Kisah Lelaki Kecil Pencari Kayu Bakar yang Jadi Bupati

Loading...

Suarasiber.com – Lelaki kecil itu hanya bisa menangis saat ibu kandungnya, Marhana, meninggal dunia.

Di usianya yang baru 9 tahun dan baru duduk di kelas 2 SD, dia sudah kehilangan kasih sayang dari ibunya.

Dia tak bisa berlama-lama meratapi kepergian ibunya. Ada enam orang adiknya yang harus dia urus, karena dia anak sulung.

Wisto, adik bungsunya baru berusia 7 bulan, saat ibunya meninggal, di atasnya ada adiknya yang juga masih balita.

Walau masih berusia 9 tahun, tapi lelaki kecil mau tidak mau harus mengambil alih tanggung jawab sebagai seorang ibu.

Dialah yang merawat dan mengasuh 6 orang adik-adiknya, termasuk adiknya yang masih bayi.

Memandikan bayi, menyuapi, menggendongnya dan meninabobokkannya.

Asuh Adik

Setelah adik bayinya, giliran adiknya yang balita, yang diurus. Juga mengikat rambut adik perempuannya yang masih balita.

Tak cuma itu, dia juga harus memasakkan makanan untuk adik-adiknya. Mencucikan baju mereka. Sekaligus, membersihkan rumah.

Semua itu dilakukannya tanpa keluhan sama sekali.

Dia juga tahu, Wello Pagga (85), ayahnya hanya seorang pekerja rendahan yang tak mampu membayar pembantu. Untuk mengurus 7 orang anak kecil.

“Ibunya meninggal saat dia naik kelas 3. Adiknya yang kecil, Wisto baru usia 7 – 8 bulan. Dia Alias yang jaga dan rawat adik-adiknya,” kata Wello Pagga.

Jual Kayu Bakar

Jangankan untuk membayar pembantu, untuk makan pun sudah senin kamis. Berbalut kemiskinan dan serba kekurangan tidak untuk diratapinya.

Dia melihat di sekelilingnya banyak orang perlu kayu bakar. Lelaki kecil itu melihat peluang.

Lengan baju pun disingsingkan. Dia pergi ke hutan di sekitar rumahnya. Dikumpulkannya kayu-kayu kering. Diikat dan dijual di kedai untuk kayu bakar.

Di usia 9 tahun, lelaki kecil yang tak pernah mengeluh itu sudah mampu mencari uang.

Hasil mencari kayu bakar masih belum memuaskan. Dia pergi ke tetangganya yang membuat kue. Dia pun berkeliling kampung menjual kue.

Tak Kenal Gengsi

Dua pekerjaan yang terus dilakukannya hingga jenjang SMA. Tidak ada gengsi atau malu.

Walaupun dia menjabat Ketua OSIS sejak SMP hingga SMA dan aktif di sekolah. Tanggung jawab sebagai anak sulung, telah melatih kepemimpinannya sejak usia dini.

“Anak yang sopan dan pintar. Saat itu, dia termasuk anak yang menonjol tapi tak banyak cakap (pendiam). Dia tak nakal dan tak pernah melawan guru.

Selain itu dia juga sangat sederhana. Baju seragam putihnya berwarna kekuningan,” sebut Nurzah M Yusuf (71), pensiunan guru SMP Negeri 1 Dabo, Singkep dengan bahasa yang halus.

Baju seragam itu aslinya berwarna putih. Namun, karena tak berganti warnanya menjadi kekuningan.

Jadi Bupati

Tuah ayam tampak di kaki, tuah manusia siapa yang tahu. Tuah manusia tidak ada yang tahu.

Lelaki kecil pencari kayu bakar yang hidup dalam kemiskinan itu, kini menjadi bupati. Bupati Kabupaten Lingga, H Alias Wello.

Sebelumnya, pria kelahiran tanggal 7 Januari 1963 di Dabo, Singkep, Kabupaten Lingga itu menjabat Ketua DPRD Lingga tahun 2004 – 2009.

Ada kejadian unik saat dia menjabat Ketua Dewan Lingga. Seharusnya dia bisa menjadi kaya dengan jabatannya. Seperti yang lainnya.

Alias Wello, justru jadi serba berkekurangan. Bahkan, kerap berutang ke sahabatnya karena selalu minus.

Bukan Cari Kaya

Prinsipnya menjabat berarti mengabdi yang membuatnya seperti itu. Dia pantang memanfaatkan jabatan hanya untuk membuat dirinya kaya.

Sadar dengan prinsipnya, tahun 2010 dia banting setir menjadi pengusaha di Kalimantan. Pengusaha adalah profesi yang sudah dijalani sebelum masuk jadi anggota dewan.

Setelah ekonominya berkecukupan dan jiwa mengabdinya kembali, Alias kembali ke Lingga dan maju ke Pilkada Lingga 2016 bersama M Nizar. Keduanya terpilih menjadi kepala daerah Lingga 2016 – 2021.

Kini, lelaki kecil pencari kayu bakar yang hidupnya sudah sangat berkecukupan itu, maju ke Pilkada Bintan 2020 bersama Dalmasri Syam.

Tujuannya cuma satu, mengabdikan diri. Bukan untuk menjadi kaya, karena dia memang sudah lebih dari kaya.  (sigit rachmat) 

Loading...