Bupati, Upeti dan Alias Wello

Loading...

TANJUNGPINANG (suarasiber) – Upeti. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) punya dua makna, yakni:

upe·ti n 1 uang (emas dan sebagainya) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) oleh negara(-negara) kecil kepada raja atau negara yang berkuasa atau yang menaklukkan; 2 uang dan sebagainya yang diberikan (diantarkan) kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap.

Dari makna kedua di KBBI itu jelas disebut, uang yang diberikan kepada pejabat. Termasuk kepada kepala daerah, baik gubernur, bupati atau walikota.

Upeti bisa dari bawahan dan bisa juga pengusaha. Dan, yang pasti upeti tidak akan diberikan jika orang itu tidak sedang memegang jabatan.

Di era zaman now, upeti dari bawahan, pengusaha dan atau kontraktor kepada bupati, wako serta gubernur sudah jamak terjadi.

Tentunya nyaris semua kepala daerah menolak dan membantah menerima upeti. Baik dari bawahan atau dari pengusaha.

Namun, dari semua sidang perkara korupsi, nyaris semuanya mengungkap fakta terjadinya upeti.

Ada banyak alasan yang disampaikan di persidangan, mulai dari untuk bantu-bantu sukarela hingga alasan sosial.

Pastinya, setelah orang itu tak menjabat, tidak ada lagi bawahan atau pengusaha yang mau bantu-bantu. Jangankan membantu sukarela, diminta pun akan mengelak.

Itu sebabnya, tidak sedikit kepala daerah akan dengan senang hati menerima sesembahan upeti dari stafnya. Bahkan, ada juga yang mengemis upeti.

Bukan hanya mengemis ke pejabat eselon II dan III. Bahkan juga mengemis ke pejabat eselon IV.

Eselon IV memang terkesan kecil, tapi merekalah yang menjabat bertindak sebagai PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan).

Itu sebabnya sudah jamak terdengar di suatu dinas, badan, kantor dan sejenisnya ada pemotongan anggaran kegiatan. Isitilah keren di kalangan pegawai disebut saving.

Semacam tabungan. Yang hasilnya akan disetor dari eselon IV ke eselon III dan selanjutnya ke eselon II atau ke Sekda.  Seterusnya ke kepala daerah.

Bagi pegawai yang ingin bekerja bersih dan tak mau menanggung dosa mencuri, dipastikan dia akan melepaskan jabatannya.

Selain memotong anggaran kegiatan untuk saving, pengumpulan upeti juga dilakukan melalui pemotongan anggaran perjalanan dinas.

Setiap pegawai yang melakukan perjalanan dinas akan mendapat uang harian. Uang harian hak si pesawai dipotong sekitar 23 persen hingga sekian puluh persen.

Jika si pegawai tak mau uang hariannya dari perjalanan dinas dipotong bisa fatal.

Karena, bisa dipastikan si pegawai tak akan pernah lagi menikmati jalan-jalan gratis yang dibiayai negara atau APBD.

Potongannya dialirkan ke junjungan mereka di tiap-tiap dinas, badan, kantor dan bermuara ke kepala daerah.

Dari hal tersebut bisa disimpulkan, tidak ada upeti yang bersumber dari kantung pribadi.

Sumber upeti bisa dipastikan dari hasil merampok alias korupsi kegiatan APBD dengan berbagai cara.

Itu sebabnya, Alias Wello Bupati Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau mengharamkan menerima upeti. Apalagi, mengemis upeti dari pegawainya.

Dari pengusaha saja dia tolak, apalagi dari pegawainya.

“Kalau aku ambik atau mau terime upeti dari pegawai, same je aku ngajar diorang jadi koruptor,” kata Alias Wello menjawab suarasiber.com, Rabu (22/7/2020).

Bupati low profile yang biasa disapa AWe juga menolak upeti dari para pengusaha.

“Lebih baek diorang pakai duet tu untuk menggandeng BUMD. Jadi BUMD bise berkembang. Daerah dapat hasilnya dan warga bisa merasakan hasilnya,” tegas AWe.

Redaksi sendiri pernah mendengar AWe meminta seorang kepala dinas, agar membawa kembali upeti yang akan diserahkan kepadanya.

Dia juga berpesan, agar menyerahkannya kepada orang yang tidak mampu. Jika memang rezekinya sudah berlebih.

Meski sudah jamak terjadi, ternyata masih ada bupati yang mau tak menerima upeti. Apalagi, mengemis upeti dari pejabat di bawahnya. 

Alias Wello adalah salah seorang di antaranya. (mat) 

Loading...