Presiden Jokowi Jengkel, Persoalan dan Solusi Kelihatan, Tapi Tak Dikerjakan Gegara Ego Sektoral

Loading...

Suarasiber.com – Presiden Jokowi meminta kepada lembaga negara baik pusat dan daerah untuk tidak lagi mengedepankan ego sektoral.

Hal ini disampaikannya saat membuka Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 di Marina Togo Mowondu, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, Kamis (9/6/2022).

“Lembaga pemerintah tidak bekerja secara terintegrasi. Bekerja sendiri-sendiri dengan egonya masing-masing,” tegasnya.

Menurut Presiden, persoalannya kelihatan. Solusinya kelihatan. Namun, tidak bisa dilaksanakan hanya gara-gara ego sektoral.

Karenanya ia saya sangat menghargai pertemuan GTRA yang diharapkan bisa segera mengintegrasikan, memadukan seluruh kementerian/lembaga.

Semuanya bekerja dengan tujuan yang sama. Menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat agar sengketa lahan bisa diselesaikan.

Presiden pun menginstruksikan agar lembaga negara baik di pusat maupun daerah, semuanya harus membuka diri.

“Jadikan forum ini untuk menghancurkan tembok (ego) sektoral. Semua lembaga pemerintah, baik pusat dan daerah, baik kementerian maupun lembaga, harus saling terbuka, saling bersinergi, dan riil pada tataran pelaksanaan. Jangan hanya bicara kita harus terbuka, tetapi praktiknya tidak,” tegasnya.

Menunggu 160 Tahun

Sebelumnya, Presiden Jokowi menuturkan sejak tahun 2015, persoalan mengenai tumpang tindih pemanfaatan lahan telah berulangkali disampaikan olehnya.

Setiap ke daerah, Presiden Jokowi selalu menemukan persoalan sengketa tanah. Menurutnya, dari 126 juta yang seharusnya memegang sertifikat, pada tahun 2015 itu baru 46 juta.

Artinya, ada sekitar 80 juta penduduk Indonesia yang menempati lahan tapi tidak memiliki hak hukum atas tanah itu. Hal ini juga berpotensi buruk pada iklim investasi.

“Yang lebih menjengkelkan lagi, justru yang gede-gede kita berikan, tapi begitu yang kecil-kecil misal 200 meter persegi saja, tidak dapat diselesaikan,” imbuhnya.

Dengan kapasitas 500 ribu sertifikat per tahun pada tahun 2015, berarti penduduk Indonesia harus menunggu 160 tahun untuk bisa semua memiliki sertifikat.

Pada tahun 2015 Presiden lalu memerintahkan Menteri ATR/Kepala BPN untuk meningkatkan kapasitas penerbitan sertifikat menjadi lima juta per tahun.

Lalu, tahun berikutnya dinaikkan lagi menjadi tujuh juta per tahun, dan naik lagi menjadi sembilan juta sertifikat per tahun.

Kata Presiden ternyata bisa dilakukan, dikerjakan, tetapi tak pernah dilakukan. Melompat dari 500 ribu menjadi sembilan juta ternyata bisa.

Hasilnya, sampai sekarang ini dari 46 juta sudah naik menjadi 80,6 juta sertifikat hak milik.

Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil dalam sambutannya mengemukakan, pada pertemuan GTRA Summit ini, akan dibahas peririsan kewenangan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. (ron/masjai)

Editor Yusfreyendi

Loading...