Open Bidding, Formalitas atau Profesionalitas?

Loading...

BAGI umumnya Aparatur Sipil Negara (ASN), jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) sangat diidamkan. Inilah jabatan karir tertinggi untuk semua ASN di provinsi, kabupaten dan kota.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi sejumlah ASN lainnya karena sejumlah alasan. Apapun alasannya yang dipilih jadi Sekda, mereka adalah produk dari dampak politik.

Pergantian pucuk pimpinan daerah yang memang dipilih secara politik, akan sangat menentukan siapa yang akan jadi Sekda.

Walau dibungkus dengan sebutan open bidding atau lelang jabatan, sepanjang UU ASN belum direvisi, obyektifitas sulit diharapkan.

KASN

Meski, seleksi itu harus melalui saringan lagi di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sekalipun.

Ada pasal di UU ASN yang menegaskan, bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), adalah kepala daerah. Bukan, Pansel. Juga bukan KASN.

Pasal ini yang membuat terjadinya mutasi besar-besaran setiap menjelang Pilkada atau setelah Pilkada di banyak daerah di Tanah Air.

Pasal ini juga yang membuat sulitnya mengedepankan obyektifitas dalam penentuan calon kepala dinas. Termasuk, calon Sekda, yang nasibnya tergantung hasil Pilkada.

Dulu. Ya, dulu. ASN yang menjabat jabatan Sekda, umumnya sudah pejabat senior. Biasanya, akan langsung pensiun usai menjabat jabatan karir tertinggi di daerah.

Mungkin karena senioritas di usia dan pengalamannya itulah, seorang Sekda di masa lalu sangat dihargai oleh umumnya ASN di lingkungannya.

Kini, jabatan Sekda bukan lagi jabatan puncak. Sewaktu-waktu, seorang Sekda yang berpengalaman mengelola anggaran triliunan Rupiah, bisa kembali turun menjadi kepala dinas.

Bahkan, bisa hanya jadi staf ahli. Dan, sama sekali tidak mengelola anggaran.

Itu menjadi fakta dan bukti, bahwa pengalaman, kemampuan atau kapasitas, bukan lagi menjadi faktor pendukung utama bagi ASN untuk berkarir.

Kedekatan

Meski tidak semua, namun faktor yang sangat menentukan, adalah kedekatan dengan kepala daerah.

Bisa kedekatan langsung, bisa tak langsung atau melalui pihak lain. Bisa dari pihak parpol, bisa dari pihak sanak saudara, bisa juga melalui tokoh-tokoh yang akrab dengan kepala daerah.

Hal ini juga berlaku untuk ASN yang ingin menjabat jabatan eselon II, eselon III dan bahkan eselon IV.

Nasib mereka juga ditentukan oleh faktor kedekatan, terutama di saat menjelang Pilkada.

Fakta-fakta terkait Pilkada dan UU ASN tersebut, menuntut para ASN harus bisa berpolitik. Jika mau eksis dan punya jabatan bagus.

Di zaman now ini, kerja keras, loyalitas kepada profesi, cerdas atau inovatif tidak cukup untuk menunjang karir ASN.

Naif

Karena, setiap ASN dituntut mengabdi kepada kepala daerah. Bukan kepada negara. Apalagi kepada masyarakat. Itu sudah jadi masa lalu dan sekedar melengkapi tupoksi.

Itu sebabnya juga, setiap ada seleksi untuk jabatan eselon II di daerah, hasilnya sudah bisa diprediksi. Meskipun sudah melalui proses lelang.

Tak sulit memprediksi hasilnya, cukup melihat faktor “kedekatan langsung” hubungan sang calon pejabat eselon II dengan kepala daerah.

Setelah faktor ini terlewati, lihat lagi “kedekatan tidak langsung” calon pejabat eselon II dengan kepala daerah.

Akan semakin mudah memprediksinya, setelah Pansel akan memunculkan tiga nama calon yang terpilih.

Ketiga nama itu akan diserahkan ke kepala daerah selaku user alias pengguna. Sesuai UU ASN, kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) akan memutuskan siapa yang akan menjabat.

Masih naif dan melarang ASN, untuk berpolitik? (sigit rachmat) 

Loading...