Kebangkitan Nasional (Antara Rusydiah Club dan Boedi Oetomo)

Loading...

Dengan maksud untuk meningkatkan martabat rakyat, seorang dokter dari kalangan priyayi di Yogjakarta berinisiatif dan berkampanye di kalangan priyayi di Pulau Jawa untuk menghimpun dana pelajar.

Inisiator itu adalah dr Wahidin Sudirohusodo. Dalam perjalanan kampanyenya di penghujung tahun 1907 ia bertemu dengan seorang mahasiswa Sutomo yang sedang belajar ilmu kedokteran di School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (STOVIA).

Pembicaraan dua orang pribumi terpelajar dari pendidikan formal ini, menjalar ke teman-teman Sutomo yang lain. Hari Rabu tanggal 20 Mei 1908, di ruangan anatomi STOVIA mereka mendirikan organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo.

Dalam sejarah Indonesia wadah mahasiswa ini dinyatakan sebagai tonggak protonasionalistis.

Dua puluh dua tahun sebelum peristiwa itu, di belahan lain kawasan “Netherlandsch Indie”, di pulau kecil, yang terlihat sangat jelas dari kantor dan rumah Resident Riouw, beberapa orang anak watan Melayu yang dibesarkan dalam asuhan pendidikan non formal di Pulau Penyengat sudah lebih dulu menubuhkan organisasi yang mereka beri nama Rusydiah Club.

Para belia Melayu yang cergas dalam penubuhan awal organisasi itu dapat
disebut diantaranya Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam, Raja Abdullah. Tentulah pendirian organisasi itu dengan maksud untuk meningkatkan martabat dan memajukan kehidupan pribumi.

Rusydiah Club, bukan hanya sekedar perkumpulan para penulis syair, sejarah, adat, agama, bahasa, sastra, dan aspek budaya Melayu lainnya. Tetapi wadah berhimpunnya para cerdik cendekia, yang sangat ambil berat terhadap masalah sosial, ekonomi, dan bahkan politik.

Hasan Yunus menyebut organisasi para cendekiawan Melayu ini sebagai sebuah “pressure group” terhadap pemerintah kolonial.

UU Hamidi menganalisa bahwa Rusydiah Club mungkin merupakan suatu organisasi para cendekiawan pertama dalam sejarah cendekiawan di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai wadah berserikat yang terbesar dalam abad ke-19, sebab para anggotanya tidak hanya sebatas kaum cendekiawan Melayu yang bermastautin di Riau (Kepulauan Riau) saja, tetapi juga meliputi Minangkabau, Patani di Thailand, Semenanjung Melaka dan pesisir Barat Kalimantan.

Anggotanya meliputi Melayu, keturunan Arab, Minangkabau, Patani dan Bugis serta Banjar.

Jika benar analisa UU Hamidi ini, maka dari segi keanggotaannya, Rusydiah
Club lebih hiterogen bila dibadingkan dengan Boedi Oetomo yang anggotanya hanya dari kalangan priyayi Jawa saja.

Hiterogenitas keanggotaan Rusdyah Club sudah melintas geografis, etnis, dan kultur, artinya sudah bersifat terbuka, walaupun persyaratan untuk menjadi anggota sangat selektif, misalnya harus sudah menghasikan karya tulis yang berkualitas.

Rusydiah Club tidak semata-mata berkutat pada hal ihwal tulis menulis, kebudayaan saja, tetapi sesuai dengan semangat zamannya, kesadasaran akan keluar, bebas dari penindasan kolonialisme, kesadaran akan masa lalu tentang kebesaran Kerajaan Melayu, kesejahteraan, mendorong lahirnya kemauan bersama untuk bergerak di bidang politik, ekonomi, melawan hegemoni Belanda.

Memang sedang menjadi trend abad ke-19, terutama bangsa-bangsa di Asia,
dan Afrika mulai muncul benih-benih nasionalisme sebagai gerakan kebangsaan, yang di semerata bangsa-bangsa tersebut gerakan nasionalismenya dimotori oleh para cendekiawan.

Begitu juga terjadi dengan para cendekiawan yang berhimpun dalam Rusydiah Club.

Betapa serunya para anggota Rusydiah Club membahas peristiwa menggemparkan umat Asia, atas kemenangan Jepang terhadap Rusia di Teluk Tzusima (1905).

Kemenangan Jepang ini berpengaruh besar terhadap nasionalisme bangsa-bangsa di Asia. Kemenangan ini merupakan kemenangan bangsa kulit berwarna terhadap bangsa kulit putih yang sudah menjadi semacam bidal. Bangsa kulit putih tak kan terkalahkan oleh bangsa Asia.

