Senyum Jumeri di Tengah Hantaman Covid-19

Loading...

Di antara mereka yang pupus harapan, hanya bergantung dengan bantuan dari pemerintah, di sebuah tempat bekerja sederhana, Jumeri memperbaiki sarung tangannya.

Machfut – Tanjungpinang

Sarung tangan itu seharusnya berwarna putih, namun kini sudah cokelat. Agar nyaman, ujung-ujungnya justru dipotong sehingga ujung jari tangannya nongol.

Pagi tadi, Sabtu (21/8/2021) jalanan di depan tempatnya bekerja masih sepi. Namun Jumeri bisa serajin pegawai negeri ketika bekerja.

“Saya jam tujuh datang, jam sebelas pulang sampai jam satu siang, lalu balik lagi sampai jam lima sore,” tuturnya sambil tetap merapikan sarung tangannya.

Jumeri hanya buruh kasar. Pekerjaannya mencetak batako. Bukan usahanya sendiri, melainkan bekerja kepada seseorang yang dipanggilnya bos.

Wajahnya tenang, gerakannya cepat saat mencetak batako. Begitu sarung tangan dikenakan kembali, ia bergegas berdiri. Ia sekop gundukan pasir, semen dan adonan lain untuk bahan batako.

Lalu dengan sigap memasukkan material ke cetakannya. Sengaja dibuatnya meninggi dari cetakannya karena harus ditekan lagi. Terakhir ia ambil lempengan besi lalu dipakainya menekan material agar padat.

Suara besi beradi menimbulkan irama saat ia melakukan goyangan seperti jungkitan pasa penekan material tadi.

Tak sampai dua menit, ia buka penutup cetakan dan terbentuk wujud batako. Jumeri mengangkatnya dan menyusunnya di lantai tanah.

“Ini sudah dipesan orang, sebanyak tiga ribu biji,” ujarnya melayani pertanyaan demi pertanyaan.

Per hari, Jumeri mampu menyelesaikan 30 biji batako. ya segitulah batas kemampuannya. Ia tak akan ngebut lagi meski pesanan menunggu.

Ia juga tak akan memelankan ritme kerjanya ketika pesanan sedang tidak banyak. Biasa saja. Sehari 300 biji, kalau sudah tercapai jumlahnya maka ia pulang.

Di masa pandemi, lelaki yang dilahirkan di Slawi, sebuah daerah di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah ini mengaku penghasilannya tak terpengaruh.

Ia tetap bisa menghidupi istri dan dua anaknya. Anak pertamanya sudah selesai sekolahnya, tinggal yang kedua tengah menempuh ilmu di sebuah SMK yang ada di Tanjungpinang.

Berapa sebenarnya penghasilan Jumeri?

“Kuncinya syukur,” jawabnya singkat.

Jawaban itu jelas tidak memuaskan pertanyaan yang diajukan kepadanya. Pertanyaannya soal angka, jawabnya lain. Namun begitulah Jumeri yang sederhana ini.

Saat pulang ke rumah pada pukul 11.00 WIB dan mengatakannya sebagai istirahat, itu bukan tidur atau rebah-rebahan di kursi sambil nonton televisi.

“Menjalankan kewajiban,” ujarnya.

Sebagai muslim, Jumeri menyempatkan waktu untuk salat zuhur berjemaah di masjid dekat rumahnya. Saat itulah ia mengistirahatkan otaknya sejenak.

Ia lupakan sisa pekerjaan yang belum rampung, cuaca yang mulai hujan belakangan ini, uang sekolah anaknya dan berbagai bayangan lain.

Ia letakkan kepasrahan tertinggi kepada Gusti Allah yang masih memberinya rezeki sampai hari ini.

Di tengah perbincangan, Jumeri duduk sehingga lebih leluasa obrolan pagi tadi.

Selama 20 tahun bekerja, ia paham benar apa itu hidup. Sejak ia masih membujang sampai kini memiliki dua anak. Jumeri belajar memahami hidup dari kehidupan.

Seperti kebanyakan orang Jawa, ia masih memegang pernyataan yang khas. Selalu mengatakan dengan cukup. Dengan pekerjaannya itu, Jumeri pun mengaku mencintainya.

“Dibuat senang, kalau ada masalah minta tolong kepada Gusti Allah, bekerja baik, rezeki itu akan selalu cukup. Saya nggak merasakan perbedaan penghasilan sebelum atau setelah pandemi Covid-19,” ujarnya.

Sesaat kemudian ia sudah bergumul lagi dengan rutinitasnya. ***

Loading...