Hambatan-hambatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat

Loading...
Nur Wulan Shandra Dewi

Pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu program yang sangat gencar. Tak hanya di Indonesia, melainkan juga di mancanegara. Namun tidak semua berjalan sesuai harapan.

Karena bersentuhan dengan masyarakat, tentu ada begitu banyak persoalan saat menjalankan program ini. Penulis mencoba mengangkat sisi hambatan yang biasanya dihadapi.

Menurut Ibrahim 1988: 122 terdapat enam faktor utama hambatan dalam inovasi pemberdayaan. Semuanya akan penulis jabarkan agar lebih mudah dipahami.

Pertama, kurang tepatnya perencanaan atau estimasi dalam proses difusi inovasi. Hal ini bisa saja terjadi ketika program dilakukan secara mendadak.

Padahal untuk sebuah tindakan yang melibatkan peran serta masyarakat maka dibutuhkan survei terlebih dahulu. Jika malas melakukannya, maka perencanaan bisa gagal

Kedua, adanya konflik dan motivasi, disebabkan karena adanya masalah-masalah pribadi seperti pertentangan antar anggota tim pelaksana, kurang motivasi untuk bekerja dan berbagai macam sikap pribadi yang menganggu kelancaran proses inovasi.

Bisa kita bayangkan, persoalan pribadi yang ada pada diri setiap anggota tim seyogyanya tidak dimunculkan saat kegiatan berlangsung. Harus bisa memilah dan memilih mana persoalan pribadi dan kelompok.

Ketiga, inovasi tidak berkembang. Pada bagian ini menurut penulis yang paling penting ialah pendampingan. Masyarakat memiliki pola pikir dan tingkat pendidikan yang berbeda.

Akibatnya, tingkat penerimaan pemaparan materi atau saat praktik juga berbeda. Jika ini dibiarkan berlarut larut maka akan mandeg atau statis. Padahal untuk pemberdayaan masyarakat dibutuhkan keberlansungan.

Keempat, masalah finansial. Bukan hanya pada persoalan pemberdayaan masyarakat. Masalah keuangan adalah hal yang penting. Mungkin caranya sederhana, harus ada transparansi dari seluruh tim kepada masyarakat.

Persoalan finansial sungguh menyebabkan banyak masalah. Jika sudah muncul tudingan miring tentang finansial, biasanya akan berakibat kurangnya komunikasi.

Kelima, penolakan dari kelompok tertentu. Jika diakui, pemberdayaan masyarakat itu sebuah program yang tujuan akhirnya meningkatkan peran serta masyarakat sehingga bisa mandiri.

Meskipun demikian, keinginan baik tak selalu mendapatkan perhatian atau dukungan dari kelompok masyarakat lain. Apalagi jika mereka merasa apa yang akan dilakukan program pemberdayaan menganggu ekstistensi mereka. Padahal tidak seperti itu.

Keenam, kurang adanya hubungan sosial. Di sinilah pentingnya tim memiliki anggota yang merupakan bagian dari masyarakat yang akan diberdayakan.

Anggota tersebut menjadi penjembatan antara masyarakat dan tim. Jika tak ada lagi masalah hubungan sosial maka program emberdayaan masyarakat bisa dimulai.

Sementara itu, menurut Arsiyah 2009: 374 dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal.

Hambatan internal antara lain terbatasnya sumber daya manusia, tidak tersedianya bahan baku, keterbatasan kemampuan manajerial, tidak adanya kemampuan mengelola peluang pasar yang ada dan terbatasnya modal usaha yang dimiliki.

Sedangkan hambatan eksternal antara lain akses kelompok usaha bersamaKUB sebagai mitra pemerintah sebagai jembatan pemerintah dengan pengusaha kurang optimal, belum ada pihak swasta yang memberikan bantuan modal sebagai usaha pemeberdayaan ekonomi masyarakat.

Jika penulis cermati, untuk mampu menyukseskan pemberdayaan perempuan maka harus mampu mengatasi beragam persoalan yang terjadi.

Kita bisa belajar dari pengalaman orang atau pihak lain bagaimana agar program yang kita tawarkan ke tengah-tengah masyarakat diterima dengan baik dan sukacita.

Berdasarkan sejumlah sumber, penulis merangkum beberapa hal yang bisa dicoba agar tidak muncul konflik di tengah masyarakat.

Pertama, fokus pada penyelesaian konflik. Intinya ketika ada penolakan atau sebagainya kita harus fokus pada persoalan yang paling mengemuka. Itu yang diselesaikan terlebih dahulu.

Kedua, menggunakan kepala dingin. Apapun persoalannya jika dihadapi dengan kepala dingin maka solusinya lebih masuk akal ketimbang mereka yang melakukannya dengan kepala dan hati yang panas.

Ketiga, melakukan diskusi. Bentuknya bisa rapat informal di kantor desa, atau zaman Covid-19 seperti ini bisa mencoba virtual meeting. Diskusi bisa diartikan sebagai musyawarah.

Keempat, menjadi pendengar yang baik. Tidak selamanya yang selalu bicara itu baik. Adakalanya kita harus menjadi pendengar yang baik saat berhadapan dengan masyarakat.

Jika kita bisa memahami dari sisi mereka, maka akan terhubung secara emosi untuk berikutnya bisa merasakan apa yang mereka rasakan.

Dengarkan untuk memahami lebih dulu. Jangan mendengarkan lawan bicara hanya sekadar untuk membalas omongan, dengan begitu pemahaman terhadap konflik yang terjadi bisa lebih baik. ***

Penulis: Nur Wulan Shandra Dewi; NIM: 18101067; Jurusan: Adminstrasi Publik Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjungpinang.

Loading...