Operasi Kentut Vs “Jason Bourne”

Loading...

Suarasiber.com – Seperti kentut yang bau busuknya sangat gampang terendus tapi wujudnya sulit dicari. Kecuali, yang kentut ngaku.

Nyaris mustahil berharap pengakuan orang yang kentut. Kecuali tertangkap tangan, karena ada bunyinya.

Seperti itu juga money politic alias politik uang di Pilkada serentak 2020, Selasa (9/12/2020).

Menjelang pencoblosan, sejumlah lembaga negara bergabung melakukan patroli. Untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dan bikin sikon tetap tenang.

Sekaligus, menyampaikan imbauan ke sana kemari. Supaya jangan pakai politik uang.

Belakangan, pemerintah rajin sekali mengimbau. Apa-apa pakai imbauan.

Mungkin, frasa pemerintah bisa diubahsuai atau direvisi menjadi pengimbau. Saking seringnya membuat imbauan.

Sama seperti imbauan jangan main politik uang di Pilkada, di Pileg, di pil-pil lainnya.

Ada imbauan yang ditulis di baliho, spanduk, iklan-iklan, media sosial dan lainnya. Yang laku atau sah digunakan untuk pencairan anggaran.

Cuma sebatas itu. Dan, sudah belapuk dimakan zaman karena sudah dilakukan sejak zaman old.

Hasilnya? Politik uang justru semakin menggila. Disebut menggila karena di zaman now ini, politik uang justru disokong sejumlah oknum dari kaum pemerintahan.

Oknum-oknum kepala desa, lurah atau perangkatnya, oknum Ketua RT/RW menjadi kaki tangan oknum cakada, yang bermental maling.

Jauh sebelum hari pencoblosan tiba, kaum maling itu sudah mulai bergerak.

Mendata, mengumpulkan fotokopi KTP, selain menyiapkan janji dan upeti. Memasuki H -3, intensitas pergerakan meningkat.

Di Pilkada sebelumnya, upeti itu bernilai Rp100 ribu untuk cakada tunggal dan Rp150 ribu untuk paket (cakada kabupaten dan cakada provinsi), bahkan ada yang dibagikan di sekitar TPS.

Menjelang masuk TPS, sejumlah oknum mencegat sembari menyerahkan uang tanpa amplop.

Selain, diserahkan melalui oknum RT/RW yang sudah dipanggil dan menghadap junjungannya.

Laku miring itu dilakukan terang-terangan, tanpa urat malu karena urat malunya sudah putus. Dan, diganti dengan urat hedonis.

Juga tidak takut ditangkap. “Dah diselesaikan semua tu,” ucapnya.

Yang menerima upeti pun saling pamer di grup WhatsApp. Yang memberi upeti pun dengan bangga bercerita sudah bagi-bagi duit.

“Ada jugalah beberapa ikat aku tarik masuk kocek aku ha ha ha…,” sebut oknum itu mengungkap mental malingnya saat di Pilkada 2015 di sebuah kabupaten di Provinsi Kepri.

Operasi kentut itu sukses. Dan, diulang kembali di Pileg 2019, juga sukses. Kini, diprediksi akan dilakukan kembali.

Indikasinya, polanya sama dan sudah berulang lagi. Tanda awal dari pola itu, adalah pengumpulan fotokopian KTP.

Dan, sudah dikumpulkan sejak jauh hari sebelum pencoblosan. Sebuah indikasi nyata, bahwa operasi kentut sudah dan sedang berjalan.

Dengan fakta yang sudah begitu nyata dan jelas, masihkah aparatur lembaga yang digaji untuk menyelenggarakan dan atau mengawasi, berkelit?

Beralibi tidak ada pelapor, tidak ada saksi, tidak ada bukti. Untuk menutupi ketidakmampuan mengungkap praktik operasi kentut.

Atau, karena operasi kentut dianggap tidak penting. Cukup bikin imbauan di baliho, di  iklan dan sejenisnya.

Yang terpenting dan terpenting, adalah membuat kegiatan yang bisa di-SPJ-kan dan dicairkan.

Pesimis dan skeptis tak bisa dielakkan, operasi kentut masih berlangsung lancar di Pilkada 2020 ini.

Meskipun, ada sedikit optimisme seiring beredarnya ratusan mata-mata Bawaslu.

Mungkin kemampuan dan kapasitas mereka untuk menangkap para pelaku operasi kentut, masih jauh dari Jason Bourne. Tapi bisalah disebut Jason Bourne lokal.

Paling tidak, para Jason Bourne lokal ini bisa mengurangi aroma operasi kentut yang ada di sekitar TPS. Seperti di pilkada-pilkada sebelumnya. (sigit)

Loading...