Adu Kuat Rudi Vs Soerya di Pilkada Kepri 2020

Loading...

Mendaftarnya Ketua DPD PDIP Provinsi Kepulauan Riau Soerya Respationo ke partainya sendiri sebagai calon gubernur seolah memberikan tanda tanda PDIP akan mengusung kadernya sendiri. Posisi gubernur tentu diincar Soerya dibandingkan wakil gubernur.

Dan itu menjadikan Soerya sebagai peserta pilkada terbanyak di Kepri. Ia akan tercatat sejarah Kepri ikut pilkada empat kali sejak 2005. Dan setiap pilkada sejak Kepri menjadi provinsi Soerya tak pernah absen.

Apalagi Romo biasa disapa, pernah menjadi wakil gubernur di tahun 2010-2015 ketika berpasangan dengan Muhammad Sani memenangkan pilkada waktu itu. Skor pilkada yang diikuti Soerya dua kali kalah dan sekali menang. 2005 dengan Nyat Kadir kalah, 2010 dengan Muhammad Sani menang. 2015 bersama Ansar Ahmad, Soerya kalah.

Plt Gubernur Isdianto yang kini menjadi pengurus PDIP nampaknya juga harus bersabar di posisi nomor dua ketika mengikuti pilkada 2020. Namun, jika keputusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap, maka Isdianto akan menjadi gubernur tetap sampai 2021. Karena periode Isdianto tak sampai 1,5 tahun menjadi gubernur, Ia tidak melanggar UU Pilkada dan dibolehkan turun kelas dari gubernur ke wakil gubernur.

Setidaknya pernah merasakan posisi gubernur dengan kekuasaan power full. Dibandingkan dengan Plt gubernur.

Jika kedua tokoh ini bergabung melalui PDIP sebagai motor koalisi, maka kekuatan partai dan koalisi dianggap secara kursi bisa menjadi terbanyak dari jumlah kursi. Itupun kalau Golkar, Demokrat akan mendukung PDIP.

Isu pasangan ini akan membuat koalisi besar sampai sejauh ini belum menjadi kenyataan. Karena Golkar, Demokrat, PKS maupun partai lain, belum menyatakan secara terbuka mendukung calon yang akan dimotori PDIP. Golkar sebenarnya punya harapan mengusung Ketua DPD Ansar Ahmad menjadi calon gubernur. Namun Ansar tak berani melepaskan kursi DPR RI yang dia raih di pemilu 2019. Padahal Ansar adalah tokoh muda yang memiliki kemampuan untuk menjadi gubernur.

Uniknya, di Kepri, seharusnya ada empat sampai lima paket di pasangan yang bisa mencalonkan diri sesuai dengan perolehan kursi. Sampai dengan Oktober 2019, baru PDIP dan Partai NasDem yang berencana mengusung calon.

Artinya, jika NasDem membuat koalisi tandingan, berarti baru dua koalisi yang menyatakan serius bertanding ke depan. PDIP vs NasDem. Kita tidak usah berpikir jauh soal keretakan Megawati dengan Surya sehingga merembet ke pilkada serentak 2020.

Memang untuk menguasai pemilu 2024, partai harus menguasai daerah. Dengan banyak memenangkan pilkada 270 daerah, maka potensi kembali berada di papan atas di pemilu 2024, bukan hal yang mustahil. Di sinilah partai partai berlomba lomba memenangkan calon kepala daerah.

Kembali ke pilkada di Kepri, jika partai lain tidak memiliki calon yang handal, maka pilihan rasional, partai akan menjadi follower dari PDIP maupun koalisi NasDem. Siapa yang akan diusung NasDem? Tokoh yang semula dijagokan adalah Nurdin Basirun. Namun karena Nurdin bermasalah secara hukum, maka pilihan paling rasional untuk menandingi populeritas Soerya -Isdianto adalah Wali Kota Batam Muhammad Rudi.

Dengan elektabilitas Rudi tinggi di Batam, dan ditambah dikenal di Tanjungpinang, Bintan, maka Rudi dianggap paling layak diusung NasDem. Batam sebagai pemilih terbesar di Kepri tentu akan menjadi basis terkuat walikota yang juga ex officio BP Batam itu. Rudi juga putra kelahiran Tanjungpinang.

Jika Rudi ikut, maka akan memusnahkan harapan bahwa Rudi sudah cukup puas dengan posisi walikota dan sekaligus Kepala BP Batam.

Terus siapa yang akan menjadi wakil Rudi di pilgub? Pilihan tentu Rudi besar kemungkinan akan memilih wakil dari luar Batam supaya mendukung perolehan suara bukan hanya berasal dari Batam, namun ditambah oleh dari laut Batam seperti Karimun atau Tanjungpinang.

Siapa yang potensial mendampingi Rudi? Jikapun walikota Batam itu mau bertanding di Kepri? Ada nama nama yang memiliki pendukung yang kuat. misalnya di Karimun, ada nama Iskandarsyah dari PKS yang sudah tiga periode menjadi wakil rakyat di DPRD Kepri.

