pemerintah.
“Siapa pun yang masih meragukan atau berusaha mengganggu proses ini, sadar atau tidak, sedang berada di pihak yang salah secara sejarah.” (***/sya)
Editor Yusfreyendi





