Nikmati Sensasi ke Dabo Singkep dengan Cara Ini, Beda Banget

Loading...

Terbiasa bepergian dengan jenis pesawat Boeing 737-900ER, 737-800NG atau ATR 72-600 atau sejenisnya? Bagaimana jika Anda harus terbang dengan sebuah pesawat perintis Cesna 208B jenis Grand Caravan?

Itulah yang dialami suarasiber.com ketika mendapatkan undangan ke Kabupaten Lingga untuk liputan potensi kabupaten ini, Jumat (20/9/2019). Sungguh, saya tak pernah menyangka jika yang akan membawa saya ke pulau yang saat saya SD ditulis di buku sebagai pulau penghasil timah itu pesawat kecil.

Pikiran saya, meski kecil ya seukuran ATR 72-600 lah. Masih ada puluhan penumpang. Bahkan saat check in usai salat Jumat saya santai saja. Di konter bandara, saya menerima dua lembar kertas. Dan saya masih tenang-tenang saja saat keryawati konter tiket meminta saya untuk ditimbang berat badannya.

pesawat cessna 2
Berasa tepat di belakang pilot dan kopilot, bisa ngintip panel dan instrumen di kokpit. Foto – nurali/suarasiber

Biasanya barang bawaan yang ditimbang, karena soal beratnya sekarang harus diantisipasi. Namun kali ini saya yang ditimbang, setelah karyawati tadi mengharuskan saya menanggalkan tas punggung.

Saya pun naik ke ruang tunggu. Hanya ada tiga calon penumpang saat itu. Saya menunggu Staf Khusus Bupati Lingga Ady Indra Pawennari dan dua rekan jurnalis televisi yang juga akan bersama-sama ke Dabo Singkep.

Tak berapa lama mereka datang. Tak lama kemudian sebuah pesawat mendarat.

Alamak, mirip capung. Apakah itu yang akan membawa kami? Saya cek tiket dan nama maskapainya, sama Susi Air.

Hanya ada tujuh penumpang saat kami turun dan berjalan menuju pesawat. Saya ambil beberapa foto dan naik lewat tangga. Baru saya teringat berapa nomor kursi. Di atas saya berniat memeriksa tiket, namun kok tak ada penumpang lain yang melakukannya.

“Duduk saja, bebas di mana yang kosong kursinya,” kata seorang penumpang.

pesawat cessna 1
Staf khusus Bupati Lingga, Ady Indra Pawennari melambaikan tangan. Foto – nurali/suarasiber

Ah, saya membaca sistuasi dahulu. Saya membalikkan separoh badan, mulai menghitung jumlah kursi yang ada di atas pesawat mungil ini. Bisa memuat 12 penumpang. Lucunya, kursi paling belakang bentuknya seperti kursi angkota bagian belakang, hanya saja lebih empuk dan ada sandarannya. Saya lihat seorang bapak dan anaknya sudah lebih dahulu menempatinya.

Mumpung bisa dekat dengan pilot yang orang bule dan kopilot yang warga Indonesia, saya ambil kursi paling depan sebelah kanan. Saya kenakan sabuk, saat pesawat mulai berjalan, memutar, lalu persiapan take off.

Begitu terbang, justru saya sangat menikmatinya. Pemandangan berupa daratan dan lautan terlihat jelas. Ruang pandang mata juga lebih luas. Karena jendelanya lebih “bersahabat” dengan mata kita.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kopilot memalingkan mukanya ke arah saya dan minta tolong diambilkan makanan.

Saya tanya di mana, dijawab di bawah kursi penumpang saya. Saya lihat, hanya ada kotak bekas kue dan air mineral yang diberikan kru pesawat sebelum naik.

“Agak ke belakang mas tempatnya, samping,” sambungnya.

Lalu saya mengikuti arahannya dan sebuah kotak dengan bungkus plastik biru saya tarik. Lumayan berat. Wajar jika itu makanan untuk dua orang yang mengendalikan jalannya pesawat.

Setiap gerakan yang diakibatkan sentuhan panel di dashboard kokpit terasa di kursi. Sesaat terpikir juga kejadian-kejadian pesawat yang dianalisa dan dijadikan acara favorit saya Air Crash Investigation di Chanel National Geographic. Satu kesalahan sedikit saja bisa bahaya.

Bagaimana jika pesawat ini mengalami stall? Kondisi yang bisa menyebabkan pesawat kehilangan daya angkat. Pesawat kecil juga wajib lulus tes. Seperti pesawat jet pribadi yang diproduksi Bombardier Aerospace dan diberi nama Learjet. Salah satu uji kelaikannya terbang ialah kondisi stall.

Tibalah saatnya melintasi Gunung Daik bercabang tiga yang ikonik. Pilot sudah menunjuk puncaknya, yang di mata saya jaraknya tak cukup jauh dari saya duduk. Subhanallah, begitu agung karya Tuhan.

Sayangnya, seperti diketahui bersama, langit Kepri tengah diganggu kabut asap. Jadi puncak Gunung Daik pun hanya terlihat samar-samar. Saya foto pun buram.

Menurut Ady Indra yang beberapa kali naik pesawat ini, jika cuacanya cerah dan penumpang tak penuh pilot bersedia berputar di atas gunung. Aih… saya sudah membayangkan eloknya. Pesawat kecil meiuk-liuk mengitasi puncak gunung.

Sungguh, pada titik ini saya sangat menikmati terbang bersama pesawat kecil ini. Saya lihat pilot dan kopilotnya saja lebih banyak berbincang santai dengan wajah gembira.

Saya berharap perjalanan antara Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjungpinang ke Bandara Dabo Singkep, Lingga, lebih dari 45 menit. Terlalu singkat rasanya.

pesawat cessna 3
Kursi bagian belakang, agaknya menjadi favorit. Sayang saya telat mendapatkannya. Foto – nurali/suarasiber

Satu lagi aksi pesawat kecil ini yang saya rasa membuat spot jantung bagi yang takut ketinggian. Beberapa menit landing atau mendarat, saya lihat pilot justru mengarahkannya tidak sejajar jalur runway, melainkan melintang.

Rupanya memang begitulah caranya, melewati bandara pesawat terus terbang lalu kemudian menukik ke kanan. Terasa betul gerakannya. Dan ini tidak sekali langsung belok dan sejajar. Butuh beberapa kali belokan tajam, sehingga posisi pesawat lurus dengan jalur runway di bawah.

Pepohonan di bawah bahkan tampak mana yang hijdu dan kekeringan. Artinya begitu dekat pesawat dengan pucuk pohon di hutan luar bandara. Dan pesawat pun mendarat. Alhamdulillah selamat.

Jadi malu, nih hehe. Agaknya saya akan langsung menjawab iya ketika ada undangan dari kabupaten lain di Kepri untuk liputan khusus potensi daerahnya. Dan saya akan naik pesawat perintis seperti saat terbang ke Dabo Singkep ini. (nurali mahmudi)

Loading...