Artinya nasionalisme dalam kerajaan Riau Lingga, atau lebih luas lagi dalam wilayah Residentie Riouw (jika tak dapat disebut di Indonesia) yang terbentang dari Kuantan hingga ke Siantan, diawali (1886) di pulau kecil depan kediaman Residen Riouw, di Pulau Penyengat.

Betapa tidak, upaya untuk melenyapkan kolonialisme di daerah ini, selain dari Sultan Abdurrahman Muazzam Syah sudah mengacuhkan residen.

Misalnya tidak mau mengibarkan bendera Belanda di kapalnya, menempatkan posisi bendera Belanda di bawah bendera kerajaan di halaman istananya, dan akhirnya tidak mau mengibarkan bendera Belanda, menuntut residen tidak mengangkat pejabat kerajaan di Pulau Tujuh, memanggil pulang putra mahkota Tengku Umar yang sedang belajar di Hoofdenschool Bandung, salah satu maksunya untuk menjadi
Prisiden Rusydiah Club.

Raja Ali Kelana, salah seorang pendiri Rusydiah Club diutus ke Turki untuk mendapat dukungan dunia Islam dalam melawan Belanda.

Pendiri Rusydiah Club yang lain, Raja Khalid Hitam berangkat ke Tokyo untuk mendapat bantuan dari bangsa yang telah mengalahkan Rusia tersebut. Namun beliau menderita sakit dan pada tanggal 11 maret 1914 wafat di salah satu rumah sakit di Tokyo.

Oleh gagasan para cendekiawan Rusydiah Club juga perjuangan untuk
kesejahteraan rakyat dalam bidang ekonomi. Tahun 1906 mendirikan serikat dagang yang dinamai Asyarkatul Ahmadiah, yang nanti menjadi koperasi Al Ahmadi di Pulau Midai.

Koperasi ini bergerak dalam bidang perdagangan dan ikut dalam usaha mencetak batu bata di Batam, serta membuka cabang di Singapura mendirikan Al Ahmadiah Press.

Inilah koperasi tertua ke-2 di Indonesia, setelah koperasi pertama didirikan
oleh RA Wiriatmadja di Purwokerto (1896). Dengan rasa sangat kagum terhadap koperasi ini, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai Bapak Koperasi pada tahun 1954 datang ke Midai untuk melihat aktivitas perkoperasian pertama di tanah Melayu.

Jika Boedi Oetomo pada awalnya didirikan oleh para mahasiswa dengan hajad awal untuk menghimpun dana pelajar. Setelah kongres pertama bulan Oktober 1908, hanya lima bulan pimimpinan para pemuda STOVIA diambil alih oleh generasi tua dari kalangan priyayi.

Ketuanya Tirtokusumo Bupati Karanganyar, lebih memperhatikan reaksi dari pemerintah kolonial daripada reaksi dari penduduk pribumi, kecuali upaya meningkatkan mutu pendidikan menengah.

Sejak didirikan tidak ada kegiatan yang bersifat politik. Aktivitas politik Boedi Oetomo baru muncul ketika pemerintah Netherlandsch Indie membentuk volksraad tahun 1917, karena Boedi Oetomo menduduki kursi nomor dua terbesar dalam volksraad.

Namun satu hal yang penting dari Boedi Oetomo di dalam tubuhnya telah ada benih semangat nasional, oleh karena itu dapat dipandang sebagai induk pergerakan nasional.

Lalu mengapa bukan Rusydiah Club misalnya sebagai induk pergerakan kebangsaan, karena 22 tahun lebih duluan ditubuhkan sebelum Boedi Oetomo berdiri.

Kalau mengikut istilah Fatih Muftih tulisannya tanggal 2 Mei lalu, kita “dipaksa” mengikut sejarah tanah Jawa.

Memang pusaran pergerakan di Jawa lebih nyaring terdengar, karena dukungan alat komunikasi ketika itu tidak mendentingkan peristiwa sejarah di daerah.

Boleh jadi para sejarawan di awal kemerdekaan tidak mendapat informasi tentang telah adanya organisasi para cendekiawan di pulau lain. Tentu menjadi sesuatu hal yang salah juga, jika kita tidak pernah membentangkan sejarah pergerakan dari daerah kita sendiri.

Bukankah sejarah lokal Tanjungpinang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah nasional.

Tentu menjadi sangat baik bila sejarah lokal kita fahami untuk melengkapi pemahaman terhadap sejarah nasional. Kitapun tak hendak terus menerus memori kolektif kita dibentuk oleh sejarah sebagai suatu cerita dari pada sejarah sebagai suatu peristiwa.

Atmadinata, Penikmat Sejarah Melayu

Loading...