Virus Corona Menggila, Penimbun Masker yang Dapat Cuan

Loading...

VIRUS corona terus menggila di dunia, tak hanya membuat sejumlah kematian bagi penderitanya. Virus yang tak kasat mata ini juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar.

Indonesia sendiri menderita kerugian sangat besardi industri pariwisata, jumlahnya hingga sekitar US$ 500 juta atau hampir Rp 7 triliun per bulan.

Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (Tempo, 20 Januari 2020).

Dampak dari virus yang ditemukan pertama kali di China sekitar Desember 2019 itu, juga membuat masyarakat panik. Kepanikan yang dimanfaatkan pengusaha “virus corona” untuk mendapatkan keuntungan maksimal.

Ketiadaan informasi yang jelas dan tegas dari pemerintah di awal mebawahnya virus, menjadi sumber kepanikan di masyarakat. Terlebih, setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan ada 2 WNI yang positif terjangkit virus tersebut, 2 Maret 2020.

Masker dan hand sanitizer berubah menjadi ikon melawan virus corona, diborong habis. Khususnya, oleh kaum borju. Kaum jelata cuma bisa pasrah menanti ajal, karena tak mampu lagi membeli masker dan hand sanitizer.

Terlebih tidak ada lagi aksi-aksi bagi masker gratis, yang biasa dipakai untuk membranding suatu organisasi, lembaga atau institusi. Agar, terlihat berjiwa sosial.

Panic buying tak cuma terjadi di Tanah Air Indonesia. Tapi juga di China, Hong Kong, Jepang dan Singapura.

Semua yang dianggap bisa membentengi diri dari virus corona dibeli. Bahkan, dalam jumlah sangat besar. Kepanikan semakin bertambah dengan adanya penimbunan sembako.

Kepanikan yang sekaligus membuat perbedaan kelas strata sosial mencuat. Kepanikan yang menampilkan wajah asli manusia, ego.

Kepanikan Mencuatkan Homo Homoni Lupus

Ego asli manusia, homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi sesama manusia lainnya (wikipedia.org). Saling menikam untuk kepentingannya sendiri.

Pertanyaannya, kenapa timbul panic buying? Tantan Hermansyah, Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengatakan, kepanikan ini sejatinya tak terbendung di semua lapisan masyarakat.

Pola kerjanya mirip seperti domino, menular dengan cepat dari orang ke orang lain di semua lapisan strata sosial.

Kepanikan orang per orang akan menular kepada orang-orang lainnya. Baik mereka yang berduit atau pun yang jelata.

“Mereka yang masyarakat berbagai kalangan itu sebetulnya hanya terjadi karena saling pengaruh memengaruhi,” kata Tantan (voi.id, 3 Maret 2020).

Penjelasan Tatan, belum menjawab pertanyaan dasar yang muncul, apa sebab masyarakat panik. Khususnya masyarakat di Indonesia.

Kepanikan mencuat jika terjadi sesuatu yang di luar dugaan dan mengancam jiwa. Terutama bagi orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang dihadapinya.

Ini berawal dari sikap pemerintah yang terkesan tidak memiliki prosedur tetap (protap), untuk menghadapi kasus wabah penyakit. Antara satu lembaga dengan lembaga lainnya, saling memberikan keterangan.

Keterangan yang satu berbeda dengan yang lainnya. Sehingga, untuk mengumumkan adanya warga yang terinfeksi virus corona harus seorang presiden.

Pemerintah Lambat Mengantisipasi

Wajar jika lemahnya pemerintah itu dikritik oleh anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Bambang Purwanto.

“Kepanikan masyarakat bukan tanpa alasan cerdas. Masyarakat melihat karena pemerintah kurang cepat melakukan antisipasi,” ucap anggota Komisi IV DPR, Bambang Purwanto, dalam keterangan tertulisnya, seperti dirilis teropongsenayan.com, Selasa (3/3/2020).

Paniknya masyarakat semakin menjadi-jadi saat harga masker dan hand sanitizer melambung tinggi. Sudahlah harga melambung, barangnya pun sulit didapat.

Bukan cuma panic buying yang membuat masker dan pembersih tangan itu melambung serta langka. Ada ulah oknum pengusaha di kasus kelangkaan itu.

Hebatnya, dengan tanpa beban Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan santuy, mengatakan masker yang mahal dan kelangkaan itu karena hukum pasar.

“Itu impact ekonomi karena bagaimanapun orang jual beli ya seperti itu hukum pasarnya,” kata Menkes Terawan di Kementerian Kesehatan (tribunnews.com), Senin (2/3/2020).

Entah apa yang merasukinya hingga berkata seperti itu. Terawan mungkin lupa, negara berhak mengintervensi mekanisme pasar.

Kewenangan mengintervensi pasar itu dinyatakan di dalam UU No 7 tahun 2014 tentang perdagangan. Ada 6 pasal di UU itu yang memberikan hak dan kewenangan kepada pemerintah untuk mengendalikan harga.

“Pemerintah dan Pemda punya dasar hukum untuk mengintervensi. Agar, harga masker dan yang terkait tidak meroket,” beber Rudi Chua (suarasiber.com), Selasa (3/3/2020).

Ada enam pasal yang memungkinkan pemerintah dan Pemda mengintervensi pasar. Yakni di pasal 25, pasal 26, pasal 29, pasal 95 dan pasal 107 UU No 7 tahun 2014 tentang perdagangan.

Menkes Santuy Wujud Ketiadaan Protap Penanganan Wabah

Pernyataan Menkes yang begitu santuy terkait kelangkaan masker dan pencuci tangan, tanpa menimbang adanya UU Perdagangan, adalah wujud ketiadaan protap penanganan wabah.

Sekaligus, wujud ketidakberdayaan pemerintah. Wajar jika masyarakat panik!
Pemerintah harus bersukur di era digital ada banyak masyarakat yang peduli. Dan, memberikan kritikan tajam.

Sehingga, pemerintah cepat berbenah dan para pelaku penimbun masker serta sabun pencuci tangan diburu polisi.

Wabah virus corona mungkin saja akan berulang lagi di suatu masa nanti dalam bentuk lain. Seperti halnya wabah virus SARS (severe acute respiratory syndrome) tahun 2003 di China.

Kemudian wabah virus MERS (Middle East Respiratory Syndrome) di Arab Saudi tahun 2012.

Pengalaman adalah guru terbaik. Sejatinya, wabah virus corona membuat pemerintah lebih mawas diri. Untuk saat ini, tak perlu saling menyalahkan tapi bagaimana menangani wabah virus ini.

Minimal, punya protap untuk menangani wabah serupa di masa depan. Siapkan payung sebelum hujan. Bukan setelah mau buang air, baru mencari toilet.

Jangan seperti pejabat dinas pariwisata di daerah, sudah jelas virus corona mengancam penerimaan pendapatan daerahnya. Tapi tak punya sebiji pun kebijakan yang diterbitkan, sebagai solusinya.

Hanya ada dua kalimat yang diterbitkan, “Kita tunggu arahan pusat.” Dan, “Kita tunggu instruksi pimpinan.”

Seakan sia-sia negara memberi gaji dan tunjangan tinggi yang bersumber dari pajak rakyat. Hanya menunggu perintah yang bisa dilakukan.

Semoga rakyat semakin cerdas dan tak perlu digaji serta diberi tunjangan tinggi. Untuk berpikir mendapatkan solusi, tanpa harus panik menghadapi wabah virus corona. (*)

(*) Penulis Zainal Takdir, seniman dan aktivis politik di Kota Tanjungpinang

Editor sigit rachmat

Loading...