Karena Bupati Karimun Aunur Rofiq sepertinya lebih tertarik mengikuti pilkada Karimun untuk periode kedua dibandingkan dengan mengikuti Pilgub. Aunur pun dianggap sudah tertutup apalagi dia sudah mendaftar di PDIP sebagai calon bupati Karimun.

Sosok Karimun yang dianggap kuat hanya menyisakan Iskandarsyah yang juga bisa meyakinkan PKS untuk berkoalisi dengan NasDem.

Kemudian di Tanjungpinang tentu ada nama Lis Darmansyah dari PDIP. Namun, asumsi ini agak berat terwujud, karena Lis merupakan kader PDIP yang tidak mungkin berkhianat dengan partai. Ada juga nama Syahrul, ketua DPD Gerindra Kepri. Namun Syahrul juga menyatakan di media lebih fokus menyelesaikan tugas sebagai walikota Tanjungpinang. Karena dia baru saja setahun terpilih sebagai orang nomor satu di Tanjungpinang.

Kemudian pilihan ketiga ada nama Apri Sujadi yang juga Bupati Bintan. Memang ada rumor, Apri tidak ikut pilkada Bintan dan menjadi wakil Rudi di Pilgub, namun itu masih menjadi pertanyaan. Apakah seberani itu April melepaskan peluang menjadi Bupati Bintan untuk periode kedua. Pilihan berpasangan dengan Rudi juga momentum yang tepat bagi Apri untuk naik kelas.

Biarkan misalnya di Bintan Apri menyerahkan kepada kader Demokrat yang lain seperti Agus Wibowo atau istrinya sendiri Deby untuk bertarung di Bintan. Dengan besarnya kursi diperoleh Demokrat pada pemilu 2019, sebagai pertanda, masyarakat Bintan masih yakin dengan kepemimpinan Apri di Bintan.
Terbukti, istrinya meraih suara terbanyak di pemilu 2019 dari seluruh caleg di Kepri.

Kemudian pilihan lainnya adalah, Bupati Natuna Hamid Rizal. Namun Hamid memang tidak terlalu populer di Tanjungpinang dan Bintan. Ia masih punya nama di Natuna dan Anambas. Pasangan ini bisa menjadi koalisi NasDem PAN. Suara Hamid akan mendongkrak tambahan suara dari Batam.

Dan model seperti ini pernah dipraktikkan Muhammad Sani- Nurdin Basirun. Fokus di Karimun, dan Tanjungpinang. Tapi jumlah pemilih Natuna Anambas tak sebanyak Karimun plus Tanjungpinang. Sehingga calon dari Anambas dan Natuna tidak terlalu seksi.

Jika Rudi tak memiliki pasangan dari ketua partai, maka pilihan akhir adalah mengambil pasangan dari calon calon yang ada saat ini. Misalnya Ismeth Abdullah, Huzrin Hood atau Fauzi Bahar, Mustafa Widjaya, Hardi Hood, Ria Saptarika hingga Dharma Setiawan yang juga anggota DPD RI.

Namun pilihan Ismeth atau Huzrin, keduanya adalah senior dan tokoh masyarakat Kepri yang tidak mungkin mau di posisi kedua. Bahkan Ismeth dan Huzrin sedang serius mempersiapkan diri untuk mengikuti pilkada dengan mencari dukungan partai. Tapi, jika revisi undang undang pilkada melarang mantan narapidana ikut pilkada disetujui DPR maupun Mahkamah Konstitusi, maka kedua tokoh ini harus gigit jari.

Ya, nanti pilihan akhir siapa yang serius mengikuti pilkada ketika mereka dengan pasangannya mendaftar di KPU Kepulauan Riau. Kalau sekarang, pasangan yang hampir mendekati kebenaran adalah Soerya Respationo dengan Isdianto yang dimotori oleh PDIP sebagai partai pemenang pemilu. PDIP hanya perlu satu kursi atau satu partai untuk mendaftarkan pasangan yang mereka usung ke KPU.

Sementara, NasDem jika jadi mengusung Rudi, maka perlu tambahan tiga kursi. NasDem saat ini memiliki enam kursi. Lobi lobi siapa yang akan mendampingi Rudi mungkin akan berlangsung lama. Karena tarik ulur atau Rudi tetap mengikuti pilkada Batam dengan potensi menang besar atau mengikuti pilkada Kepri dengan potensi menang masih 50:50?

Pilihan Rudi memang agak berat. Di satu sisi melepaskan Amsakar wakil walikota Batam saat ini melawan Lukita yang diusung PDIP di pilkada Batam juga masih harap harap cemas. Amsakar tidak sengetop Rudi. Di satu sisi, inilah saatnya untuk naik kelas. Karena Rudi juga sudah 10 tahun jadi wakil walikota dan walikota Batam.***

Penulis: Robby Patria
Mahasiswa Program Doktor di University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM) dan Wakil Ketua ICMI Tanjungpinang

Loading...